Dadaku sesak dengan dendam, tapi kemudian aku tahan kemarahan terpendam selama bertahun-tahun.
Sekarang aku cukup puas melihatnya di depan, yang sedang mengusap wajah berluluh peluh bercampur debu jalanan dengan handuk kecil berwarna putih nyaris kecoklatan bergantung di lehernya.
Aku bertemu dengannya di tengah teriakan terminal Cililitan yang berkabut putih pada sebagian lahannya, dikentuti asap solar terbakar dari perut kekenyangan bis kota berjalan terseok-seok dalam usangnya siang.
Lelaki berwajah parut itu tidak pernah dapat kulupakan, meski kepalanya ditutupi topi laken menyamarkan uban di antara rambut yang jarang.
Parut itu adalah guratan gelas yang pecah berantakan menimpa wajahnya, diterbangkan oleh ketidakberdayaanku waktu itu.
Gelas kaca milik ibu kantin menjadi senjata pamungkas menuntaskan gelegak yang selama sekolah tertelungkup di balik selimut ketidakmampuan menentang kesewenangan teman sekelasku itu.
Rudolfo merupakan siswa ternakal, berbadan bongsor, dan, sayangnya, terkaya di sekolah. Bapaknya juragan kelapa yang mempunyai lahan terluas sekecamatan.
Celakanya, bapakku memburuh pada bapaknya Rudolfo. Posisi yang tidak menguntungkan itu, menjadikanku sasaran kesewenangan Rudolfo.
Aku tidak berdaya melawannya, bahkan sekali pun mengadu pandang dengannya.
Entah itu perkataan-perkataan di muka teman-teman yang menghinakan, atau keisengan menjegal ketika aku berjalan di depannya, juga perbuatannya menyembunyikan peralatan sekolah dan tas terbuat dari kain karung bekas tepung terigu milikku, membuatku kesal tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menangis.
Tetapi peristiwa terakhir yang paling kuingat adalah ketika Rudolfo meludahi bekal makanku dan mengacak-acak isi rantang dengan lidi.