Gelegak kekesalan yang selama ini kusimpan menyublim menjadi kemarahan dengan melemparkan rantang seng ke mukanya yang sedang tertawa, beserta gelas kaca milik ibu kantin yang pecah berantakan pada tertawa yang serta-merta terhenti.
Digantikan tangisan meraung-raung mengikuti semburat darah dari robekan di kulit wajah bawah mata Rudolfo. Itulah parut yang tidak bisa --apalagi Rudolfo-- kulupakan.
Ternyata, Rudolfo jauh-jauh merantau ke kota besar terdampar hanya untuk menjadi sopir angkot rute Cililitan - Kampung Melayu.
Kuliah, yang konon dibiayai dari hasil penjualan kelapa, menggelinding berserakan di lapak-lapak judi dan temaramnya ruang-ruang berlampu merah di Tanah Abang Bongkaran serta hiruk-pikuknya terminal.
Ya memang, kota Jakarta menawarkan segalanya yang bisa membuat pendatang menjadi segalanya pula.
Jika beruntung menjadi petarung ulung, lalu menguasai panggung peradaban penuh gemerlap lampu kristal.
Jika bernasib malang, akan malang melintang menjadi pecundang dan gelandangan, atau menjadi penjahat kambuhan maupun buronan.
Sedikit lebih baik, ketika mempunyai sahabat atau kerabat yang bisa dijadikan sandaran dalam mengais-ngais rejeki asal sekadar bertahan hidup.
Jujur saja, aku senang lalu merasakan kemenangan menemui Rudolfo dalam keadaan demikian, sebagai sopir angkot rute Cililitan - Kampung Melayu.
Kelak akan tiba masa, manakala muncul kesempatan, apakah itu dirancang baik-baik atau sebab ketidaksengajaan, aku akan membalaskan dendam yang selama belasan tahun menjadi kesialan keparat yang selalu kugotong, bahkan sampai ketika menyusuri jalanan Jakarta yang gersang dan memanggang pori-pori.
Pikiran-pikiran itu bisa dilaksanakan kapan-kapan, sekarang yang terpenting aku menjalankan tugas utama terlebih dahulu.