Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Dendam Mampat

15 April 2020   11:33 Diperbarui: 16 April 2020   21:15 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dadaku sesak dengan dendam, tapi kemudian aku tahan kemarahan terpendam selama bertahun-tahun.

Sekarang aku cukup puas melihatnya di depan, yang sedang mengusap wajah berluluh peluh bercampur debu jalanan dengan handuk kecil berwarna putih nyaris kecoklatan bergantung di lehernya.

Aku bertemu dengannya di tengah teriakan terminal Cililitan yang berkabut putih pada sebagian lahannya, dikentuti asap solar terbakar dari perut kekenyangan bis kota berjalan terseok-seok dalam usangnya siang.

Lelaki berwajah parut itu tidak pernah dapat kulupakan, meski kepalanya ditutupi topi laken menyamarkan uban di antara rambut yang jarang.

Parut itu adalah guratan gelas yang pecah berantakan menimpa wajahnya, diterbangkan oleh ketidakberdayaanku waktu itu.

Gelas kaca milik ibu kantin menjadi senjata pamungkas menuntaskan gelegak yang selama sekolah tertelungkup di balik selimut ketidakmampuan menentang kesewenangan teman sekelasku itu.

Rudolfo merupakan siswa ternakal, berbadan bongsor, dan, sayangnya, terkaya di sekolah. Bapaknya juragan kelapa yang mempunyai lahan terluas sekecamatan.

Celakanya, bapakku memburuh pada bapaknya Rudolfo. Posisi yang tidak menguntungkan itu, menjadikanku sasaran kesewenangan Rudolfo.

Aku tidak berdaya melawannya, bahkan sekali pun mengadu pandang dengannya.

Entah itu perkataan-perkataan di muka teman-teman yang menghinakan, atau keisengan menjegal ketika aku berjalan di depannya, juga perbuatannya menyembunyikan peralatan sekolah dan tas terbuat dari kain karung bekas tepung terigu milikku, membuatku kesal tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menangis.

Tetapi peristiwa terakhir yang paling kuingat adalah ketika Rudolfo meludahi bekal makanku dan mengacak-acak isi rantang dengan lidi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun