Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cinta nan Abadi

7 April 2020   10:10 Diperbarui: 7 April 2020   10:13 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh katyandgeorge dari pixabay.com

Kevin terpesona, senyum gadis itu menerbangkan seluruh ether dari tubuhnya. Kelereng bening di mata gadis berwajah oriental itu membuatnya terperosok kedalam khayal tiada tepian. Tak cukup perbendaharaan kata menggambarkan keindahannya, bahkan lorong panjang yang menyimpan kemuraman tiba-tiba berpendar.

Seperti biasanya, Kevin mengitari lorong-lorong lembab di bagian kota yang penuh dengan bangunan terbuang. Di situlah ia dengan mudah menemukan mangsa: pedagang baru pulang, gadis-gadis penjaga yang tokonya baru ditutup, dan wanita-wanita penjual malam.

"M..m....ma....mau.... ke....ke mana?", kegeragapan Kevin dijawab dengan tawa renyah dari wajah berseri berlesung-pipit itu, kebingungan.

"Khan tadi sudah dibilang, aku sedang mencari tempat kos. Konon di daerah ini banyak. Ternyata penuh semua...... ".

Sekitar jalan Kartini memang terkenal dengan tempat kos. Itulah sebabnya, mengapa Kevin sering mangkal di daerah tersebut, calon mangsa melimpah.

Namun calon yang satu ini menggetarkan Kevin untuk memangsanya. Hatinya meleleh melihat kelembutan gadis itu.

"Atau inikah calon pendampingku kelak?", Kevin segera menepis angan di pikiran.

....Kurasa ku t'lah jatuh cinta
Pada pandangan yang pertama
Sulit bagiku untuk bisa Berhenti mengagumi dirinya.....

(Pandangan Pertama - RAN)

Setelah semua ether bersatu kembali, Kevin menarik nafas panjang, dengan penuh harapan menawarkan, "hari sudah amat larut, bagaimana kalau besok aku temani mencari kos, untuk sementara menginap saja di rumahku?"

Gadis itu ragu-ragu, pandangannya menyelidik kepada pria di depannya. Posturnya tidak seperti orang kebanyakan, tinggi, cenderung putih, tutur katanya sopan, dan.......tampan.

Anggukan gadis itu membuat Kevin melayang, membayangkan kesempatan untuk mengenal lebih dalam. Ia ingin, bersama gadis itu, berpetualang di esok hari berdua saja, bahkan tidak membawa bayangannya sama sekali.

Kevin mengulurkan tangan, "Shqiponj......., Kevin Shqiponj. Nama anda siapa?".

"Kinanti Nawaningsih, panggil saja Kinan".

Kinan sudah terlelap kelelahan. Kevin sedang menghadapi sidang dari para tetua di bangsal rumah berukuran besar, berlantai abu-abu buram, berdinding tebal dengan langit-langit tinggi, dikelilingi taman luas bertembok keliling yang kekar.

Kevin beserta keluarga besarnya, menempati salah satu rumah kuno di Pecinan yang banyak ditinggalkan penghuninya. Dikenal sebagai daerah angker, namun sangat nyaman bagi golongan seperti Kevin dan keluarganya.

Keluarga besar itu pindah ke kota kecil itu sudah lama,  beranak-pinak dari lima ratus tahun lalu sejak kian sesaknya tempat asal muasal, sebuah negara di Balkan.

Seseorang yang dituakan tak henti-henti batuk-batuk. Anggota-anggota keluarga besar itu yang sedang berkumpul sontak semburat berhamburan menghindari potensi sebaran virus corona.

"Hey... kalian bodoh! Kita tidak akan mempan dengan virus atau akibat apapun yang bisa menyebabkan sakit. Corona khan berasal dari kelelawar, yang merupakan kerabat dekat kita. Lagipula kita immortal, abadi, kecuali bagi mereka yang berani melanggar pantangan, seperti Kevin".

Mendengar ucapan itu, mereka tersipu-sipu lalu berkumpul kembali, melanjutkan lagi pembahasan tentang Kevin yang jatuh hati kepada manusia ringkih bernama Kinanti Nawaningsih.

"Jika hubungan itu menjadi serius hingga sampai ke perkawinan, maka tamatlah riwayatmu sebagai vampir. Engkau bisa menjadi manusia biasa, yang hilang kekuatan sebagai vampir, berpenyakitan, harus belajar makan nasi, minum teh-kopi dan makanan semacamnya yang menjijikkan, taring-taringmu juga akan tumpul".

"Dan bisa mati, jangan lupa itu! Namun engkau sebaiknya tetap menyandang nama besar Shqiponj, ........ agar kelak tidak dimangsa vampir lain".

Kevin bersikukuh mempertahankan getar-getar ajaib yang tumbuh di ruang batinnya, "aku ambil konsekuensinya demi cintaku yang terlanjur bersemi. Aku akan merakit masa depan bersamanya, meski tiada keabadian. Bukankah cinta itu nan abadi?".

Keyakinan Kevin membisukan tetua, yang masih berharap anak muda yang baru berusia dua ratus tahun itu melupakan nafsu sesaatnya. Juga supaya vampir muda itu tidak berubah menjadi manusia biasa yang ringkih.

Di sepanjang perjalanan mencari tempat kos, hati Kevin berbunga-bunga mengabaikan cahaya menusuk pori-pori yang menyilaukan matanya.

Tetapi itu tidak membuatnya rapuh. Kenyamanan di dekat Kinan dihirupnya dalam-dalam, berharap kebersamaan selamanya.

Hubungan cinta Kevin dan Kinan semakin rapat, bunga-bunga asmara semerbak berkembang sebagai pelangi yang menghiasi percintaan tidak terpisahkan. Tiba saatnya untuk mengikat tali cinta kedua manusia itu.

Belum........!  Kevin belum menjadi manusia, ia masih vampir kecuali telah menyatakan pinangannya dengan sungguh-sungguh.

"Kinan, maukah engkau mendampingiku untuk selamanya? Menjadi ibu dari anak-anakku. Menjadi istri yang senantiasa kucintai, dalam suka maupun duka", suara bergetar Kevin diterima dengan pelukan Kinan yang tiba-tiba matanya gerimis, mengungkapkan kebahagiaan tak terucap.

Kinan mengiyakan. Lamaran Kevin diterimanya. Dengan itu nanti malam Kevin akan mengalami prosesi untuk menjadi manusia biasa. Pastilah akan menyakitkan, seluruh kekuatan dan keabadian tercerabut dari tubuhnya. Bayangan tersebut tidak setitik pun menyurutkan keinginan tulus Kevin.

Keesokan paginya, sayup-sayup terdengar suara tangisan di depan pintu. Perlahan Kinan membukanya, melihat sebuah keranjang rotan. Seorang bayi tampan, berkulit bersih berada di dalamnya.

"Siapa yang tega membuang bayi imut ini?" Kinan menggendongnya sambil membaca tulisan pada gelang bayi itu: Kevin Shqiponj.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun