Anggukan gadis itu membuat Kevin melayang, membayangkan kesempatan untuk mengenal lebih dalam. Ia ingin, bersama gadis itu, berpetualang di esok hari berdua saja, bahkan tidak membawa bayangannya sama sekali.
Kevin mengulurkan tangan, "Shqiponj......., Kevin Shqiponj. Nama anda siapa?".
"Kinanti Nawaningsih, panggil saja Kinan".
Kinan sudah terlelap kelelahan. Kevin sedang menghadapi sidang dari para tetua di bangsal rumah berukuran besar, berlantai abu-abu buram, berdinding tebal dengan langit-langit tinggi, dikelilingi taman luas bertembok keliling yang kekar.
Kevin beserta keluarga besarnya, menempati salah satu rumah kuno di Pecinan yang banyak ditinggalkan penghuninya. Dikenal sebagai daerah angker, namun sangat nyaman bagi golongan seperti Kevin dan keluarganya.
Keluarga besar itu pindah ke kota kecil itu sudah lama, Â beranak-pinak dari lima ratus tahun lalu sejak kian sesaknya tempat asal muasal, sebuah negara di Balkan.
Seseorang yang dituakan tak henti-henti batuk-batuk. Anggota-anggota keluarga besar itu yang sedang berkumpul sontak semburat berhamburan menghindari potensi sebaran virus corona.
"Hey... kalian bodoh! Kita tidak akan mempan dengan virus atau akibat apapun yang bisa menyebabkan sakit. Corona khan berasal dari kelelawar, yang merupakan kerabat dekat kita. Lagipula kita immortal, abadi, kecuali bagi mereka yang berani melanggar pantangan, seperti Kevin".
Mendengar ucapan itu, mereka tersipu-sipu lalu berkumpul kembali, melanjutkan lagi pembahasan tentang Kevin yang jatuh hati kepada manusia ringkih bernama Kinanti Nawaningsih.
"Jika hubungan itu menjadi serius hingga sampai ke perkawinan, maka tamatlah riwayatmu sebagai vampir. Engkau bisa menjadi manusia biasa, yang hilang kekuatan sebagai vampir, berpenyakitan, harus belajar makan nasi, minum teh-kopi dan makanan semacamnya yang menjijikkan, taring-taringmu juga akan tumpul".
"Dan bisa mati, jangan lupa itu! Namun engkau sebaiknya tetap menyandang nama besar Shqiponj, ........ agar kelak tidak dimangsa vampir lain".