Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kepala Menggelundung dari Genggaman Augusta

29 Januari 2020   09:49 Diperbarui: 29 Januari 2020   09:58 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Gambar oleh Hans Braxmeier dari pixabay.com

Bagi pemborong, awal tahun adalah waktu istirahat: berlibur ke Anyer, Jogya, Bali, dan untuk mereka yang berlaba lebih, melancong ke luar negeri.

Tujuan bersantai Augusta sederhana saja, menghindari kota penuh peluh dan keluh dengan biaya murah. Kampung Limbangan di Sukabumi, tidak jauh tetapi mesti berjuang menembus macet. Di daerah bergunung-gunung itu, rumah mandor Adang --pegawainya-- amat sejuk, dibutuhkan selimut rangkap untuk menutup tubuhnya di malam hari.

Untunglah tidak terbersit di benak Augusta untuk mencari selimut hidup, misalnya.

Mandor Adang bersahaja ketika bekerja mengkonstruksi bangunan, namun di kampungnya Ia merupakan orang terpandang.

Selain pekerjaannya yang mentereng, mandor di kota besar, Ia juga memiliki lahan berisi empang-empang ikan emas, nila, gurame. Bahagian terluas lebihnya ditumbuhi belasan pohon kelapa, yang rupanya sudah ada sejak kakeknya masih hidup.

Udara dingin, ikan bakar atau goreng, lalapan segar, sambal dan --ini kemudian menjadi kesukaan Augusta-- jengkol goreng panas ditaburi garam, adalah kenikmatan.

Kenikmatan melahap jengkol goreng legit itu, Augusta lupa jika kerap menyantap T-Bone Steak atau Lobster di restoran megah.

Tidak ada kebosanan, atau keinginan kembali ke keramaian. Memancing? Itu sudah pasti menjadi agenda Augusta setiap hari, pemberontakan ikan pada kail senantiasa membangkitkan adrenalinnya.

Kegembiraan lain? Memetik sayur lalap, cabai untuk sambal, dan buah seperti: pepaya, manggis, dan jambu. Terasi, bawang dan bumbu lainnya dibeli di warung, yang jaraknya bikin orang kota, seperti Augusta, ngos-ngosan.

Hal yang tidak diperoleh di kota adalah mengonsumsi kelapa muda baru dipetik dari pohon. Kalau mau, Augusta bisa menikmati kesegarannya setiap saat, bukan cuma setiap hari.

Sebagaimana umumnya penduduk kampung Limbangan, mandor Adang cekatan memanjat pohon kelapa setinggi 10-20 meter. Membayangkannya saja, Augusta merasa ngilu. Jika ada yang terjatuh dari ketinggian itu, dijamin remuk ketika sampai tanah. Kelapa-kelapa itu ditampung pengepul yang akan mengirimnya ke pasar di kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun