Augusta turut mengumpulkan buah kelapa yang berjatuhan, setelah mendengar aba-aba dari pemetik di atas. Kalau diabaikan, kepala bisa peang, bukan cuman benjol biru, ditimpa kelapa.
"Gedebuk!" Berarti satu kelapa jatuh.
"Gedubrak!" Bunyi tandan berisi beberapa butir kelapa berjatuhan.
Lama-kelamaan Augusta hapal suara kelapa jatuh, satu atau beberapa. Ia bertugas mengumpulkannya, tidak cukup nyali untuk menaiki pohonnya. Tidak juga mengangkutnya ke bak mobil pengepul. Cukuplah jadi bagian pemungutan saja.
Sesudahnya? Tidak perlu lama, setelah menunaikan shalat Isya Augusta terlelap tanpa mimpi, entah ngorok atau diam tidak pernah tahu. Mengertinya ketika iler sudah mengering saat bangun Subuh.
Bisa sebab udara nyaman. Boleh jadi karena kelelahan mendera badan seharian. Tetapi yang pasti, Augusta mahfum, bahwa dalam benaknya tidak terjadi lagi pertempuran debat sebagaimana biasanya.
Baru kali ini Augusta bersyukur, "Kenikmatan mana lagi yang bisa Kamu ingkari?"
Malam di kampung Limbangan tiada suara sepeda motor knalpot dipotong atau keributan lain, kecuali bunyi hewan malam. Sunyi, hening, tenang, dan damai. Suasana penghantar kelelapan.
Diantara lelap mendamaikan, lamat-lamat terdengar, "Gedebuk!", sebuah kelapa jatuh. "Gedebuk!", kelapa berikut jatuh. Mungkin sudah terlalu tua, jatuh diterpa angin malam.
Lalu "Gedebuk lagi!", lantas "Gedebuk lagi!". Ada beberapa kelapa tua berjatuhan, mata Augusta terpejam kendati pikirannya terjaga," Toh besok pagi masih bisa dikumpulkan!"
Sulur-sulur mimpi menjululur menyelubungi benak. Sore tadi Augusta kekenyangan menggasak jengkol goreng dicocol sambal gandaria)1 yang diulek kasar pada cobek.