"Gedebuk! Gedubrak!", suara kelapa jatuh beruntun sontak meruntuhkan nyenyak yang nyaris membungkus. Augusta terjaga, duduk, lalu memasang kuping untuk mendengarkan, "Banyak juga yach...!"
Diliriknya arloji, "Hmmm.....jam dua dini hari".
Penasaran, tanpa suara, Augusta keluar rumah menuju kebun kelapa nan samar dicahayai bulan sepotong, membawa lampu teplok)2 melintasi jalan setapak menuju bayang kelam pohon-pohon menjulang.
Butir-butir kelapa bergeletakan di sekitarnya. Setidaknya ada sepuluh butir: "Lumayan. Hanya perlu waktu sebentar memindahkannya ke gudang agar tidak diambil orang lain".
Tiba-tiba angin kencang menerpa, dingin menggigilkan tubuh kendati Augusta sudah berbalut sarung.
Diangkatnya satu kelapa, ...dua butir kelapa. Tidak berat dan mudah dijinjing dengan menggenggam rambutnya yang menjuarai.
"Rambut....???", Augusta mendekatkan lampu teplok ke kelapa.
Sepasang mata melotot, gigi bergerigi meringis, membentuk wajah menyeringai pada kelapa yang digenggamnya.
"Kepala.....??? Kepala........ bukan...... kelapa......!!!"
Kepala yang mengucurkan darah dari leher, tepatnya lubang bekas leher. Dari wajahnya, mata memancar sinar kemerahan menampakkan gigi putih dalam hitamnya malam, melantangkan tawa terbahak-bahak.
Butir-butir kepala lain, yang bergerombol diantara pelepah-pelepah, turut menertawakan muka pias Augusta yang ketakutan.