Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menyiasati "Small Money Earner" dalam Bisnis F&B

20 Januari 2020   06:22 Diperbarui: 20 Januari 2020   14:25 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bisnis F&B (Sumber: industri.kontan.co.id)

Ketika mengelola usaha Food & Beverages (F&B) atau kuliner, saya menemui beberapa persoalan seperti: persaingan ketat usaha sejenis, menyiasati fluktuasi penjualan yang cenderung menurun dengan kenaikan biaya langsung dan tak langsung, serta fenomena "small money earner".

Memang pengalaman itu terjadi sekitar 20 tahun lalu. Tetapi saya percaya kiat berikut masih layak diterapkan dalam bisnis kuliner kontemporer, yakni: bagaimana menghadapi small money earner, yang sedikit banyak, merugikan perusahaan kuliner.

Lantas, apakah yang disebut small money earner itu?

Bukan money earner, yang merujuk kepada orang yang mendapat sejumlah imbalan --berupa gaji, upah, dan segala bentuk remunerasi lainnya-- dengan menukar waktu, pikiran dan tenaganya.

Small money earner (SME) adalah istilah disematkan pada karyawan yang "mencari uang kecil", berupa komisi, gratifikasi, atau hadiah lain dari pihak ketiga disebabkan kedudukannya dalam suatu perusahaan.

SME di lingkungan usaha kuliner
Saya menemui kerawanan itu pada bagian pembelian (purchasing), gudang (store keeper) dan pengendalian biaya (cost control). Ulasan berikut membatasi pada penanganan di bagian-bagian tersebut. Penanganan pada bagian lain akan dibahas pada kesempatan lain.

Purchasing, yang melakukan pembelian bahan baku, diam-diam memainkan selisih harga pembelian dan kerap memperoleh "upeti" dari pemasok bahan makanan dan minuman.

Fungsi store keeper penting dalam penyimpanan dan pengeluaran barang menurut prinsip first in first out (FIFO) atau, bahan yang tiba pertama digunakan terlebih dahulu. Pengelolaan gudang, biasanya, dilengkapi dengan kartu stok yang juga menggambarkan mutasi barang.

Bagian stock control akan mencatat bahan baku masuk, bahan diutilisasi, jumlah waste (bahan terbuang/tidak bisa digunakan) dan posisi akhir jumlah bahan dalam  Rupiah maupun kuantitas.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Jumlah tersebut diuji ketersediaannya dalam kenyataan melalui stock opname, pemeriksaan fisik keberadaan bahan baku, yang dilakukan setiap akhir bulan. 

Untuk mengkuantifikasi minuman beralkohol dalam botol diperlukan keahlian tersendiri. Catatan dalam kertas dicocokkan dengan jumlah fisik.

Sebelumnya diduga ada permainan antara bagian purchasing, store keeper, dan cost control yang merekayasa data sedemikian rupa dengan melaporkan biaya waste cukup tinggi ke bagian pembukuan. Terjadi potensi kebocoran persisten terhadap usaha kuliner tersebut.

Upeti dari supplier menjadi "uang tutup mulut", lalu dibagi di antara ketiganya.

Pemeriksaan mingguan dan penambahan insentif
Bertahap, pembelanjaan tunai ditiadakan, di mana pembelian dilakukan secara kredit dengan tempo pelunasan kepada supplier seminggu sampai sebulan. Sedangkan daftar harga-harga wajar, dituang dalam perjanjian, di mana pemasok tunduk pada hargai itu untuk jangka waktu sebulan kedepan.

Mungkin sedikit lebih tinggi dari harga pasaran tunai, tetapi arus kas mudah diatur. Mutasi (pergerakan) dan usia bahan makanan/minuman lebih mudah diidentifikasi. Azas FIFO dapat diterapkan sempurna.

Pengendalian biaya melalui stock opname, dari biasanya sebulan sekali, dilakukan pada tiap akhir minggu. Laporan-laporan pemeriksaan mingguan itu dikonsolidasi menjadi stock opname akhir bulan, dan menjadi dasar pencatatan inventori atau persediaan barang di laporan keuangan.

Dengan itu diketahui akurasi posisi masing-masing bahan, dan menutup kemungkinan kongkalikong antara bagian-bagian.

Terpenting adalah agar dapat mengawasi bahan berkualitas, di mana hal itu pada gilirannya meminimalisir biaya waste atau bahan baku terbuang karena busuk, trimming (pemangkasan/penyesetan untuk membersihkan), penggunaan bagian lebih segar, dan lain sebagainya.

"Kebiasaan" perolehan upeti dari pemasok dikompensasi dengan menaikkan insentif kepada bagian purchasing, store keeper dan stock control. Di antaranya, menaikkan point perolehan service charge.

Perlu diketahui, service charge adalah biaya dikenakan kepada pengunjung atas pelayanan sesuai standar fine dining, umumnya dijalankan oleh bisnis hospitality dengan pelayanan adiluhung (sophisticated), seperti Hotel dan Restoran/Cafe.

Setelah dipotong pajak dan disisihkan untuk loss & breakage (kehilangan dan kerusakan alat makan) dana service charge tersebut dibagi keseluruh karyawan berdasar point tertentu.

Selain itu diberikan bonus bulanan kepada pemegang bagian-bagian tersebut dihitung dari tingkat penurunan biaya waste (terbuang). Tentu saja pemberian bonus itu disertai edukasi tentang dedikasi atau pengabdian kepada perusahaan.

Menyiasati, kemudian mengkikis small money earner, dapat diperoleh penurunan waste (barang terbuang) sebesar 8-10 %. Tidak begitu besar, tetapi bagi perusahaan kuliner yang sebulan beromzet 500 - 600 juta pada saat itu, penurunan tersebut bernilai signifikan. Ditambah, terbentuknya mental pegawai yang tidak mau lagi melakukan penggerogotan yang menyebabkan "kebocoran" persisten.

Barangkali cara serupa bisa bermanfaat saat digunakan dalam usaha kuliner masa kini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun