Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Napak Tilas

12 Desember 2019   07:28 Diperbarui: 12 Desember 2019   07:34 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pxhere.com

Seseorang diantara kerumunan penjemput di bandara Juanda menjulurkan karton bertuliskan namaku, lalu pria berkumis lebat itu memperkenalkan diri dan koleganya.

Mereka, Pak Mamat dan Pak Panji adalah pegawai Kantor Wilayah Jawa Timur sebuah Kementerian yang akan mendampingiku. Mereka begitu menghormatiku karena Aku, bersama Mas Bambang, dianggap orang dekat Menteri. Mas Bambang memiliki kemampuan metafisik yang sulit dijelaskan akal: bisa membaca pikiran, menerawang masa depan, menapak-tilasi kala lampau. Kemampuan yang digunakan untuk menata, memperbaiki atau mentransformasi kehidupan seseorang supaya lebih baik dari sebelumnya.

Aku sempat tenggelam di lumpur kehidupan. Putus asa karena berturut-turut mengalami kehancuran, dari kebangkrutan usaha sampai ditinggalkan istri, dan hanya meratap tanpa ikhtiar. Mas Bambang lah yang mengestaskan Aku dari palung keputus-asaan, mengajari berfikir optimis mengubur pesimisme berlarut-larut selama setahun terakhir. Sebagai asisten pribadinya, Aku mengikuti berbagai ritual bersama sekelompok orang yang mendeklarasikan diri sebagai pengikut.

Seorang pengikut adalah pejabat sebuah Kementerian, Kepala Bagian Protokoler yang langsung berhubungan dengan kegiatan Menteri. Mas Bambang dan Aku berkesempatan menjabat tangan Menteri, ketika sedang mengambil tiket Jakarta-Surabaya pulang pergi dan amplop dari Pak Didi, Kabag Protokoler tersebut.

Entah bagaimana caranya, Pak Didi bisa menyisipkan ongkos perjalanan kendati Aku bukan pegawai Kementerian itu. Mungkin juga Pak Didi menghikayatkan kedekatanku dengan Menteri, makanya Pak Panji dan Pak Mamat menghormatiku.

Jauh sebelumnya, Mas Bambang mendesak agar Aku melakoni ritual napak tilas sebagai syarat kebangkitan dari keterpurukan, sebuah perjalanan menapaki asal-usul dan meresapi sejarah perjuangan leluhur. Disebutkan, dalam napak tilas akan ditemui berbagai peristiwa yang bukan kebetulan. Menurut Mas Bambang, semua perkara kehidupan telah diatur sedemikian rupa pada grand design yang menetapkan kejadian-kejadian, yang menurut akal manusia adalah suatu kebetulan.

Sesungguhnya Aku berada dikebingungan: Pertama, penjelasan Mas Bambang tidak gampang dinalar; Kedua, Aku tak punya ongkos untuk melakukan napak tilas tersebut.

Kebingungan pertama hanya dijawabnya, "Nanti Engkau akan mengerti. Aku pasti akan hadir di sana, berupa pertanda yang mengesankan bahwa itu diriku..."

Kebingungan kedua? Ya inilah jawabannya! Aku tiba di Surabaya, menempuh perjalanan napak tilas ke Sumenep, Madura, menaiki Innova plat merah disopiri Pak Mamat dan diajudani Pak Panji. Ah....suatu kebetulan ...ergh... kejadian yang menyenangkan.

Tidak banyak yang dibicarakan selama menjelajahi aspal, masing-masing sibuk melayari lautan angan. Perbincangan berbuih saat menikmati nasi campur di Tanah Merah.

Pemandangan tambak garam dan kebun tembakau terbentang menjelang Sumenep. Di sebelah kanan jalan rel kereta api melata menyisakan kejayaan angkutan garam dan tembakau. Sisa rel memanjang melintas di depan sebuah gudang, mungkin bekas tempat penyimpanan garam........

"Hey....penglihatan itu kok seperti gambar di bungkus rokok kretek yang Aku pegang ini?" batinku, Aku takjub ketika menyadari ternyata gambar timbul di bungkus merah di tanganku sama persis dengan lukisan nyata gudang dan rel yang aku lewati. Tetapi tetap saja Aku bertanya-tanya tentang makna kejadian itu. Atau kebetulan???

"Langsung ke pemakaman ya....?" Pak Mamat menegaskan begitu melihat gerbang Kabupaten Sumenep, mengarahkan kendaraan menuju Asta Tinggi, kompleks pemakaman keluarga bangsawan yang terletak si dataran tinggi Kebun Agung.

Aku memasuki sekumpulan makam utama, berkontemplasi dan berdo'a. Kulihat Pak Panji berkeliling menyelusuri pusara-pusara lain, sementara Pak Mamat, barangkali, sedang menyeruput kopi menelan asap.

Aku tidak memperoleh kesan mendalam dari kunjungan tersebut, kecuali khayalan magis tentang siraman cahaya senja kekuningan menerpa bangunan berarsitektur perpaduan antara kebudayaan Hindu, Tiongkok dan Eropa. Karena terlalu sore, malam itu kami menginap di sebuah hotel agar lebih segar saat melanjutkan napak tilas esok hari.

Pak Mamat menyetir sembari bersiul riang, rupanya obrolan bertiga tadi malam melumerkan suasana perjalanan ke Arosbaya. Pak Panji larut dalam senyap, gelisah seperti memikirkan sesuatu.

"Bengong saja nih Pak Panji, ngelamunin apa?" Pak Panji tersenyum menjawab candaku, lalu kembali sibuk dengan imajinasinya. Ia memang lebih pendiam dibanding Pak Mamat yang rajin bercerita tentang segala.

Siang hari sampailah kami di Pasarean Aer Mata. sebuah kompleks pemakaman keluarga Raja-raja Madura dan keturunannya yang terletak di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan. Bangunannya tidak semegah Asta Tinggi, lebih mencirikan kesederhanaan. Perasaanku bergelombang, Kakekku dimakamkan di sini.

Setelah cukup lama bertafakur di makam kakek dan para leluhurku, Aku bertukar kata dengan kuncen pemakaman, seorang pria berumur, berbadan tirus, berkisah sambil mengepulkan asap rokok kretek seperti kereta api, selalu meletakkan tangan kiri di belakang pinggang dan kaki kanannya agak pincang.

"Eh.... kok mirip markah Mas Bambang ya? Apakah suatu kebetulan lain? Atau bukan kebetulan, tetapi kejadian dimana Mas Bambang menjelma menjadi seorang juru kunci?" benakku berkecamuk, sepintas kulihat Pak Panji sedang berjongkok hikmat pada salah satu makam.

Aku membaca pahatan pada nisan makam itu. Denyut-denyut menyeruak di dalam kepala, baru kali ini Aku memerhatikan Pak Panji lekat-lekat.

Rasa penasaran mendorong keinginan mengunjungi adik lelaki Bapak yang sudah sepuh namun beringatan tajam. Setelah basa-basi membualkan kenangan tentang Bapak dan Ibuku yang lama tiada, segera Aku bertanya kepada pamanku:

"Apakah Paman mengetahui riwayat Ruslan Tjakraningrat?" Aku mengeja ingatan nama yang terukir pada nisan tempat Pak Panji tadi menundukkan kepala.

"Oh itu. Saat wafat pada tahun 1968 Paman ikut mengurus penguburannya.Turut mendampingi dari Surabaya ke Pasarean Aer Mata".

Lanjutnya: "Beliau adalah adik kandung dari Kakekmu. Kenapa?"

Pak Panji menukas: "Almarhum Ayah pernah berpesan agar mencari makam Kakek, demikian supaya Saya tidak kepaten obor )*".

Lalu, terbata-bata melanjutkan, "Ruslan Tjakraningrat adalah Kakek Saya ......belum sempat bertemu .......keburu beliau mangkat....... ".

Matanya menggenang memohon penegasan, "Jadi berarti.....? Sebenarnya......?".

Pamanku mengganguk.

Atmaku menyembul dari lubuk kebingungan, mengepakkan sayap harapan lalu terbang menuju cakrawala pencerahan. Di sana, siluet Mas Bambang tergambar samar: pria berumur, berbadan tirus, berkisah sambil mengepulkan asap rokok kretek seperti kereta api, selalu meletakkan tangan kiri di belakang pinggang dan kaki kanannya agak pincang, sambil menyunggingkan senyum.

 

~~Selesai~~

)* Kepaten Obor (bahasa Jawa): terputusnya tali silaturahmi antar keluarga (baik dekat maupun jauh) karena yang tua2 sudah  tidak ada atau sangat  sepuh sehingga tidak ada penyambung bagi generasi lebih muda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun