Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Napak Tilas

12 Desember 2019   07:28 Diperbarui: 12 Desember 2019   07:34 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pxhere.com

"Hey....penglihatan itu kok seperti gambar di bungkus rokok kretek yang Aku pegang ini?" batinku, Aku takjub ketika menyadari ternyata gambar timbul di bungkus merah di tanganku sama persis dengan lukisan nyata gudang dan rel yang aku lewati. Tetapi tetap saja Aku bertanya-tanya tentang makna kejadian itu. Atau kebetulan???

"Langsung ke pemakaman ya....?" Pak Mamat menegaskan begitu melihat gerbang Kabupaten Sumenep, mengarahkan kendaraan menuju Asta Tinggi, kompleks pemakaman keluarga bangsawan yang terletak si dataran tinggi Kebun Agung.

Aku memasuki sekumpulan makam utama, berkontemplasi dan berdo'a. Kulihat Pak Panji berkeliling menyelusuri pusara-pusara lain, sementara Pak Mamat, barangkali, sedang menyeruput kopi menelan asap.

Aku tidak memperoleh kesan mendalam dari kunjungan tersebut, kecuali khayalan magis tentang siraman cahaya senja kekuningan menerpa bangunan berarsitektur perpaduan antara kebudayaan Hindu, Tiongkok dan Eropa. Karena terlalu sore, malam itu kami menginap di sebuah hotel agar lebih segar saat melanjutkan napak tilas esok hari.

Pak Mamat menyetir sembari bersiul riang, rupanya obrolan bertiga tadi malam melumerkan suasana perjalanan ke Arosbaya. Pak Panji larut dalam senyap, gelisah seperti memikirkan sesuatu.

"Bengong saja nih Pak Panji, ngelamunin apa?" Pak Panji tersenyum menjawab candaku, lalu kembali sibuk dengan imajinasinya. Ia memang lebih pendiam dibanding Pak Mamat yang rajin bercerita tentang segala.

Siang hari sampailah kami di Pasarean Aer Mata. sebuah kompleks pemakaman keluarga Raja-raja Madura dan keturunannya yang terletak di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan. Bangunannya tidak semegah Asta Tinggi, lebih mencirikan kesederhanaan. Perasaanku bergelombang, Kakekku dimakamkan di sini.

Setelah cukup lama bertafakur di makam kakek dan para leluhurku, Aku bertukar kata dengan kuncen pemakaman, seorang pria berumur, berbadan tirus, berkisah sambil mengepulkan asap rokok kretek seperti kereta api, selalu meletakkan tangan kiri di belakang pinggang dan kaki kanannya agak pincang.

"Eh.... kok mirip markah Mas Bambang ya? Apakah suatu kebetulan lain? Atau bukan kebetulan, tetapi kejadian dimana Mas Bambang menjelma menjadi seorang juru kunci?" benakku berkecamuk, sepintas kulihat Pak Panji sedang berjongkok hikmat pada salah satu makam.

Aku membaca pahatan pada nisan makam itu. Denyut-denyut menyeruak di dalam kepala, baru kali ini Aku memerhatikan Pak Panji lekat-lekat.

Rasa penasaran mendorong keinginan mengunjungi adik lelaki Bapak yang sudah sepuh namun beringatan tajam. Setelah basa-basi membualkan kenangan tentang Bapak dan Ibuku yang lama tiada, segera Aku bertanya kepada pamanku:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun