"Hey....penglihatan itu kok seperti gambar di bungkus rokok kretek yang Aku pegang ini?" batinku, Aku takjub ketika menyadari ternyata gambar timbul di bungkus merah di tanganku sama persis dengan lukisan nyata gudang dan rel yang aku lewati. Tetapi tetap saja Aku bertanya-tanya tentang makna kejadian itu. Atau kebetulan???
"Langsung ke pemakaman ya....?" Pak Mamat menegaskan begitu melihat gerbang Kabupaten Sumenep, mengarahkan kendaraan menuju Asta Tinggi, kompleks pemakaman keluarga bangsawan yang terletak si dataran tinggi Kebun Agung.
Aku memasuki sekumpulan makam utama, berkontemplasi dan berdo'a. Kulihat Pak Panji berkeliling menyelusuri pusara-pusara lain, sementara Pak Mamat, barangkali, sedang menyeruput kopi menelan asap.
Aku tidak memperoleh kesan mendalam dari kunjungan tersebut, kecuali khayalan magis tentang siraman cahaya senja kekuningan menerpa bangunan berarsitektur perpaduan antara kebudayaan Hindu, Tiongkok dan Eropa. Karena terlalu sore, malam itu kami menginap di sebuah hotel agar lebih segar saat melanjutkan napak tilas esok hari.
Pak Mamat menyetir sembari bersiul riang, rupanya obrolan bertiga tadi malam melumerkan suasana perjalanan ke Arosbaya. Pak Panji larut dalam senyap, gelisah seperti memikirkan sesuatu.
"Bengong saja nih Pak Panji, ngelamunin apa?" Pak Panji tersenyum menjawab candaku, lalu kembali sibuk dengan imajinasinya. Ia memang lebih pendiam dibanding Pak Mamat yang rajin bercerita tentang segala.
Siang hari sampailah kami di Pasarean Aer Mata. sebuah kompleks pemakaman keluarga Raja-raja Madura dan keturunannya yang terletak di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan. Bangunannya tidak semegah Asta Tinggi, lebih mencirikan kesederhanaan. Perasaanku bergelombang, Kakekku dimakamkan di sini.
Setelah cukup lama bertafakur di makam kakek dan para leluhurku, Aku bertukar kata dengan kuncen pemakaman, seorang pria berumur, berbadan tirus, berkisah sambil mengepulkan asap rokok kretek seperti kereta api, selalu meletakkan tangan kiri di belakang pinggang dan kaki kanannya agak pincang.
"Eh.... kok mirip markah Mas Bambang ya? Apakah suatu kebetulan lain? Atau bukan kebetulan, tetapi kejadian dimana Mas Bambang menjelma menjadi seorang juru kunci?" benakku berkecamuk, sepintas kulihat Pak Panji sedang berjongkok hikmat pada salah satu makam.
Aku membaca pahatan pada nisan makam itu. Denyut-denyut menyeruak di dalam kepala, baru kali ini Aku memerhatikan Pak Panji lekat-lekat.
Rasa penasaran mendorong keinginan mengunjungi adik lelaki Bapak yang sudah sepuh namun beringatan tajam. Setelah basa-basi membualkan kenangan tentang Bapak dan Ibuku yang lama tiada, segera Aku bertanya kepada pamanku: