Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gairah Nasi Uduk Pengkolan

23 September 2019   15:45 Diperbarui: 23 September 2019   18:02 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pribadi Budi Susilo | Nasi Uduk Jendes

"Berapa Yuk...?"

"Tiga ribu Rupiah".

Kenyang! Meski Aku memesan setengah dari porsi umum, nasi uduk nampak menjejali piring makan bening ditambah taburan telur dadar tebal, tempe orek dan krupuk membuat perut terasa padat.

"Ini lima ribu, kembaliannya bungkuskan dua ketan!"

Dengan terampil Asih --biasa kupanggil ayu sebab berwajah sedap dipandang di usia sekitar tiga puluh tahun-- membungkus dua buah uli, penganan dari ketan  digoreng, ditambah tiga potong tempe bersalut tepung yang tapi tidak setipis kartu atm seperti umum dijual di tepi jalan. Lalu menyorongkan bungkusan ke tanganku yang terpukau. Suatu cara Asih mengistimewakanku adalah membungkuskan penganan berlebih. Sinar matanya berkedip tulus mendamaikan hatiku yang rusuh:

"Untuk menambah camilan nanti siang".

Senyumnya turut meramaikan pendar cahaya dari balik pepohonan teduh berlarian mengikuti matahari melayang ke ketinggian, memberi kehangatan pori-pori belum mandi.

Asih setiap pagi berjualan nasi uduk dan gorengan --tempe, bakwan jagung, ketan, pisang dan tape-- di sudut jalan masuk perumahan. Tinggalnya mengontrak sebuah rumah petak di perkampungan sebelah komplek. Berperawakan sedang sebagaimana perempuan kebanyakan, tapi tembam pada bagian tertentu sehingga membuat sesak baju yang memenjaranya dan  membuat betah bila diajak ngobrol. Masakan enak, bersih dan hangat mengundang banyak orang meluangkan waktu mencicipi.

Di tempat yang terbuka, penjual itu hanya menyediakan empat kursi plastik di samping meja dimana sekalian penganan itu dipajang seolah berteriak memanggil ibu-ibu, anak sekolah, mereka yang hendak pergi bekerja, satpam dan bapak-bapak. Aku paling sering duduk berlama-lama, makan pagi sambil membicarakan segala macam hal kosong. Bukan bersifat pribadi: Mengapa ia bersendiri? Siapa yang memberikan ijin berjualan di sini? Darimana asalnya yang membuat kulitnya putih? Dan semua pertanyaan remeh-temeh basi. Ia pun tak akan bertanya tentang seringnya kenapa Aku tidak sarapan di rumah atau mencari tahu persoalan rumah tangga seseorang. 

Ia hanya tahu, setelah lekat melirik istriku berangkat mengendarai mobil sedan mungil abu-abu menuju kantor, Aku akan datang memesan setengah porsi nasi uduk seperti biasa . Demikian pula, Aku bergegas pamit setelah barang jualan habis atau sisa segelintir menyisakan gunjingan ibu-ibu kompleks yang tak kumengerti. Biarlah, toh selama ini aku tidak pernah melakukan hal buruk mengganggu lingkungan.

Pekerjaanku memberi kebebasan untuk mengatur waktu dan tempat. Kapan saja menjadi saat berangkat bekerja, sesuai kehendak buah pikiran muncul. Aku mengikuti irama hati, berangkat siang lalu pulang setelah istriku terlelap. Atau di rumah saja terdiam!

Dimana saja gagasan besar bisa mencuat: di rumah, di taman, di sanggar, di sudut jalan bahkan ketika tengah bercinta dengan istriku. Saat itulah aku lantas menghentikan kegiatan yang sekiranya dapat mengganggu alam pikir dan segera menumpahkan seluruh visiun nan amat liar menari-nari di kepala pada buku tulis hijau muda yang sangat ingin dirobek-robek istriku.

Pengembara kata tidak mengenal batas dimensi, ia merambah waktu yang luas tak bersekat. Kreativitas sebagai penulis sastra tidak bisa dimengerti seluruhnya oleh wanita yang pernah terjerembab oleh puisi-puisiku,  ketika masih muda.

Istriku adalah seorang pegawai, peneliti sekaligus redaktur jurnal ilmiah pada suatu Balai Penelitian. Perjalanan menempuh kuliah S2 kemudian jenjang S3 di luar negeri membentuknya menjadi pribadi serba nalar, senantiasa mengkritisi kebiasaan setempat bahkan menjadi tidak terlalu suka dengan rasa makanan lokal.

"Terlalu asin dan pedas" lidahnya sudah terbiasa dengan masakan tidak berempah tajam, cenderung menonjolkan rasa asli bahan makanan itu.

"Terasa micin dan berminyak" keluhnya kepada sajian dibubuhi monosodium glutamat, bersantan atau ditumis dengan minyak sawit.

Nasi uduk dan gorengan dimana pun mereka berada tidak bakal menarik seleranya. Makanan di rumahku menjadi kurang berwarna --hanya hijau dan putih-- lama-lama terasa hambar.

Pendapatnya adalah kebenaran. Paling ajaib adalah ketika membeli mesin cuci, suatu perolehan cukup mahal karena serba otomatis dan pintunya di muka.

"Agar praktis mencuci semua pakaian, seprei, handuk dan sebagainya" demikian debatnya.

Belum setahun mesin teronggok sepi di sudut belakang dengan dalih, bahwa mencuci dengan mesin tidak sebersih jika dilakukan dengan tangan.

"Tidak banyak pakaian inih, karena kita hanya berdua. Sprei, handuk dan baju tebal bisa di-laundry".

Agar tidak meradang, seperti biasanya aku membunuh adu argumentasi. Aku yang sentimentil, pelamun berhati lembut dan pendiam lebih banyak mengalah pada istriku yang logis, kaku tanpa rasa belas kasihan, suka mengatur namun pandai. Dua sifat berlawanan yang menyatukan kami dalam mahligai rumah tangga penuh canda tawa, pada sepuluh tahun perkawinan. Berikutnya adalah suatu gambaran pasangan yang tawar sesekali diwarnai riak-riak pertengkaran yang pada akhirnya membuatku mengalah, menutup rapat gejolak emosi.

Sebetulnya istriku merupakan sumber inspirasi yang paling dahsyat. Potongan rambut  pendek menambah kecantikan wajah mungil, hidung agak mancung dan bibir tipis menjadi pemandangan indah yang sedap dipandang. Kombinasi antar perawakan kecil, trengginas, aktif berkegiatan serta pandai berbicara membuatku suka mempuisikannya. 

Ribuan bait-bait indah bertebaran rasanya tak cukup untuk menggambarkan gairahku. Sebagian darinya kupetik kemudian aku cetak menjadi kumpulan puisi yang mengangkatku menjadi sastrawan terkenal di negeri ini.

Ya, bisa saja larik-larik kata berlompatan deras saat aku jatuh cinta. Sesuatu yang lama tidak kualami, saat ini.

Perasaan serupa muncul begitu saja ketika merasakan selusup hangat sinar mentari yang sedang tumbuh di timur bersamaan dengan keriuhan suasana keberangkatan anak-anak ke sekolah, ibu-ibu pergi belanja atau sekedar menghabiskan waktu, bapak-bapak necis pergi ke kantor dan hilir-mudiknya bermacam pedagang memasuki kompleks. Menceritakan beragam festival yang terjadi di alam semesta..

Tempat berjualan di pengkolan itu dengan segala hiruk-pikuknya telah menjadi ladang inspirasi.

Maka, sajak-sajak yang kulisankan kerap dianggap rayuan gombal oleh Asih: melukiskan keelokan pagi, memotret aktivitas orang berlalu-lalang, menggambar kecantikan nuansa nasi uduk, gorengan dan kerenyahan rasa serta keceriaan penjualnya. Aku senang melihat Asih tersipu gembira memancarkan binar berkelebat yang mampu menandingi sinar sang surya. Aku senang melihat keindahan silhouette yang mensketsa tubuhnya sedemikian molek. Aku senang bisa mempuisikan berbagai kesibukan, tidak begitu perduli dengan bisikan bapak-bapak berpikiran mesum yang mengkhayalkan kapan bisa dipijat oleh jemari gemulai penjual nasi uduk pengkolan itu.

Hampir semua syairku berkisah tentang keelokan alam, kegembiraan anak manusia, kemeriahan perayaan dan romantisme cinta. Semua keindahan, termasuk kemolekan wanita, telah diciptakan Tuhan Yang Maha Esa untuk dinikmati.

Hari ini Aku merasa riang berjalan cepat berhasrat memeluk rumah dan seisinya menjelang senja meringkuk dipeluk malam, pulang sehari sebelum kegiatan penting berakhir. Buku Kumpulan Puisi bertajuk Nasi Uduk Pengkolan memperoleh penghargaan tertinggi pada acara Pekan Sastra Nasional di Jakarta.

Kuputar anak kunci pintu depan, membuka dan menutupnya kembali, lalu sontak kudengar erangan istriku seperti tercekik sesuatu yang membuatku terbang menuju kamar sembari kutendang pintu tak terkunci:

Mendadak aku merasa beku, aliran darah ke seluruh tubuh berhenti. Tercekat...!

Tanpa sehelai benangpun pada kedua tubuh berpeluh,

Asih --penjual nasi uduk pengkolan-- sedang menggumuli istriku...!!!

`~~ S e l e s a i ~~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun