Dimana saja gagasan besar bisa mencuat: di rumah, di taman, di sanggar, di sudut jalan bahkan ketika tengah bercinta dengan istriku. Saat itulah aku lantas menghentikan kegiatan yang sekiranya dapat mengganggu alam pikir dan segera menumpahkan seluruh visiun nan amat liar menari-nari di kepala pada buku tulis hijau muda yang sangat ingin dirobek-robek istriku.
Pengembara kata tidak mengenal batas dimensi, ia merambah waktu yang luas tak bersekat. Kreativitas sebagai penulis sastra tidak bisa dimengerti seluruhnya oleh wanita yang pernah terjerembab oleh puisi-puisiku, Â ketika masih muda.
Istriku adalah seorang pegawai, peneliti sekaligus redaktur jurnal ilmiah pada suatu Balai Penelitian. Perjalanan menempuh kuliah S2 kemudian jenjang S3 di luar negeri membentuknya menjadi pribadi serba nalar, senantiasa mengkritisi kebiasaan setempat bahkan menjadi tidak terlalu suka dengan rasa makanan lokal.
"Terlalu asin dan pedas" lidahnya sudah terbiasa dengan masakan tidak berempah tajam, cenderung menonjolkan rasa asli bahan makanan itu.
"Terasa micin dan berminyak" keluhnya kepada sajian dibubuhi monosodium glutamat, bersantan atau ditumis dengan minyak sawit.
Nasi uduk dan gorengan dimana pun mereka berada tidak bakal menarik seleranya. Makanan di rumahku menjadi kurang berwarna --hanya hijau dan putih-- lama-lama terasa hambar.
Pendapatnya adalah kebenaran. Paling ajaib adalah ketika membeli mesin cuci, suatu perolehan cukup mahal karena serba otomatis dan pintunya di muka.
"Agar praktis mencuci semua pakaian, seprei, handuk dan sebagainya" demikian debatnya.
Belum setahun mesin teronggok sepi di sudut belakang dengan dalih, bahwa mencuci dengan mesin tidak sebersih jika dilakukan dengan tangan.
"Tidak banyak pakaian inih, karena kita hanya berdua. Sprei, handuk dan baju tebal bisa di-laundry".
Agar tidak meradang, seperti biasanya aku membunuh adu argumentasi. Aku yang sentimentil, pelamun berhati lembut dan pendiam lebih banyak mengalah pada istriku yang logis, kaku tanpa rasa belas kasihan, suka mengatur namun pandai. Dua sifat berlawanan yang menyatukan kami dalam mahligai rumah tangga penuh canda tawa, pada sepuluh tahun perkawinan. Berikutnya adalah suatu gambaran pasangan yang tawar sesekali diwarnai riak-riak pertengkaran yang pada akhirnya membuatku mengalah, menutup rapat gejolak emosi.