"Berapa Yuk...?"
"Tiga ribu Rupiah".
Kenyang! Meski Aku memesan setengah dari porsi umum, nasi uduk nampak menjejali piring makan bening ditambah taburan telur dadar tebal, tempe orek dan krupuk membuat perut terasa padat.
"Ini lima ribu, kembaliannya bungkuskan dua ketan!"
Dengan terampil Asih --biasa kupanggil ayu sebab berwajah sedap dipandang di usia sekitar tiga puluh tahun-- membungkus dua buah uli, penganan dari ketan  digoreng, ditambah tiga potong tempe bersalut tepung yang tapi tidak setipis kartu atm seperti umum dijual di tepi jalan. Lalu menyorongkan bungkusan ke tanganku yang terpukau. Suatu cara Asih mengistimewakanku adalah membungkuskan penganan berlebih. Sinar matanya berkedip tulus mendamaikan hatiku yang rusuh:
"Untuk menambah camilan nanti siang".
Senyumnya turut meramaikan pendar cahaya dari balik pepohonan teduh berlarian mengikuti matahari melayang ke ketinggian, memberi kehangatan pori-pori belum mandi.
Asih setiap pagi berjualan nasi uduk dan gorengan --tempe, bakwan jagung, ketan, pisang dan tape-- di sudut jalan masuk perumahan. Tinggalnya mengontrak sebuah rumah petak di perkampungan sebelah komplek. Berperawakan sedang sebagaimana perempuan kebanyakan, tapi tembam pada bagian tertentu sehingga membuat sesak baju yang memenjaranya dan membuat betah bila diajak ngobrol. Masakan enak, bersih dan hangat mengundang banyak orang meluangkan waktu mencicipi.
Di tempat yang terbuka, penjual itu hanya menyediakan empat kursi plastik di samping meja dimana sekalian penganan itu dipajang seolah berteriak memanggil ibu-ibu, anak sekolah, mereka yang hendak pergi bekerja, satpam dan bapak-bapak. Aku paling sering duduk berlama-lama, makan pagi sambil membicarakan segala macam hal kosong. Bukan bersifat pribadi: Mengapa ia bersendiri? Siapa yang memberikan ijin berjualan di sini? Darimana asalnya yang membuat kulitnya putih? Dan semua pertanyaan remeh-temeh basi. Ia pun tak akan bertanya tentang seringnya kenapa Aku tidak sarapan di rumah atau mencari tahu persoalan rumah tangga seseorang.Â
Ia hanya tahu, setelah lekat melirik istriku berangkat mengendarai mobil sedan mungil abu-abu menuju kantor, Aku akan datang memesan setengah porsi nasi uduk seperti biasa . Demikian pula, Aku bergegas pamit setelah barang jualan habis atau sisa segelintir menyisakan gunjingan ibu-ibu kompleks yang tak kumengerti. Biarlah, toh selama ini aku tidak pernah melakukan hal buruk mengganggu lingkungan.
Pekerjaanku memberi kebebasan untuk mengatur waktu dan tempat. Kapan saja menjadi saat berangkat bekerja, sesuai kehendak buah pikiran muncul. Aku mengikuti irama hati, berangkat siang lalu pulang setelah istriku terlelap. Atau di rumah saja terdiam!