Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengelola Kehidupan Pasca Perceraian

13 Mei 2012   13:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:21 5309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semestinya pria akan salah tingkah atau merasa seolah menari payung ketika sedang menggandeng mesra tangan sang kekasih, tiba-tiba berpapasan dengan ibu kandung anaknya, yang juga didampingi pria pujaan hatinya di suatu acara resepsi. Kemudian terjadi saling tegur-sapa dan pelukan, tiada rasa canggung dan kehendak untuk saling menghindar satu sama lainnya.


Kendati masing-masing pihak memiliki status jelas, sebagai janda dan duda, setelah lebih dari lima belas tahun mengarungi bahtera rumah-tangga, namun pertemuan tersebut biasanya akan menorehkan ketidak-nyamanan.. Namun sebaliknya, itu menjadi semacam momentum pernyataan tentang pilihan hidup masing-masing, setelah hampir dua tahun mereka secara resmi berpisah.


Lalu bagaimanakah mengelola kehidupan yang positif pasca percerain?


PERCERAIAN YANG TRAUMATIK


Tak ada seorangpun berpikir tentang perpisahan saat berlangsungnya pernikahan yang sakral, yang diwarnai suasana kebahagiaan mengharukan, dipenuhi ujaran-ujaran dan do'a terbaik dari semua orang bagi kelanggengan mahligai rumah-tangga kedua mempelai. Semua orang turut menikmati kemeriahan perayaan, bak sebuah festival pengarakan raja dan ratu baru untuk mengarungi alunan riak-riak, maupun naik turunnya gelombang badai, samudera kehidupan. Ada yang bersusah-payah mencapai benua cinta yang abadi, tidak sedikit juga yang hanyut tersapu, tergulung, tenggelam dan terperangkap dalam ganasnya ombak permasalahan kehidupan berkeluarga.


Perceraian menjadi simbol runtuhnya pengendalian bahtera rumah-tangga. Dalih yang mendasari kasus-kasus perceraian sangatlah beragam, diantaranya: ihwal ekonomi; ketidak-cocokan persepsi; ketidakpuasan kepada pasangan; buntunya jalur komunikasi; dan hilangnya rasa saling mempercayai di antara pasangan. Menurut hemat penulis, pokok persoalan terletak pada buruknya komunikasi yang berakibat pada hilangnya saling mempercayai.


Pada akhirnya, dampak terburuk adalah hubungan personal dan kekeluargaan, terutama anak sebagai korban perceraian. Telah banyak contoh dampak perceraian yang diulas, yang semuanya menggambarkan trauma pasca perceraian. Penulis membatasi ulasan pada trauma yang terjadi pada pasangan yang telah bercerai.


Yang umum adalah hilangnya hubungan baik antar manusian, ditandai oleh munculnya perseteruan, persaingan, dan upaya saling menjelekkan di antara mantan pasangan. Paling parah jika terjadi permusuhan antar keluarga. Dalam perkembangan berikutnya, para pihak akan sangat berhati-hati dalam memilih pasangan pengganti, lengkap dengan segala kriteria-kriteria yang rumit dengan harapan akan mendapatkan "pangeran atau putri impian" sempurna yang dalam kenyataannya mustahil ada. Kemustahilan itu akan semakin memperkeras rasa amarah kepada mantan suami/istri. Siapakah yang merugi? Ya mereka sendiri beserta anak-anak dan keluarganya!


MENGENDALIKAN DAMPAK PERCERAIAN


Prioritas pertama mengatasi permasalahan rumah-tangga adalah dengan mencari solusi agar kembali harmonis. Jika perceraian adalah satu-satunya jalan akhir penyelesaian dari buruknya hubungan pernikahan, maka prosesnya hendaknya dilakukan dengan tujuan membangun kedamaian di atara kedua pihak. Hal ini berdasarkan kenyataan, bahwa pada saat awal terjadinya pernikahan dilaksanakan dengan penuh spirit untuk membangun kebaikan. Oleh karenanya, pengakhiran pernikahan mestinya diletakkan pada azas yang juga akan membangun kebaikan bagi para pelaku beserta turutannya. Memang tidak semudah itu, karena kebanyakan perceraian akan dipenuhi rasa amarah, kebencian, dan dendam. Namun manakala watak tidak baik itu bisa dikendalikan, penulis berpendapat bahwa dampak traumatik perceraian bisa dikendalikan.


Sehubungan dengan hal di atas, penulis menyampaikan beberapa sumbang-saran sebagai berikut:


Admiring

Masing-masing pihak mau mengakui kesalahan-kesalahan yang menyebabkan keadaan perceraian. Suka atau tidak, pengakuan merupakan pintu untuk membuka pikiran tentang saling menghargai, yang lantas membawa kepada keinginan untuk memaafkan dan melupakan.


Hindari "too much analyzing"

Berusaha menganalisa (baca: mengorek masa lalu) permasalahan bisa memperkeruh keadaan buruk menjadi semakin berantakan. Sebaiknya tidak perlu pamer kepintaran dengan analisa njlimet tentang penyebab perceraian, yang telah menjadi persoalan yang telah usang. Hanya menghabiskan energi dan menghasilkan kesia-siaan saja.


Releasing

Siapapun akan menjadi emosional manakala menghadapi kehancuran dalam tahapan hidup. Perceraian pastilah memporak-porandakan harapan hidup seseorang, lalu akan membawanya kepada situasi yang penuh emosi: kesedihan, kemarahan, kebencian, dan dendam. Sebuah situasi yang tidak produktif bagi siapapun yang sedang berjuang mencapai kehidupan yang membaikkan diri dan lingkungannya. Melepaskan diri dari jebakan sikap-sikap emosional menjadi modal penting dalam menghadapi permasalahan secara jernih dan tenang. Aura ketenangan sikap sangat berpengaruh terhadap hubungan kemanusiaan.


Switching

Butuh energi besar dan waktu tidak terukur untuk membetulkan atau memperbaiki puing-puing hubungan. Kalaupun bisa, hasilnya tidak sebanding dengan ikhtiarnya, bahkan cenderung rentan jatuh menjadi lebih buruk. Lebih elok jika hubungan yang semula berdasar perkawinan, diubah bentuk (switched; hijrah) menjadi hubungan: persahabatan; persaudaraan; kekeluargaan; atau apapun bentuk hubungan antar-manusia yang saling menghormati. Hubungan tulus atar pasangan bercerai akan mendamaikan suasana hati anak-anak dari hasil perkawinan sebelumnya. Dan kepentingan sang anak tak berdosa harus sangat diutamakan.


Nrimo

Menerima kenyataan bahwa tidak semua hal di dunia ini bisa dikuasai mutlak, karena ia milik alam semesta. Menerima kenyataan bahwa apa yang telah terjadi, dan menjadi penderitaan, adalah proses pembayaran hutang perbuatan buruk di masa lalu. Pikiran-pikiran positif itu diyakini akan mengantarkannya kepada kehidupan yang lebih menyenangkan.


Berpihak Kepada Anak

Bahwa jiwa anak adalah tabularasa yang tidak mesti dikotori oleh jelaga ego orang-tua yang bermasalah. Biarlah anak -sebagai

Putra dari Sang Kehidupan- mendapatkan suasana kedamaian yang menyuburkan tumbuh-kembang jiwanya dalam menemukan kesejatian.


Your Life Is Up To You

Akhirnya, hidup adalah tentang memilih jalan menuju tujuan akhir. Untuk menuju kota Bandung dari Jakarta, akan banyak pilihan moda untuk mencapainya: menumpang kereta api, pesawat udara, naik bus, mengendarai mobil atau sepeda motor, gowes sepeda, memacu kuda, atau bahkan berjalan kaki. Untuk mencapai tujuan hidup, apapun cara dan jalannya terserah kepada kesukaan anda, tidak ada salah benar. Sebab, tujuan akhir dari kehidupan adalah kematian! Tinggal memilih cara mengisi perjalanan itu: Apakah akan diisi dengan kesedihan? Apakah diisi dengan kemarahan, kebencian, dendam? Apakah akan dipenuhi harmonisasi warna-warni yang berbeda-beda; diharumkan dengan berjenis bunga-bunga indah? Semua terserah kita!


Catatan:

Penulis terinspirasi kisah yang sesungguhnya baru saja terjadi, seperti diceritakan di awal tulisan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun