Mohon tunggu...
Budi Samangilailai
Budi Samangilailai Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

saya Budi Samangilailai mahasiswa ilmu komunikasi Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa"APMD" Yogyakarta, saya suka berinteraksi dengan orang baru dan lingkungan baru, saya suka membaca buku yang bersifat ilmiah. saat ini saya sedang menyelesaikan tugas akhir jenjang sarjana.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Demokrasi Tersandera: Politik Transaksional Sebagai Tantangan Bangsa

3 Desember 2024   01:18 Diperbarui: 3 Desember 2024   01:18 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
GAMBAR ILUSTRASI STOP MONEY POLITIC sumber: bisnis.com

         Pelaksanaan pilkada serentak yang telah dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024, pada dasarnya merupakan salah satu alternatif sistem pemilihan kepala daerah langsung dengan tujuan untuk menghemat anggaran biaya yang cukup signifikandari anggaran pelaksanaan pilkada selama ini yang dibebankan kepada APBD. Namun dalam pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 ini disinyalir melahirkan berbagai fenomena yang terkait dengan politik transaksional yang muncul dalam proses pilkada.

          Pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 memunculkan berbagai fenomena yang terkait dengan politik transaksional yaitu barter politik, boneka politik, politik biaya tinggi, dan adanya money politic dalam perilaku memilih. Secara umum politik transaksional mencederai terwujudnya pemilu yang demokratis dan berimplikasi pada proses penyelenggaraan pilkada itu sendiri yang kurang demokratis. Secara khusus, adanya politik transaksional tersebut dapat memunculkan benih-benih ketidakpercayaan pendukung kepada partai politik dan dapat membingungkan pendukungnya atas pilihan politik partainya, memunculkan perilaku pejabat pemerintah yang korup, serta otonomi daerah yang tidak berkorelasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan dan kualitas kehidupan rakyat.

          Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung merupakan salah satu terobosan politik yang signifikan dalam mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal.Tidak sedikit teoretisi demokrasi yang mengatakan bahwa pada dasarnya semua politik itu lokal. Artinya, demokrasi di tingkat nasional akan tumbuh dan berkembang secara baik bila didukung oleh mantapnya nilai-nilai demokrasi lokal. Pilkada adalah bagian dari proses penguatan dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) serta upaya mewujudkan tata pemerintahan yang efektif.

          Berbagai permasalahan yang muncul tersebut secara komprehensif dapat dilihat melalui perspektif politik transaksional, yang sudah menampakkan gejalanya menjelang pilkada serentak tahun 2015 ini. Hal tersebut dapat ditelusuri dari mulai proses pengajuan usulan calon di internal partai politik hingga tahapan-tahapan pilkada yang telah berjalan sampai saat ini. Adanya politik transaksional dalam pilkada ini, dampaknya tidak hanya sampai proses pilkada selesai atau pada hasil pemenangan pilkada, namun akan berdampak pada proses penyelenggaraan pemerintahan hasil pilkada tersebut yang juga ditengarai tidak akan berjalan secara efektif.

          Politik transaksional berarti politik dagang, ada yang menjual dan ada yang membeli. Tentu semuanya membutuhkan alat pembayaran yang ditentukan bersama. Jika dalam jualbeli, maka alat pembayarannya biasanya berupa uang tunai. Pada praktik politik, jika terjadi politik transaksional, ada yang memberi uang dan ada yang menerima uang dalam transaksi politik tersebut. Meskipun begitu, tidak selalu uang yang digunakan dalam transaksi politik, dalam beberapa kasus politik, politik transaksional juga berkaitan dengan jabatan dan imbalan tertentu di luar uang.

          Politik transaksional merupakan suatu pembagian kekuasaan politik atau pemberian dalam bentuk barang, uang, jasa, maupun kebijakan tertentu yang bertujuan untuk mempengaruhi seorang atau lebih dan untuk mendapatkan keuntungan tertentu berdasarkan kesepatan politik yang dibuat oleh beberapa partai politik atau elite politik.

          Di Indonesia Politik transaksional lebih dikenal sebagai istilah yang lebih diidentikan dengan pemilu. Politik transaksional diartikan sebagai pemberian janji tertentu dalam rangka mempengaruhi pemilih. Namun, dari banyaknya definisi yang ada, Politik transaksional merupakan istilah orang Indonesia untuk menerangkan semua jenis praktik dan perilaku korupsi dalam pemilu mulai dari korupsi politik, membeli suara (vote buying) hingga kegiatan haram (racketeering).

          Istilah money politic suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters). Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang kepada seseorang, karena memiliki maksud politik yang tersembunyi dibalik pemberian itu. Strategi semacam ini mulai berkembang pada Pemilu 2004.

          Adapun bentuk dari politik transaksional (money politic) antara lain dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako (beras, minyak dan gula) dan barang-barang lainnya kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan. Di antara pemilih, para pemilih tidak lagi secara suka mendukung partai.Mereka ikut mendukung, asalkan terdapat imbalan terhadap dukungan yang diberikan itu. Misalnya, mereka mau berkampanye asalkan mendapatkan uang transpor, memperoleh pakaian dan imbalan-imbalan material lainnya dan terkadang mereka ada juga yang menerima imbalannya tetapi pada saat pemilihan berlangsung pemilih tidak memilih calon yang memberikan imbalan tersebut, hal ini dikarenakan mereka hanya menginginkan materialnya saja.

          Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa politik transaksional adalah suatu bentuk transaksi atau perjanjian antar dua pihak yang saling mempunyai kebutuhan terutama pada praktik politik dimana terdapat proses ada yang memberi dan menerima sesuatu baik berupa materi maupun non materi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Terkait dengan hal tersebut, salah satu hal yang menarik untuk dikaji dalam perihal politik dan demokratisasi lokal saat ini serta memiliki korelasional dengan politik transaksional adalah pemilihan kepala daerah langsung di Indonesia. Pemilihan Kepala daerah langsung secara serentak di Indonesia menjadi isu yang sangat menyita perhatian di tahun 2024, yang diikuti oleh 37 provinsi dan 508 kota dan kabupaten di Indonesia.

          Walaupun pilkada sekarang tahun 2024 sudah diatur dengan digelar secara serentak, namun nyatanya masih ada calon tunggal, yang menunjukkan pilkada tidak menarik lagi atau ada fenomena politik lainnya yang ditengarai oleh adanya politik transaksional. Terlepas dari adanya calon tunggal dalam pilkada, politik transaksional juga muncul pada pilkada yang diikuti oleh 2 atau 3 pasangan calon. Hal ini dapat dilihat dari beberapa gejala politik menjelang dimulainya tahapan penjaringan calon kepala daerah-wakil kepala daerah oleh partai politik-partai politik, antara lain :

BARTER POLITIK 

          Adanya kesepakatan antara partai politik yang satu dengan politik yang lainnya dalam bentuk barter pencalonan. Misalnya di Daerah A parpol yang notabene lawan politiknya dalam pilkada akan mendukung calon yang diunggulkan oleh partai lain dengan melakukan barter, dimana partai tersebut nantinya akan mengajukan calon boneka dalam pilkada tersebut. Misalnya: gerindra dengan partai golkar melakukan barter politik dalam pencalonan gubernur. Ridwan kamil sebagai kader golkar di usung maju sebagai calon gubernur daerah khusus ibukota jakarta yang sebelumnya adalah gubernur jawa barat dan dedi mulyadi sebagai kader gerindra tampil di jawa barat sebagai calon gubernur. Adanya barter politik dalam proses pengajuan calon kepala daerah di beberapa daerah menjelang pilkada serentak 2024 membuktikan bahwa partai politik gagal melakukan kaderisasi dan seleksi calon pemimpin yang baik. Partai politik di Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi secara sehat, sehingga di beberapa daerah masih ada calon tunggal, dan adanya barter politik dalam upaya mengatasi calon tunggal tersebut dengan saingan yang diusulkannya hanya sebagai upaya untuk menjadi rivalitas formal semata dalam penyelenggaraan pilkada tersebut.

POLITIK BIAYA TINGGI 

Dalam pilkada serentak ini ditengarai pula dengan adanya fenomena politik biaya tinggi sebagai salah satu konsekuensi yang harus ditanggung oleh partai politik, bila calon yang diusungnya ingin menang dalam pemilu. Adanya politik biaya tinggi ini hanya akan melahirkan politik plutokrasi, yakni sistem politik yang hanya menempatkan orang-orang dengan kekuatan finansial yang besar yang akan terpilih.

Dalam sistem seperti ini, parpol menetapkan kriteria bakal calon terpilih yang akan diusungnya menjadi calon kepala daerah adalah seseorang yang memiliki kekuatan logistik yang besar. Sementara calon yang tidak memiliki kemampuan logistik yang kuat, walaupun memiliki integritas dan kemampuan memimpin daerah, tetap saja akan tersingkirkan dalam peta politik. Fenomena politik biaya tinggi ini dapat dilihat pada saat partai politik dalam mengusung calon di pilkada lebih pada pertimbangan kemampuan finansial calon yang bersangkutan. Dalam salah satu sumber disebutkan bahwa harga Rata-rata biaya mencalonkan diri Kepala daerah tingkat kabupaten/kota: Rp20-30 miliar. Tingkat provinsi: Rp50 miliar atau lebih. (Marawapadang, 25 November 2024)

Adanya biaya politik tinggi memunculkan terjadinya politik transaksional dalam pilkada. Ketika kemampuan dana calon menjadi pertimbangan, maka terbuka ruang bagi masuknya sumber-sumber dana dari pihak luar, termasuk kemungkinan masuknya dana illegal. Biaya politik ini tidak hanya dipakai untuk membiayai pelaksanaan kampanye, tetapi juga untuk membangun relasi dengan para (calon) pendukungnya, termasuk di dalamnya adalah modal untuk memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan berlangsungnya tahapan kampanye. Bahkan, dana politik ini merupakan prasyarat utama ketika calon itu bukan berasal dari partai yang mencalonkannya, yang juga sangat menentukan strategi pemenangan yang dijalankan masing-masing kandidat dan tim suksesnya. Dana politik ini merupakan modal yang sangat diperlukan untuk membiayai semua tahap-tahap pilkada oleh kandidat dan tim pemenangan.

MONEY POLITICS DALAM PERILAKU MEMILIH 

Dalam beberapa kajian tentang perilaku memilih, sejumlah kajian menemukan bahwa kekuatan uang merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku memilih dalam pilkada (Fitriyah, 2013). Hasil kajian dari Lembaga Survey Indenpenden Nusantara (LSIN) menunjukkan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa Indonesia masih menganut sistem demokrasi patron, jika dibandingkan dengan 10 tahun sebelumnya, praktik transaksional jauh lebih massif, dimana pertukaran kleinteistik dan praktek jual beli suara merupakan elemen-elemen yang umum terjadi dan dianggap wajar oleh publik. salah satu Survey LSI di Pilkada makassar menjelang pilkada serentak 2024 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengambil keputusan bahwa pertimbangan utama pemberian suara terhadap kandidat lebih diuatamakan karena adanya pemberian uang atau barang yang diberikan oleh kandidat sebesar 48,3 persen. 

Pemberian uang ini dinilai lebih penting dibandingkan dengan visi-misi atau program kandidat, kesamaan etnis dengan kandidat, kehendak untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi dan partai-partai pengusung atau pendukung kandidat (Luwuraya.net: 2015). Dalam konteks tersebut, politik transaksional yang dilakukan sebagian rakyat ini sangat tergantung dengan kekuatan logistik calon dan partai. Transaksi politik ini terjadi di masyarakat tingkat paling bawah (Muhammadun: 2015). Suburnya politik uang itu tidak terlepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang itu. Pada proses demokrasi di Indonesia, praktek money politics tumbuh subur, karena dianggap sebagai suatu kewajaran masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya karena tidak merasa bahwa money politics secara normatif adalah perilaku yang harus dijauhi.

          Politik transaksional dalam pilkada serentak di Indonesia pada dasarnya dapat dilihat dari fenomena adanya barter politik antar partai politik dalam pilkada, munculnya boneka politik yang seolah-olah menjadi lawan politik calon kuat dalam pilkada, adanya biaya politik tinggi yang harus ditanggung oleh partai politik maupun calon yang akan diusulkan oleh partai politik dalam membiayai tahapan kegiatan pilkada dan upaya pemenangan pilkada, serta munculnya money politics yang mempengaruhi perilaku memilih dalam pilkada.

Politik uang tidak hanya merusak kualitas pemilu, tetapi juga menciptakan lingkaran setan korupsi dan pemerintahan yang lemah. Masyarakat perlu berperan aktif untuk menolaknya demi menciptakan demokrasi yang lebih bersih dan berintegritas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun