Walaupun pilkada sekarang tahun 2024 sudah diatur dengan digelar secara serentak, namun nyatanya masih ada calon tunggal, yang menunjukkan pilkada tidak menarik lagi atau ada fenomena politik lainnya yang ditengarai oleh adanya politik transaksional. Terlepas dari adanya calon tunggal dalam pilkada, politik transaksional juga muncul pada pilkada yang diikuti oleh 2 atau 3 pasangan calon. Hal ini dapat dilihat dari beberapa gejala politik menjelang dimulainya tahapan penjaringan calon kepala daerah-wakil kepala daerah oleh partai politik-partai politik, antara lain :
BARTER POLITIKÂ
     Adanya kesepakatan antara partai politik yang satu dengan politik yang lainnya dalam bentuk barter pencalonan. Misalnya di Daerah A parpol yang notabene lawan politiknya dalam pilkada akan mendukung calon yang diunggulkan oleh partai lain dengan melakukan barter, dimana partai tersebut nantinya akan mengajukan calon boneka dalam pilkada tersebut. Misalnya: gerindra dengan partai golkar melakukan barter politik dalam pencalonan gubernur. Ridwan kamil sebagai kader golkar di usung maju sebagai calon gubernur daerah khusus ibukota jakarta yang sebelumnya adalah gubernur jawa barat dan dedi mulyadi sebagai kader gerindra tampil di jawa barat sebagai calon gubernur. Adanya barter politik dalam proses pengajuan calon kepala daerah di beberapa daerah menjelang pilkada serentak 2024 membuktikan bahwa partai politik gagal melakukan kaderisasi dan seleksi calon pemimpin yang baik. Partai politik di Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi secara sehat, sehingga di beberapa daerah masih ada calon tunggal, dan adanya barter politik dalam upaya mengatasi calon tunggal tersebut dengan saingan yang diusulkannya hanya sebagai upaya untuk menjadi rivalitas formal semata dalam penyelenggaraan pilkada tersebut.
POLITIK BIAYA TINGGIÂ
Dalam pilkada serentak ini ditengarai pula dengan adanya fenomena politik biaya tinggi sebagai salah satu konsekuensi yang harus ditanggung oleh partai politik, bila calon yang diusungnya ingin menang dalam pemilu. Adanya politik biaya tinggi ini hanya akan melahirkan politik plutokrasi, yakni sistem politik yang hanya menempatkan orang-orang dengan kekuatan finansial yang besar yang akan terpilih.
Dalam sistem seperti ini, parpol menetapkan kriteria bakal calon terpilih yang akan diusungnya menjadi calon kepala daerah adalah seseorang yang memiliki kekuatan logistik yang besar. Sementara calon yang tidak memiliki kemampuan logistik yang kuat, walaupun memiliki integritas dan kemampuan memimpin daerah, tetap saja akan tersingkirkan dalam peta politik. Fenomena politik biaya tinggi ini dapat dilihat pada saat partai politik dalam mengusung calon di pilkada lebih pada pertimbangan kemampuan finansial calon yang bersangkutan. Dalam salah satu sumber disebutkan bahwa harga Rata-rata biaya mencalonkan diri Kepala daerah tingkat kabupaten/kota: Rp20-30 miliar. Tingkat provinsi: Rp50 miliar atau lebih. (Marawapadang, 25 November 2024)
Adanya biaya politik tinggi memunculkan terjadinya politik transaksional dalam pilkada. Ketika kemampuan dana calon menjadi pertimbangan, maka terbuka ruang bagi masuknya sumber-sumber dana dari pihak luar, termasuk kemungkinan masuknya dana illegal. Biaya politik ini tidak hanya dipakai untuk membiayai pelaksanaan kampanye, tetapi juga untuk membangun relasi dengan para (calon) pendukungnya, termasuk di dalamnya adalah modal untuk memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan berlangsungnya tahapan kampanye. Bahkan, dana politik ini merupakan prasyarat utama ketika calon itu bukan berasal dari partai yang mencalonkannya, yang juga sangat menentukan strategi pemenangan yang dijalankan masing-masing kandidat dan tim suksesnya. Dana politik ini merupakan modal yang sangat diperlukan untuk membiayai semua tahap-tahap pilkada oleh kandidat dan tim pemenangan.
MONEY POLITICS DALAM PERILAKU MEMILIHÂ
Dalam beberapa kajian tentang perilaku memilih, sejumlah kajian menemukan bahwa kekuatan uang merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku memilih dalam pilkada (Fitriyah, 2013). Hasil kajian dari Lembaga Survey Indenpenden Nusantara (LSIN) menunjukkan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa Indonesia masih menganut sistem demokrasi patron, jika dibandingkan dengan 10 tahun sebelumnya, praktik transaksional jauh lebih massif, dimana pertukaran kleinteistik dan praktek jual beli suara merupakan elemen-elemen yang umum terjadi dan dianggap wajar oleh publik. salah satu Survey LSI di Pilkada makassar menjelang pilkada serentak 2024 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengambil keputusan bahwa pertimbangan utama pemberian suara terhadap kandidat lebih diuatamakan karena adanya pemberian uang atau barang yang diberikan oleh kandidat sebesar 48,3 persen.Â
Pemberian uang ini dinilai lebih penting dibandingkan dengan visi-misi atau program kandidat, kesamaan etnis dengan kandidat, kehendak untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi dan partai-partai pengusung atau pendukung kandidat (Luwuraya.net: 2015). Dalam konteks tersebut, politik transaksional yang dilakukan sebagian rakyat ini sangat tergantung dengan kekuatan logistik calon dan partai. Transaksi politik ini terjadi di masyarakat tingkat paling bawah (Muhammadun: 2015). Suburnya politik uang itu tidak terlepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang itu. Pada proses demokrasi di Indonesia, praktek money politics tumbuh subur, karena dianggap sebagai suatu kewajaran masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya karena tidak merasa bahwa money politics secara normatif adalah perilaku yang harus dijauhi.
     Politik transaksional dalam pilkada serentak di Indonesia pada dasarnya dapat dilihat dari fenomena adanya barter politik antar partai politik dalam pilkada, munculnya boneka politik yang seolah-olah menjadi lawan politik calon kuat dalam pilkada, adanya biaya politik tinggi yang harus ditanggung oleh partai politik maupun calon yang akan diusulkan oleh partai politik dalam membiayai tahapan kegiatan pilkada dan upaya pemenangan pilkada, serta munculnya money politics yang mempengaruhi perilaku memilih dalam pilkada.