Memang Alkitab adalah penuntun hidup manusia, dalam segala aspek, juga dalam beraktivitas di bidang politik. Tetapi menggunakan ayat-ayat Alkitab sebagai alat politik, untuk memprovokasi, adalah keliru.
Anak Papua yang polos tidak membutuhkan pembisik atau penghasut atau provokator yang menggerakkan mereka melakukan perjuangan politik, melalui pemberontakan dan tindak kekerasan.
Yang mereka butuhkan adalah hamba-hamba Tuhan yang mengajarkan kemerdekaan rohani, yang menghapuskan mimpi mereka tentang kemerdekaan politik, yang justru membuat mereka menangis dan menderita.
Ottow dan Geissler telah datang ke bumi Papua tahun 1855. Kedua misionari itu mengajarkan tentang cahaya Ilahi yang membawa orang Papua keluar dari kegelapan spiritual kepada pembebasan rohani.
Tetapi para pengajar yang datang kemudian ke Papua, seperti IS Kijne dan Yahudi Mesianik, mengajarkan suatu keyakinan bahwa mereka harus dan akan memimpin diri mereka sendiri.
Jadi, anak-anak Papua atau Gereja Papua tidak memerlukan pengajar yang membawa mereka berjuang untuk meraih kemerdekaan politik dengan kekuatan manusiawi mereka sendiri.
Yang mereka perlukan adalah gembala umat yang mengajarkan kemerdekaan rohani di dalam Kristus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H