Sebagai tawanan, dalam pembuangan Asyur dan Babel, Israel atau Yahudi tidak memiliki kebebasan politik. Mereka juga tidak memiliki kemerdekaan rohani, karena pembuangan mereka disebabkan oleh dosa-dosa mereka kepada Allah.
Pada masa Yesus di bumi Israel tidak memiliki kemerdekaan politik dan kemerdekaan rohani. Secara politik mereka dikuasai oleh Romawi dan secara rohani mereka terbelenggu oleh dosa.
Ketika itu Yesus Mesias datang untuk memberi kelepasan rohani kepada mereka, tapi mereka menolak Dia. Mereka menolak kemerdekaan rohani dan menghendaki seorang pemimpin yang akan memberi mereka kemerdekaan politik.
Di Palestina, yang mereka sebut tanah Israel, Yesus tidak mengajarkan tentang kebebasan atau kemerdekaan politik. Sebaliknya, Yesus mengajar tentang Kerajaan Allah, kerajaan rohani, bukan kerajaan Israel secara jasmani.
Di masa kini Israel belum mengalami kemerdekaan politik. Proklamasi kemerdekaan pada 14 Mei 1948 belum membawa mereka kepada kemerdekaan politik secara utuh. Mereka masih terus memperjuangkannya dengan mengandalkan kekuatan dan keunggulan manusiawi mereka.Â
Pendeta pendukung separatisme Papua
Socrates Yoman adalah salah satu pendeta yang secara terang-terangan menyatakan dirinya pendukung separatisme Papua.
Socrates berkata dalam sebuah artikelnya, bahwa pendudukan dan penjajahan Indonesia atas rakyat dan bangsa Papua Barat harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Yang dilarang dan ditentang oleh Tuhan Yesus Kristus, Alkitab, Injil dan Gereja ialah kolonialisme, militerisme, kapitalisme, rasisme, fasisme, ketidakadilan, pelanggaran berat HAM, marginalisasi, sejarah Pepera 1969 yang bengkok, dan proses pemusnahan etnis Papua (genocide). Tuhan Yesus Kristus, Alkitab, Injil dan Gereja melarang atau mengutuk tentang mitos, stigma, dan label seperti: monyet, makar, OPM, KKB dan teroris yang diproduksi penguasa Indonesia dari waktu ke waktu, tegasnya. (jubu.co.id)
Socrates dalam tulisannya di atas memakai istilah-istilah Alkitab untuk mendukung pendapatnya tentang kemerdekaan politik, tetapi perlu ditegaskan bahwa Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, tidak berbicara tentang kemerdekaan politik sebagai hal utama, tetapi mengutamakan kemerdekaan rohani.
Alkitab itu buku spiritual, buku kerohanian, penuntun kehidupan rohani umat manusia. Memperalatnya untuk kepentingan politik jelas merupakan pelanggaran terhadap firman Tuhan, apalagi bagi seorang pendeta, seorang yang bertanggung jawab terhadap kebenaran pengajaran Alkitab.