Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tesis memiliki dua arti. Pertama, berarti pernyataan atau teori yang didukung oleh argumentasi yang diterbitkan dalam karya ilmiah. Sedangkan yang kedua adalah karangan ilmiah untuk mendapatkan gelar kesarjanaan.
Bantahan atas tesis dinamakan antitesis, sesuatu yang bertentangan dengan tesis. Antitesis merupakan jawaban atas pendapat dan argumentasi ilmiah sebelumnya yang memiliki sifat bertolak-belakang dengan tesis.
Karena tesis dan antitesis bisa jadi sangat kontras antara satu dengan lainnya, maka diperlukan langkah-langkah yang disebut dengan sintesis, yaitu mensinkronkan tesis dan antitesis. Langkah ini digunakan untuk "mendamaikan" tesis yang saling bertentangan.
Banyak yang menyamakan sintesis ini dengan jalan tengah, dengan mencampurkan dua tesis tersebut dan mengambil kesimpulan secara umum. (Khairul Arief Rahman, academicindonesia.com - 25/05/2021).
Anies Antitetis Jokowi?
Politisi Partai Nasdem Zulfan Lindan membuat pernyataan mengenai bakal calon presiden partainya, Anies Baswedan, adalah antitesis daripada Presiden Jokowi.
Zulfan menyampaikan bahwa Nasdem memilih Anies untuk menjadi bakal calon presiden melalui kajian dengan pendekatan filsafat dialektika. Dalam kajian itu Anies ibarat antitesis dari Jokowi sehingga akan melengkapi kinerja dari pada pemerintahaan saat ini.
Memang sejak dideklarasikan sebagai bakal calon presiden 2024, Anies Baswedan disebut sebagai antitesis Presiden Jokowi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu diusung oleh Koalisi Perubahan, yang terdiri dari tiga partai, NasDem, PKS dan Demokrat, yang getol menyuarakan perubahan. Anies sering mengkritik pemerintahan Jokowi. Begitu pula kader partai di Koalisi Perubahan.
Partai NasDem menilai ada perbedaan mendasar antara Jokowi dengan Anies Baswedan. Anies merupakan antitesis dari Presiden Jokowi sehingga cocok diusung sebagai bakal capres.
Kendati demikian, menurut Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno (12/10/2022) dalam filsafat politik butuh pembuktian secara empirik untuk menyatakan bahwa Anies merupakan antitesis Jokowi. Dia menekankan bahwa klaim tersebut membutuhkan argumen dan bukti yang valid.
Apakah para pendukung Anies mempunyai bukti empirik dan argumen kuat sehingga berani menempatkan bacapres Nasdem tersebut sebagai antitesis Jokowi?
Pengamat politik Effendi Gazali dalam satu acara televisi menafsirkan bahwa makna antitesis yang disebutkan Zulfan Lindan dapat berarti bahwa selama ini Jokowi menggunakan prinsip bekerja. Adapun Anies dinilai tidak hanya bekerja, tetapi juga membuat konsep dalam menjalankan kepemimpinan. "Jokowi dapat dikatakan berfikir dan bekerja. Namun Anies membuat sebuah konsep dalam bekerja. Mungkin itu yang dimaknai dalam antitesis yang disampaikan Nasdem," ujarnya.
Pernyataan bahwa Jokowi berpikir dan bekerja sedangkan Anies membuat sebuah konsep dalam bekerja tidak dapat diposisikan sebagai tesis dan antitesis karena keduanya memiliki kesamaan atau kemiripan arti, sedangkan tesis dan antitesis memiliki kontras atau pertentangan antara satu dengan lainnya.
Mungkin kedua ungkapan di atas dikemukakan untuk menunjukkan bahwa dalam hal bekerja Anies lebih unggul dibanding Jokowi. Argumen tersebut sangat lemah. Dalam bidang apa kinerja Anies lebih unggul dibanding Jokowi? Konsep Anies dalam bekerja dan memimpin DKI tidak jelas, terbukti dengan tiadanya prestasi yang layak dibanggakan. Sebaliknya konsep kepemimpinan dan kerja Jokowi terbukti secara empiris dari hasil pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.
Jokowi memiliki pengalaman memimpin Solo, kemudian DKI Jakarta dan kini telah hampir sembilan tahun memimpin Indonesia dengan tingkat kepuasan masyarakat sangat tinggi. Berbeda dengan Anies yang prestasinya dalam memimpin DKI hanya merupakan klaim para pendukungnya dan bahkan diragukan oleh masyarakat dan para pengamat.
Karena tesis dan antitesis harus didukung oleh argumen dan bukti empiris kuat, maka keduanya harus memiliki bobot yang sama. Dan dilihat dari bobot prestasi antara Jokowi dan Anies, mantan gubernur DKI ini tidak layak diposisikan sebagai antitesis Jokowi.
Diberitakan bahwa elektabilitas Anies menurun di saat kepercayaan kinerja Presiden Jokowi naik. Ada korelasi antara naiknya kepuasan terhadap Jokowi dan turunnya elektabilitas Anies. Artinya ungkapan Anies antitesis Jokowi menjadi tidak bermakna dan hanya menjadi bahan sindiran.
Hal ini seperti diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto, yang mengaku tak lagi menganggap Anies Baswedan sebagai antitesis Presiden Jokowi. Sebab, Anies dinilai belum memiliki level yang setara dengan Jokowi sebagai seorang negarawan. "Kalau antitesa ini kan sepertinya sepadan, punya suatu gagasan. Gagasannya sama-sama punya mazhab yang sangat kuat," ujar Hasto dalam tayangan Gaspol! di YouTube Kompas.com, Rabu (5/4/2023).
Tesis dan antitetis memang harus selevel, karena keduanya mesti memiliki bukti empiris dan argumen yang kuat. Mungkin itu sebabnya para pendukung Anies berusaha merendahkan Jokowi dan menafikan atau menegasikan kinerja Presiden Jokowi, agar terlihat oleh masyarakat bahwa Anies layak disebut "the best".
Anies Bukan Penerus Jokowi
Jokowi ingin adanya keberlanjutan progres pembangunan, sedangkan Anies memberi penegasan bahwa pemimpin bukan soal keberlanjutan. Dalam hal ini secara sederhana Anies disebut sebagai antitesis Jokowi, artinya berbagai pencapaian dan kemajuan yang dibuat era Jokowi akan berhenti jika Anies kelak terpilih sebagai Presiden RI periode 2024-2029.
Dalam pemikiran seperti itu ungkapan Anies antitesis Jokowi dimaknai sebagai penolakan Jokowi terhadap mantan gubernur DKI ini sebagai penerus kepemimpinannya.
Jokowi sudah mempersiapkan calon pemimpin masa depan yang akan melanjutkan kepemimpinannya yang akan ikut kontestasi Pilpres 2024. Jokowi akan menghadirkan sosok pemimpin yang mampu melanjutkan pembangunan.
Prabowo Sintesis Jokowi-Anies?
SINDOnews.com (15/7/2023) menurunkan artikel yang meyebut bahwa berdasarkan hasil survei Lembaga Survei Jakarta (LSJ) Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dinilai sebagai sosok capres yang sangat berkompeten. Ketua umum Partai Gerindra itu sangat cocok melanjutkan kepemimpinan dari Presiden Jokowi. Prabowo juga disebut sangat cocok memegang kursi presiden periode 2024-2029.
Ditambahkan, bahwa kompetensi Prabowo Subianto dalam menjadi Presiden juga didapat dari dukungan dari berbagai pihak. Kedekatannya dengan Jokowi sangat mempengaruhi kompetensi Prabowo Subianto sebagai capres. Sinyal kedekatan keduanya muncul dalam banyak kesempatan. Hal itu menjadi salah satu faktor yang mampu meningkatkan elektabilitas serta popularitas Prabowo Subianto menjelang Pilpres 2024.
Sementara Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, mengatakan Prabowo merupakan sosok tepat untuk melanjutkan kinerja pemerintahan Presiden Jokowi dan berpotensi menang pada Pilpres 2024 mendatang (poskota.co.id -- 30/7/2023).
Dan di banyak kesempatan Prabowo mengungkapkan secara tegas bahwa ia ingin melanjutkan kerja-kerja dari Pemerintahan Presiden Jokowi.
Penilaian-penilaian tersebut di atas dan pengakuan Prabowo bahwa dirinya cocok menjadi penerus Jokowi, apakah cukup membuat ia layak ditempatkan berdiri berdampingan dengan Jokowi, sebagai tesis, sebagai penerus? Rupanya tidak! Karena orang-orang dekatnya seperti Fadli Zon dan Rocky Gerung suka nyinyir melontarkan ungkapan kasar yang merendahkan Jokowi yang kontraproduktif dan justru menempatkan Prabowo sebagai antitesis Jokowi.
Sebuah pertanyaan menarik muncul dalam artikel berjudul "Jika Ganjar Capres Penerus Jokowi, Anies Antitesis Jokowi, Lantas Prabowo Apa?" (kumparan.com -- 24/4/2023).
Pertanyaan tersebut diperluas dengan kalimat: "Kalau Ganjar Pranowo merupakan Calon Presiden penerus agenda dan program politik kenegaraan Presiden Jokowi, kalau Anies Baswedan merupakan Calon Presiden antitesis agenda dan program politik kenegaraan Presiden Jokowi, lantas Prabowo Subianto positioningnya sebagai Calon Presiden apa?"
Menjawab pertanyaan tersebut, dikutiplah pendapat dari Fadli Zon, Wakil Ketua Umum DPP Gerindra, yang menyebut bahwa Prabowo sebagai "Jalan Tengah", jalan yang bisa diterima oleh semua pihak, artinya baik kanan maupun kiri.
Apakah dengan pendapatnya itu Fadli Zon bermaksud memposisikan Prabowo sebagai sintesis dari Jokowi (tesis) dan Anies (antitesis)? Sepertinya tidak! Karena  justru terlihat bahwa Prabowo layak disebut main dua kaki, istilah politik yang dipergunakan untuk menyebut pada orang atau sekelompok orang yang berada antara dua kubu atau kontestan. Istilah ini tidak selalu tapi sering dipakai dalam konotasi negatif.
Prabowo memerlukan suara dari pendukung Jokowi, maka dia mengaku sebagai penerus Jokowi. Di sisi lain dia memerlukan suara dari kelompok Islam yang mendukungnya di Pilpres 2019 dan jalan yang dia pilih untuk meraih suara mereka adalah dengan menjelek-jelekkan dan menegasikan pencapaian kepemimpinan Presiden Jokowi, seperti antara lain yang baru-baru ini dilakukan oleh Rocky Gerung yang membuatnya dilaporkan ke polisi oleh banyak elemen masyarakat pendukung Jokowi.
Prabowo dan Anies memiliki irisan pendukung yang sama khususnya dari kelompok Islam. Dalam arti tertentu keduanya menempati posisi sebagai antitesis terhadap Jokowi. Â Mungkinkah terjadi duet Prabowo-Anies berhadapan dengan Ganjar dan pasangannya di Pilpres mendatang? Bisa jadi!
(Budi Kasmanto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H