penyuapan langsung dan tidak langsung misalnya suap yang ditawarkan atau diterima melalui atau oleh pihak ke-tiga
(www.kan.or.id, 08/06/2017).
Kalau negeri ini ingin berubah menjadi lebih baik guna "menyejajarkan diri" dengan negara lain dalam hal PEMBERANTASAN KORUPSI maka harus meniru Singapurayang lebih dulu menerapkan ISO Anti Penyuapan. Â Kalau tidak, tentunya cepat atau lambat menjadi kenyataan TIADA AKHIR SUAP-MENYUAP DI INDONESIA.
Bahkan apabila sudah diterapkan atau menjadi keharusan penerapan pada semua organisasi negara maupun swasta maka tidak tertutup kemungkinan bertambahnya jumlah lembaga sertifikasi dan menjadi peluang bisnis. Tapi diyakini, hanya lembaga sertifikasi yang kredibel akan mendapat kepercayaan dari organisasi pengguna layanan terutama korporasi yang selama ini ditenggarai menjadi pemicu suburnya penyuapan terhadap aparat pemerintah.
Justru dalam konteks Sertifikasi Anti Penyuapan ini dikuatirkan menjadi "ladang baru" suap-menyuap mengingat secara berkala dilakukan Audit Kepatuhan (surveilance) untuk mengetahui/memantau penerapannya sudah dilakukan secara baik dan benar atau belum, jadi bisa saja menjadi "pasar nego" antara pihak yang diaudit dan pihak pengaudit. Tepat sekali, apabila ada pemikiran bahwa sebaiknya KPK mengembangkan program pengawasan sertifikasi dimaksud untuk mendukung atau mensinergikan cakupan bidang pencegahan korupsi.
Sebagaimana diketahui bahwa tugas KPK tidak hanya penindakan terhadap seseorang yang diduga melakukan korupsi tapi juga pencegahan yang dilakukan Bidang Pencegahan (pasal 26 ayat 2 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Pihak KPK tampak juga mulai mengambil langkah baru (strategi) yaitu mengedepankan Pencegahan Korupsi dengan "pendekatan sistem" disamping penindakan yang lazim dilakukan selama ini.
Bahkan, kalau dipandang langkah ini bisa menekan maraknya korupsi di Indonesia maka harus ada payung hukum yang "lebih mengikat" bagi KPK dalam rangka saling koordinasi dengan lembaga-lembaga sertifikasi. Bisa saja KPK langsung beri "pencerahan" tentang Anti Penyuapan setelah ada laporan dari pihak lembaga sertifikasi yang mendeteksi potensi suap-menyuap pada salah satu atau beberapa klien-nya.
Pemikiran ini, tentunya untuk menguatkan KEBERADAAN KPK SEBAGAI FOCAL POINT guna menggiring sektor swasta kedepankan anti korupsi serta lembaga-lembaga penegak hukum mendayagunakan peraturan lain terkait pencegahan dan penindakan korupsi apa pun itu.
Kalau memang demikian, tepat sekalidenganadanya SNI ISO 37001:2016 tentang Sistem Manajemen Anti Penyuapan ini yangmana lembaga-lembaga sertifikasi bisa/dapat "bersinergi" dengan KPK dalam upaya ikut membantu pencegahan korupsi utamanya suap-menyuap.
Apalagi dalam penerapan sistem manajemen anti penyuapan pada suatu organisasi tatkala dilakukan penilaian/audit apabila ada temuan (hasil audit) yang berpotensi suap-menyuap maka secara otomatis dapat dilakukan "pencabutan" sertifikat SNI ISO 37001:2016 tanpa menunggu menjadi atau terjadinya kasus korupsi.
PATUHLAH TERHADAP SISTEM MANAJEMEN YANG DITERAPKAN, BUKAN HANYA PATUH KEPADA SESEORANG/LEMBAGA SERTIFIKASI YANG MENGAWASI PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN. Tentunya penerapan sistem manajemen anti penyuapan "bukan" hanya untuk mengejar formalitas semata atau menarik simpati publik (butuh sertifikat ISO-nya saja), tapi memang terpanggil untuk melakukan "kebaikan dan perbaikan" organisasi ke luar dari zona nyaman.