Mohon tunggu...
Budhy Setiawan
Budhy Setiawan Mohon Tunggu... Editor - penulis

dunia penelitian kurang mendapat tempat (perhatian) di negeri ini sehingga profesi peneliti kurang / tidak diminati orang, maka dari itu di usia saya yang tua ini mencoba untuk memotivasi orang lain untuk gemar menulis (artikel)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Suap-menyuap di Indonesia yang Tiada Akhir

1 Agustus 2018   15:49 Diperbarui: 1 Agustus 2018   16:43 2212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: jabar.tribunnews.com)

Suap-menyuap (korupsi) bukanlah hal baru, dalam prakteknya masih saja terjadi di negeri ini. Dikatakan demikian, karena peristiwa itu sejak dulu sering terjadi sehingga mungkin dianggap hal yang biasa untuk dilakukan walau ada hukum yang mengaturnya. Sudah puluhan tahun terlihat adanya korupsi di Indonesia tapi sulit dikendalikan apalagi diberantas.

Kita semua yang "waras" dalam artian sehat jasmani dan ruhani (kepekaan hati, atau punya rasa) pasti ikut prihatin dengan belum surutnya korupsi, bahkan cenderung meningkat setiap tahun. Kasus korupsi dilakukan perseorangan atau rombongan, serta ditenggarai pihak swasta/perusahaan (korporasi) ikut terlibat dan melibatkan diri terjadinya penyuapan karena bisa saja "terbentur" aturan dan prosedur layanan publik yang menghambat kepentingannya.

Sudah bisa dikatakan TANGGAP DARURAT KORUPSI DI INDONESIA, mengingat pejabat tinggi Kementerian Agama juga pernah didakwa melakukan korupsi uang setoran pemberangkatan haji. Plesetan bergulir, bahwa seseorang meskipun rajin beribadah bisa saja tanpa ragu melakukan korupsi seolah ada ijin dari Sang Khalik.

Mantan Presiden Republik Indonesia Almarhum Gus Dur pernah menyatakan bahwa korupsi masih menjadi budaya, diberantas di bibir dan dikerjakan oleh yang punya bibir (GUS DUR, DR. Abdul Wahid Hasan, 2015). Tepat sekali pernyataan itu, karena praktek korupsi utamanya suap perlu/harus dicegah dengan cara yang tepat dan efektif (tersistem).   Mereka, para calon koruptor maupun si-koruptor, agaknya "tidak takut" dengan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tidak takut itu, mudah dipahami, karena penegakan hukum terkait korupsi "belum berjalan dan dijalankan secara maksimal" sehingga tak salah bergulir sindiran yaitu tajam bawah tumpul atas. Padahal, untuk menyikapi kasus korupsi bisa/dapat dibuka peluang intepretasi (tafsir) dalam penjatuhan hukuman khususnya pidana mati sesuai pasal 2 ayat 2 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun selama ini Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tampak ringan atau belum berat dalam penjatuhan hukuman dengan berbagai alasan pembenar. Maka sekali tempo, perlu ada Hakim yang "berani" memulai dan/atau memelopori penjatuhan HUKUMAN MATI sebagai shock-therapy bagi para koruptor kelas kakap agar ada "efek jera" hari ini dan hari esok.

Penyuapan diartikan sebagai tindakan menawarkan, memberikan, menerima, atau meminta nilai dari suatu barang untuk mempengaruhi tindakan pegawai lembaga atau sejenisnya yang bertanggung jawab atas kebijakan umum atau peraturan hukum. Sehingga bisa diartikan juga penyuapan adalah tindakan memberikan atau meminta uang, barang, atau bentuk lain dari pemberi suap kepada penerima suap dengan maksud agar penerima suap memberikan kemudahan berupa tindakan atau kebijakan dalam wewenang penerima suap sesuai dengan kepentingan pemberi suap.

Lebih lanjut, dikatakan/ditegaskan bahwa suap dapat membuat orang yang berhak kehilangan haknya, dan orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Suap adalah sesuatu yang sangat merusak tatanan masyarakat. Apabila jika suap telah menjadi kebiasaan atau tradisi, maka bisa menghancurkan sebuah negara. Yang menjadi korbannya ialah rakyat dan juga generasi penerus bangsa dengan kondisi negara yang carut-marut. Suap seperti penyakit yang secara diam-diam menggerus keadilan dan kemanusiaan (www.kan.or.id, 08/06/2017).

Ada yang menyatakan bahwa masalah korupsi itu menjadi salah satu "musuh" besar setelah masalah narkoba di negeri ini. Dikatakan musuh, karena banyak duit rakyat yang dimiliki secara melawan hukum oleh para koruptor demi untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, maupun golongannya. 

Sehingga bisa dipahami, bahwa korupsi memang merupakan "penyakit sosial" yang sangat merusak tatanan masyarakat serta menggerus kemanusiaan dan keadilan sehingga tidak tertutup kemungkinan bisa menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sekitar dua puluh tahun yang lalu seorang Psikolog sempat menyentuh dan mengejutkan pernyataannya dalam Koran Kompas menyambut HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA bahwa pemicu korupsi justru dari pihak keluarga itu sendiri (suami, istri, dan anak). Jadi, tidak semua orang tahu dan paham cara mendapatkan rizki secara "baik dan benar" atau mungkin pura-pura tidak tahu.

Terjadinya korupsi dipengaruhi beberapa faktor yaitu : rendahnya akhlak si-pelaku, adanya kesempatan atau peluang, belum/tidak dilakukannya zero toleran terhadap pelanggar sistem (standar operasional prosedur) pada organisasi terkait.

Kalau kita perhatikan, setiap ganti Presiden ada saja kasus korupsi mewarnai masa pemerintahan.  Maka dari itu, ada pertanyaan mendasar, SERIUS TIDAK PEMERINTAH INDONESIA BERANTAS KORUPSI (suap-menyuap, gratifikasi, pencucian uang, dst)!?? Kiranya kali ini terjawab/dijawab oleh Presiden Joko Widodo menyikapi maraknya korupsi di Indonesia dengan mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Penekanannya pada "perbaikan sisitem" agar ada efek jera bagi koruptor mengingat besarnya kerusakan yang bisa ditimbulkan oleh kegiatan suap-menyuap terhadap tatanan masyarakat dan negara. Maka dalam konteks ini Badan Standarisasi Nasional (BSN) mengadopsi secara identik standar ISO 37001:2016 menjadi SNI ISO 37001:2016 tentang Sistem Manajemen Anti Penyuapan, dengan harapan potensi suap dapat terdeteksi secara dini mengingat kasus korupsi yang ditangani KPK kebanyakan modusnya penyuapan.

SNI ISO 37001:2016 dapat digunakan untuk menanamkan budaya anti suap dalam sebuah organisasi/institusi negara maupun swasta. Tampak banyak cakupan dalam sistem manajemen anti penyuapan ini yang menyangkut hal-hal sebagai berikut:

penyuapan di sektor publik swasta dan nirlaba,

penyuapan oleh organisasi,

penyuapan oleh personil organisasi yang bertindak atas nama organisasi dan atau keuntungan organisasi,

penyuapan oleh rekan bisnis organisasi yang bertindak atas nama organisasi atau keuntungan organisasi,

penyuapan kepada organisasi,

penyuapan kepada personil organisasi dalam kaitan dengan kegiatan organisasi,

penyuapan kepada rekan bisnis organisasi dalam kaitan dengan kegiatan organisasi,

penyuapan langsung dan tidak langsung misalnya suap yang ditawarkan atau diterima melalui atau oleh pihak ke-tiga

(www.kan.or.id, 08/06/2017).

Kalau negeri ini ingin berubah menjadi lebih baik guna "menyejajarkan diri" dengan negara lain dalam hal PEMBERANTASAN KORUPSI maka harus meniru Singapurayang lebih dulu menerapkan ISO Anti Penyuapan.  Kalau tidak, tentunya cepat atau lambat menjadi kenyataan TIADA AKHIR SUAP-MENYUAP DI INDONESIA.

Bahkan apabila sudah diterapkan atau menjadi keharusan penerapan pada semua organisasi negara maupun swasta maka tidak tertutup kemungkinan bertambahnya jumlah lembaga sertifikasi dan menjadi peluang bisnis. Tapi diyakini, hanya lembaga sertifikasi yang kredibel akan mendapat kepercayaan dari organisasi pengguna layanan terutama korporasi yang selama ini ditenggarai menjadi pemicu suburnya penyuapan terhadap aparat pemerintah.

Justru dalam konteks Sertifikasi Anti Penyuapan ini dikuatirkan menjadi "ladang baru" suap-menyuap mengingat secara berkala dilakukan Audit Kepatuhan (surveilance) untuk mengetahui/memantau penerapannya sudah dilakukan secara baik dan benar atau belum, jadi bisa saja menjadi "pasar nego" antara pihak yang diaudit dan pihak pengaudit. Tepat sekali, apabila ada pemikiran bahwa sebaiknya KPK mengembangkan program pengawasan sertifikasi dimaksud untuk mendukung atau mensinergikan cakupan bidang pencegahan korupsi.

Sebagaimana diketahui bahwa tugas KPK tidak hanya penindakan terhadap seseorang yang diduga melakukan korupsi tapi juga pencegahan yang dilakukan Bidang Pencegahan (pasal 26 ayat 2 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Pihak KPK tampak juga mulai mengambil langkah baru (strategi) yaitu mengedepankan Pencegahan Korupsi dengan "pendekatan sistem" disamping penindakan yang lazim dilakukan selama ini.

Bahkan, kalau dipandang langkah ini bisa menekan maraknya korupsi di Indonesia maka harus ada payung hukum yang "lebih mengikat" bagi KPK dalam rangka saling koordinasi dengan lembaga-lembaga sertifikasi. Bisa saja KPK langsung beri "pencerahan" tentang Anti Penyuapan setelah ada laporan dari pihak lembaga sertifikasi yang mendeteksi potensi suap-menyuap pada salah satu atau beberapa klien-nya.

Pemikiran ini, tentunya untuk menguatkan KEBERADAAN KPK SEBAGAI FOCAL POINT guna menggiring sektor swasta kedepankan anti korupsi serta lembaga-lembaga penegak hukum mendayagunakan peraturan lain terkait pencegahan dan penindakan korupsi apa pun itu.

Kalau memang demikian, tepat sekalidenganadanya SNI ISO 37001:2016 tentang Sistem Manajemen Anti Penyuapan ini yangmana lembaga-lembaga sertifikasi bisa/dapat "bersinergi" dengan KPK dalam upaya ikut membantu pencegahan korupsi utamanya suap-menyuap.

Apalagi dalam penerapan sistem manajemen anti penyuapan pada suatu organisasi tatkala dilakukan penilaian/audit apabila ada temuan (hasil audit) yang berpotensi suap-menyuap maka secara otomatis dapat dilakukan "pencabutan" sertifikat SNI ISO 37001:2016 tanpa menunggu menjadi atau terjadinya kasus korupsi.

PATUHLAH TERHADAP SISTEM MANAJEMEN YANG DITERAPKAN, BUKAN HANYA PATUH KEPADA SESEORANG/LEMBAGA SERTIFIKASI YANG MENGAWASI PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN. Tentunya penerapan sistem manajemen anti penyuapan "bukan" hanya untuk mengejar formalitas semata atau menarik simpati publik (butuh sertifikat ISO-nya saja), tapi memang terpanggil untuk melakukan "kebaikan dan perbaikan" organisasi ke luar dari zona nyaman.

PT. KAI Commuter Jabodetabek misalnya perlu "diapresiasi" (acungan jempol) karena masih tetap komitmen dan konsisten untuk memberikan layanan prima kepada para pengguna layanan dengan menerapkan zero toleran terhadap para pelanggar sistem (internal maupun eksternal) sehingga terlihat adanya kemajuan dan perkembangan dunia perkereta-apian Indonesia.

Semoga SNI ISO 37001:2016 membawa kebenaran dalam mencegah suap-menyuap di Indonesia, karena hanya "Insan" yang menghendaki kebenaran selalu mendukung adanya Sistem Manajemen Anti Penyuapan. Memang pelik menyoal KEBENARAN, benar dan salah itu ada mengatakan "beda-beda tipis".

Apalagi kalau perbincangkan kasus korupsi yang mendapat sorotan masyarakat, pasti akan panjang lebar, nyaris tak ada titik-temu untuk mengatakan/menyatakan siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi, apa yang disampaikan Karni Ilyas dalam tayangan ILC Tv-One tertanggal 01/08/2017 menjadi "penyegaran" kita semua karena ada 3 versi tatkala menyikapi suatu Kasus Hukum yaitu : versi saya, versi anda, dan versi kebenaran.

Akhir kata, mencegah kejahatan tentunya lebih baik daripada menindak (menghukum) seseorang utamanya yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Sosiologi korupsi juga perlu mendapat perhatian dalam upaya pencegahan ini, karena tak cukup hanya bertumpu pada aturan hukum dan personil lembaga penegak hukum. Sehingga kelak apabila banyak organisasi negara maupun swasta yang menerapkan ISO Anti Penyuapan maka bisa dikatakan mereka telah ke depankan "integritas tinggi" serta mendukung KPK dalam upaya mencegah praktek penyuapan.

Jpg. 31/03/2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun