Mohon tunggu...
Budhi Wiryawan
Budhi Wiryawan Mohon Tunggu... profesional -

mengikuti kemana darah ini mengalir....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Perempuan Bernama Bunga

11 Agustus 2016   11:10 Diperbarui: 12 Agustus 2016   00:49 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BERTETANGGA dengan bunga, semula kurasakan akan berada di lautan parfum, wangi dan menyedak. Tapi kehidupan telah begitu larut dan memperkosa setiap kata, yang indah dan mudah untuk dijumputi satu-satu, seperti mengambil bijih-bijihan yang jatuh di tanah.

Bunga adalah akar persoalan sekaligus penyebab semuanya.

Pertama, Ia adalah perempuan yang kukenal sejak kecil, dan setelah dewasa akhirnya menjadi istriku. Kedua, kesetian menjaga nama, mengharumkan keluarga, dan selalu mengerti atas setiap persoalan yang terjadi di rumah adalah kelebihan dari Bunga, istriku.

 “ Aku sering tak suka jika namaku dibawa kemana-mana “ kata istriku tiba-tiba menghentak suasana.

 Seminggu yang lalu seorang teroris mati tertembak di kampung sebelah. Di catatan identitas  buku harian, teroris itu punya istri bernama Bunga. Ia  sangat sayang kepada istri dan anaknya., Namun ia telah menelantarkan mereka untuk sebuah urusan yang tidak pernah diketahui oleh anak dan istrinya.

 “Menjadi teroris adalah misteri yang ditanam dan harus selalu dirahasiakan,. Sendiri tanpa melibatkan orang lain “:  tulis  teroris itu  di buku hariannya

Istriku seperti dihantui oleh nama itu, meski nama itu telah menempel menjadi identitasnya sejak lahir. Kali ini ia terusik karena nama bunga , ternayata berkonotasi dengan hal-hal yang mengerikan.dan menyeramkan.

Ada cerita lain masih soal bunga. Lagi-lagi ceritanya juga tidak mengenakkan. Cerita tentang seorang rentenir. Ia adalah tetangga sebelah, yang diam-diam tanpa sepengetahuan suaminya , menjalani pekerjaan sebagai lintah darat. Ia berkedok meminjami uang dengan cara yang mudah, namun sejatinya perempuan yang bernama Bunga Wati ini telah melakukan pemerasan yang sangat halus. Hingga korbannnya seperti dibuai mimpi dan seolah berada di tengah taman bunga. Meski sejatinya orang yang tengah berada di dalam perangkap rentenir sama juga tengah menjalani kehiduoan ekonomi yang akut dan maut, karena sedang tercekik bunga kredit.

 “ Mas, kau masih sangsi juga dengan nama itu kan ? Apa baiknya aku ganti nama saja ya ?“ kata istriku melanjutkan ceritanya

 Tanpa kujawab , aku kemudian masuk ke kamar melanjutkan pekejaan di depan komputer.

*****

 Sepulang dari supermarket, istriku kembali memberikan penegasan soal nama itu.

 “Mas, kita tak bisa selamanya seperti ini, Aku dikungkung oleh sebuah peristiwa dan aku menjadi orang yang sering terlibat di dalamnya . Saatnya aku ganti nama“ ucap istriku mengulangi lagi keinginannya untuk mengganti nama.

Tapi aku tak bergeming dengan kinginan istriku ini. Mengganti nama tidak sekedar mengubah sebuah kata dan menempelkannya menjadi seberkas identitas baru..Aku mulai curiga, apakah istriku tengah mengalami gejala psikopat . Semenjak nama bunga selalu menjadi buah bibir pembicaraaan banyak orang, Istriku merasa seperti diteror oleh orang-orang yang tidak dikenal.

Pagi ini aku ajak istriku periksa di poli kejiwaan sebuah rumah sakit swasta yang besar di kota ini. Untungnya ia mau memenuhi ajakanku. Di depan psikhiater istriku menceritakan secara detil semua peristiwa yang dialaminya.

“ Istri saya kebetulan sama dengan ibu, namanya juga Bunga “ dokter itu tiba-tiba menambah kosakata yang sama di hadapan istriku.

 “ Sudah bu, ibu butuh istrirahat yang cukup. Ibu sehat, tidak apa-apa. Tak ada yang salah soal nama itu “ jawab psikhiater,

 “ Kalau boleh tahu, apa profesi istri Anda, dokter ? “ istriku tiba-tiba pengin tahu

 “ Bunga istri saya saat ini bekerja sebagai manajer pemasaran di kota ini untuk memasarkan produk perbankan yang terbaru, semacam kartu kredit begitu “ jawab dokter jiwa tersebut.

Aku kemudian menjadi tidak tahu harus berkata apa pada istriku. Jika benar Bunga yang istri psikhiater itu adalah orang yang baru saja aku kenal lewat BBM.

"Benarkah Bunga yang ini “ batinku

Keesokan hari, sebuah koran lokal yang terbit di kotaku memajang berita dengan judul yang sangat menyolok.

“ Buronan, perempuan bernama Bunga telah melarikan uang milyaran rupiah “.

 Di alenea kedua berita itu diterangkan: “Tak hanya itu saja, perempuan yang ditengarai suka menggoda suami orang itu, akan bertindak apapun sesuai dengan insting jahatnya. . Siapapun yang penah berkorespondensi dengannya, dengan mudah akan diseretnya masuk dalam pusaran persoalan.”

 Aku seperti dihadaplkan pada pusaran persoalan baru.

Tak lama kemudian, perempuan ini mengirim foto dan pesan di ponselku. Alamak ! foto editan yang memperlihatkan pose yang seronok. Sialnya ada juga fotoku di situ dalam kondisi telanjang dada. Di bagian bawah foto itu tertulis :

 “Tunggu info berikutnya, jangan kaget...aku akan hadir di setiap detik-detik jantungmu dengn kabar yang lain”

 Galau dan rasa cemas yang dialami istriku, ternyata tak hanya firasat yang buruk, tapi ini telah menjadi kenyataan, meski aku merasa kejadian ini belum bisa aku gambarkan setelahnya.Namun saat ini aku seperti dihingapi firasat yang tidak enak juga.. Barangkali firasatku bisa jadi sama dengan firasat istriku sebelumnya.

 Hati-hati dengan nama Bunga. Hati –hati juga berselancar di media cyber. Jaman telah mengubah warna dan harum bunga, menjadi pesona, atau sebaliknya mengubah bunga menjadi bencana. Jangan percaya dengan slogan dan janji

Betapa kagetnya aku ketika kemudian wartawan sering mengontakku. Semula aku biasa saja tak menanggapi selentingan isyu yang tak sedap antara aku dan Bunga, istri dokter jiwa itu. Sebab aku sangat memahami posisiku sendiri. Namun selalu saja pertanyaan wartawan memancing-mancing soal affair dan bagaimana kepribadian perempuan tersebut. Namun sekali lagi pertemananku sebatas hanya di ruang maya, tak lebih dari itu. Meski jujur saja, aku sempat hampir larut dalam imajinasiku sendiri.

Konon perempuan ini telah menjual bualannya di hadapan penyidik, bahwa aku yang seharusnya menjadi korban kejahatan perempuan ini, berbalik, aku dituduh menjadi penadah beberapa produk haram yang dijadikan lahan sampingan perempuan ini. Ternyata polisi telah menemukan bukti, bahwa perempuan ini tak hanya bekerja sebagai sales kartu kredit, tapi juga pengedar narkotika.

“Ah menjadi sial hari ini, baru sebulan berteman dengannya, bukanlah wangi yang kudapat, tapi benar-benar bencana “ucapku lirih dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun