Sepulang dari supermarket, istriku kembali memberikan penegasan soal nama itu.
 “Mas, kita tak bisa selamanya seperti ini, Aku dikungkung oleh sebuah peristiwa dan aku menjadi orang yang sering terlibat di dalamnya . Saatnya aku ganti nama“ ucap istriku mengulangi lagi keinginannya untuk mengganti nama.
Tapi aku tak bergeming dengan kinginan istriku ini. Mengganti nama tidak sekedar mengubah sebuah kata dan menempelkannya menjadi seberkas identitas baru..Aku mulai curiga, apakah istriku tengah mengalami gejala psikopat . Semenjak nama bunga selalu menjadi buah bibir pembicaraaan banyak orang, Istriku merasa seperti diteror oleh orang-orang yang tidak dikenal.
Pagi ini aku ajak istriku periksa di poli kejiwaan sebuah rumah sakit swasta yang besar di kota ini. Untungnya ia mau memenuhi ajakanku. Di depan psikhiater istriku menceritakan secara detil semua peristiwa yang dialaminya.
“ Istri saya kebetulan sama dengan ibu, namanya juga Bunga “ dokter itu tiba-tiba menambah kosakata yang sama di hadapan istriku.
 “ Sudah bu, ibu butuh istrirahat yang cukup. Ibu sehat, tidak apa-apa. Tak ada yang salah soal nama itu “ jawab psikhiater,
 “ Kalau boleh tahu, apa profesi istri Anda, dokter ? “ istriku tiba-tiba pengin tahu
 “ Bunga istri saya saat ini bekerja sebagai manajer pemasaran di kota ini untuk memasarkan produk perbankan yang terbaru, semacam kartu kredit begitu “ jawab dokter jiwa tersebut.
Aku kemudian menjadi tidak tahu harus berkata apa pada istriku. Jika benar Bunga yang istri psikhiater itu adalah orang yang baru saja aku kenal lewat BBM.
"Benarkah Bunga yang ini “ batinku
Keesokan hari, sebuah koran lokal yang terbit di kotaku memajang berita dengan judul yang sangat menyolok.