Belakangan ini ketika ke gereja sebelum perayaan ekaristi dimulai selalu dikumandangkan lagu Indonesia Raya, begitu juga saat kemarin momen keterlibatan dalam pemilu Presiden, legislatif dan kepala daerah semuanya menjadi simbol bentuk nasionalisme atau kepedulian terhadap negara. Menarik untuk kembali merenungi makna nasionalisme dalam perspektif Sukarno karena semangat nasionalisme yang terkandung dalam Pancasila tidak bisa dipisahkan dari buah pikir Sukarno, yang tertuang saat pidato 1 Juni 1945 dan ditetapkan sebagi hari lahirnya Pancasila.
Nasionalisme, bagi Sukarno, bukan sekadar slogan politik atau konsep kosong yang digunakan untuk kepentingan sesaat. Sebaliknya, ia adalah napas perjuangan bangsa, spirit yang mengalir dalam setiap detak jantung rakyat Indonesia, terutama saat merebut kemerdekaan dari penjajahan. Namun, di era globalisasi dan modernisasi yang terus berkembang, relevansi dan kehadiran nasionalisme mulai dipertanyakan. Apakah nasionalisme yang pernah menjadi nyala api kebangkitan bangsa kini masih ada? Bagaimana Sukarno memandang ancaman terhadap nasionalisme, dan mengapa penting untuk meninjau perspektif ini dalam konteks modern?
Nasionalisme Sukarno: Sebuah Pemahaman Kritis
Sukarno memandang nasionalisme sebagai sebuah gerakan yang menyatukan dan mengangkat martabat bangsa. Dalam pidato-pidatonya yang berapi-api, Sukarno menegaskan bahwa nasionalisme adalah perjuangan kolektif melawan penindasan dan ketidakadilan, baik yang datang dari penjajah luar maupun dari ketidakadilan dalam negeri. Nasionalisme, bagi Sukarno, adalah cara bagi bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan sejati---bukan hanya secara politis, tetapi juga secara sosial dan ekonomi. Bagi Sukarno, tujuan nasionalisme bukan untuk mengungkung manusia dalam satu kotak bernama bangsa. Tujuan nasionalisme ialah membebaskan manusia dari keterkungkungan dan belenggu penindasan. Nasionalisme Sukarno adalah nasionalisme yang berlandaskan pada kemanusiaan. Mengutip ucapan Gandhi yang ditulis Sukarno dalam Pidato 1 Juni 1945, "Saya seorang nasionalis tetapi kebangsaan saya adalah peri kemanusiaan", Sukarno berpendapat bahwa melawan penindasan antar manusia merupakan wujud dari nasionalisme itu sendiri.
Dalam pandangan Sukarno, nasionalisme haruslah inklusif dan berdiri di atas prinsip keadilan sosial. Nasionalisme yang hanya mementingkan golongan tertentu atau menindas yang lemah adalah bentuk palsu yang pada akhirnya akan menghancurkan persatuan bangsa. Sukarno sering berbicara tentang Pancasila sebagai dasar ideologis dari nasionalisme Indonesia, yang memuat nilai-nilai kemanusiaan dan gotong-royong sebagai landasan utama.
Tanda-tanda Matinya Nasionalisme
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, nasionalisme seperti yang dipahami Sukarno mengalami tantangan besar. Pengaruh globalisasi, dengan kemudahan teknologi dan arus informasi yang cepat, telah mengubah cara masyarakat memandang identitas dan kepentingan kolektif. Di sisi lain, perbedaan kelas yang semakin tajam dan korupsi politik juga melemahkan rasa percaya terhadap institusi negara. Rasa individualistik yang kian tinggi hingga rasa ketidakpedulian terhadap sesama dan alam pun perlahan hilang.
Nasionalisme mulai dipandang sebagai sekadar retorika kosong, terpisah dari kenyataan sehari-hari rakyat. Kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan kedaulatan, seperti penjualan aset-aset strategis negara kepada pihak asing dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kaum Marhaen---sebutan untuk kaum tertindas oleh Sukarno---semakin memperdalam kesenjangan antara idealisme nasionalisme Sukarno dan praktik politik negara. Hal ini menegaskan bahwa nasionalisme, dalam bentuk yang diperjuangkan Sukarno serta yang terkandung dalam Pancasila, telah mati.
Tantangan Menghidupkan Kembali Nasionalisme
Untuk menghidupkan kembali nasionalisme ala Sukarno yang berlandaskan semangat Pancasila 1 Juni 1945, perlu ada upaya kolektif dari berbagai pihak. Pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kebangsaan berdasarkan peri kemanusiaan secara mendalam menjadi kunci penting. Pendidikan ini bukan hanya tentang menghafal sejarah perjuangan kemerdekaan, tetapi juga tentang memahami dan menghidupi semangat gotong-royong serta keadilan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan yang bukan hanya menghasilkan kaum buruh untuk mengabdi kepada kepentingan kapital melainkan pendidikan yang menanamkan rasa kemanusiaan serta pendidikan yang bisa membawa manusia Indonesia tercerahkan---sehingga tidak ada lagi manusia Indonesia yang terjebak dalam sistem perbudakan---sebagaimana hakikat dari ilmu pengetahuan.
Sukarno selalu menekankan pentingnya kemandirian ekonomi sebagai landasan kedaulatan bangsa. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi yang lebih pro-rakyat dan berfokus pada pengembangan sektor-sektor strategis nasional, seperti pertanian, perikanan, dan industri lokal dengan konsep koperasi yang menjunjung kolektifitas dapat menjadi langkah untuk menghidupkan kembali semangat kebangsaan berdasarkan peri kemanusiaan.
Nasionalisme, seperti yang dipahami dan diperjuangkan Sukarno, tidak boleh hanya menjadi memori historis. Ia harus dihidupkan kembali melalui tindakan nyata dan komitmen bersama. Di tengah tantangan globalisasi dan arus liberalisasi---kapitalisasi yang semakin deras, spirit nasionalisme yang autentik dan penuh semangat juang akan penghapusan penindasan menjadi lebih relevan dari sebelumnya. Menghidupkan kesadaran kolektif akan kesetaraan menjadi jalan agar negara ini tidak hanya dinikmati oleh kelas borjuasi tapi juga oleh kaum Marhaen karena negara ini bukan hanya untuk satu golongan melainkan untuk semua golongan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H