“Prang…!” terdengar suara seng seperti terlempar, memecah keheningan malam. Yono sedikit terperanjat.
“Paling seng bekas dekat gudang belakang terlanggar sapi..” Yono mencoba menenangkan dirinya, memang diseputaran mes yang baru ditempati banyak berkeliaran sapi yang dibiarkan liar oleh pemiliknya, mereka bebas mencari rumput baik siang maupun malam di seputaran Distrik (Kecamatan) itu.
Baru lima hari Yono berdua dengan saya menempati mes baru, sebetulnya bukan mes nya yang baru. Mes nya sih sudah lama dibangun, kami baru menyewa dan menempati untuk dijadikan mes transit sekaligus kantor sementara.
Setelah dirasa suasana aman, Yono kembali melanjutkan pekerjaannya. Dia kembali memotong bilah-bilah kayu untuk pembuatan tower air kami. Tower air sangat vital apalagi di musim kemarau seperti sekarang ini.
Namun tak lama berselang, Yono merasakan bulu kuduknya berdiri, ada sedikit perasaan tidak enak dihati.
“Ah, buat kopi dulu biar sedikit menghangatkan suasana….”bisiknya dalam hati sambil memburu kearah dapur lewat pintu belakang. Diseduhnya kopi sambil matanya menatap berkeliling dibalik pintu dapur. Tampak suasana senyap diluar sana.
Sambil menikmati kopi panas ditemani sebatang rokok di tangga teras belakang. Dihisapnya asap rokok dalam-dalam, kemudian dia hembuskan ke udara. Warna asap putih sangat kontras dengan gelapnya malam.
“Sepi sekali ini malam….”ujar Yono lirih. Dilihatnya Jam sudah menunjukan pukul 23.30 WIT. Sudah larut malam memang, “Tidak ada apa-apa….”
Malam itu memang sangat sepi, terasa sunyi senyap, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu diriuhkan dengan suara mercon dan meriam bambu menyambut tahun baru yang akan tiba beberapa hari lagi. Malam ini sama sekali tidak ada suara meriam bambu yang biasa saling bersahutan. Bukan sepi karena ini malam jum’at, tapi bisa jadi orang-orang pada kecapaian setelah tadi pulang dari gereja ikut kebaktian malam menjelang Natal. Pada langsung tidur, kali. Ya, besok kan Hari Natal.
Setelah melihat sekeliling dirasa aman, Yono berdiri dari duduknya. Dia bersiap kembali melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Pekerjaan harus selesai malam ini, atau tidak sampai subuh. Kabarnya kalau menjelang hari besar, listrik PLN hidup sampai pagi hari. Alat pemotong dan bor yang dipakai perlu tenaga listrik, jadi mau tidak mau harus dikebut malam hari.
Suara gergaji mesin kembali terdengar. Baru setengah jam menekuni pekerjaannya, kembali dirasakan bulu kuduknya berdiri. Bukan karena dinginnya malam, sepertinya ada sesuatu…..
Perasaan seperti ada yang bergerak-gerak dibelakangnya. Penasaran diliriknya kearah belakang kearah pohon mangga yang berjarak sekitar 3 meter dari tempatnyanya jongkok. Disamping pohon mangga yang ada bacokan membentuk huruf AG, sekilas tampak ada sosok hitam tinggi besar serta tidak berpakaian sedang mengawasinya. Sosoknya seperti orang Suku Papua, namun kok malam-malam seperti ini tidak pakai baju, apalagi ini malam menjelang Natal. Belum lagi ada hal yang janggal, sudah menjadi kebiasaan kalau ada orang yang datang, selalu mengucapkan salam, apakah itu selamat pagi, siang, sore ataupun selamat malam. Yang ini tidak….
Tanpa berpikir panjang, Yono berdiri menjauh dari sana, setengah berlari dia masuk kedalam mes melalui pintu belakang.
“Malam Jum’at apa sekarang?” tanya Yono begitu masuk kedalam rumah.
“Memang kenapa, Mas?” saya balik bertanya, sambil menyalakan kompor minyak tanah. Harap dimaklum, kompor gas belum masuk sampai di pedalaman Papua. Kalau pun ada, mau berapa harganya? Pasti setinggi langit, wajar saja, alat angkutnya juga ke tempat kami harus memakai kapal laut. Perut lapar, pas mau makan nasi, nasi di magic com basi, akibat seharian PLN mati. Jadinya bikin mie rebus saja. Ya, PLN pun hanya hidup di malam hari saja, jadi nasi sering basi, belum lagi ikan dan daging yang disimpan dilemari es. Akhirnya terbuang, jadi santapan gratis Hunter, anjing tetangga kami.
Buat masyarakat Papua yang ada di pedalaman, listrik adalah barang yang langka, begitu juga dengan bahan bakar. Kalau bensin di P. Jawa naik sampai 8 ribu orang sudah pada teriak-teriak. Buat kami yang ada di Papua, harga 24 ribu perliter bisa dibilang harga yang relatif murah. Kami sudah terbiasa dengan harga-harga yang selangit seperti itu. Semua serba mahal karena kurangnya inprastruktur, terutama jalan dan jembatan. Tidak ada yang menghubungkan antara kota dan pedesaan. Transportasi paling kapal laut ataupun pesawat perintis untuk mengangkut Bama (Bahan Makanan- istilah di Papua)
Yono kemudian menceritakan pengalaman ngeri-ngeri sedapnya barusan.
Akibat listrik pula, pekerjaan Yono harus dikerjakan pada malam hari. Alat pertukangan kami semua perlu tenaga listrik, maka kawan satu itu harus kerja lembur malam hari di saat listrik PLN hidup.
“Ha…ha…paling mau kenalan sambil ngawanin Mas bekerja…”gurau saya
“Ya, nggak lah. Saya kan lahir di sini, di Papua. Paling mau kenalan sama orang baru seperti bapak….” Kata Yono nggak mau kalah.
“Wah…wah….! Gimana lihat kakinya? Nyentuh tanah, nggak?”
“Boro-boro, Pak…” kata Yoono sambil menghela napas panjang.
Penasaran kami sepakat mau melihat kebelakang. Pintu kami buka perlahan…
“Kreet….”suara derit engsel pintu memecah keheningan malam. Begitu terbuka, sosok yang tadi diceritakan sudah hilang, lenyap entah kemana. Yang ada hanya hanya pohon mangga berdiri kokoh dikegelapan malam.
Cerita dari Adi pemilik bengkel sepeda motor yang letaknya kurang lebih 300 meter dari mes kami, dulu memang ada Pa Ce (bapak) yang sudah cukup tua, sering berjalan-jalan diseputaran daerah situ. Orangnya tinggi besar, sering tidak memakai baju. Tapi itu dulu….sekarang Pa Ce sudah meninggal…
Wah….! Berarti yang ngawanin Yono itu siapa? Sudah pasti Jin yang menyerupai Si Pak Ce. Orang disini bilang Hantu Penunggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H