“OK”
“Kamu tahu dalam masa kampanye begini, dindingpun bertelinga..”
“Aku sudah bilang OK, Bram. Aku mengerti. Kamu mau aku minta maaf, karena berharap? Begitu?
“No,Vin. Aku yang minta maaf. Aku sudah menyakiti kamu lagi. Aku akan perbaiki, OK? Begitu masa kampanye sialan ini lewat, kita berlibur. Dan, kalau aku kembali dapat kursi, kamu tinggal tunjuk negara di bola dunia, dan kita pergi. Deal?”
“Aku tidak sakit, Bram. Aku kecewa. Dan itu bukan masalahmu. Kalau aku sakit hati, kamu bisa minta maaf. Tapi, kekecewaanku, bukan karena kamu tidak bisa ikut. Aku kecewa, karena telah berharap. Harusnya aku cukup tahu diri, untuk tidak mengukir mimpi terlalu tinggi. Dan, aku bukan anggota dewan, kolegamu. Aku hanya seorang jurnalis dan kebetulan meliput di kantormu yang terhormat. Jadi kamu tidak perlu sogok aku”
“JAGA bicaramu”
“Ouch!Sekarang, bicarapun aku harus jaga ya?Geez Pak Bram!”
“Cukup, Vin. Aku sudah minta maaf. Aku sudah tawarkan hadiah perdamaian, bukan sogokan. Aku tahu, kamu bicara begitu, karena kecewa. Aku tidak perlu meyakinkan kamu, semua yang kamu terima dari aku, bisa kupertanggungjawabkan. Kamu tahu siapa aku, Vin. Tidak perlu omongan sampah seperti itu. Buang-buang energi kita. Buang waktu. Tidak tiap hari kita bisa punya kesempatan untuk bicara. Sekarangpun, sebenarnya aku.…”
“Tidak tiap hari juga, aku merayakan ulangtahun ke 40”
“…………….Vin, I am truly sorry… Mungkin lebih baik kamu tahu yang sebenarnya. Aku harus terus terang…”
“Maksud kamu?”