Lagu itu terhenti tepat saat Danu tiba-tiba kejang dan ia hanya menatapku kosong. Aku panik dan sangat khawatir. Aku berteriak memanggil Ibu Danu, dengan cepat beliau datang tergopoh sembari menahan guncangan badan Danu. Tapi tak kunjung berhenti. Aku membantu Ibu Danu untuk segera membawanya ke mobil dan langsung ke rumah sakit. Ayah Danu belum pulang.
Di jalan menuju rumah sakit, tak bisa lagi kutahan tangisku. Tubuh Danu terus terusan kejang, aku baru pertama kali melihat hal seperti ini. Setiba di rumah sakit, Danu segera ditangani tim dokter. Aku menunggu dengan gelisah, Ayah Danu datang, tak lama setelah kedatangan Ibu. Aku memeluk Ibu, aku ketakutan, aku takut kehilangan Danu.
Sekitar satu jam, dokter datang dan mengabarkan kondisi Danu membaik. Saat itu aku berucap syukur kepada Tuhan karena masih memberi kesempatan sekali lagi bertemu Danu. Aku diperbolehkan masuk menemuinya, beberapa selang terpasang di tubuhnya. Aku menggenggam tangannya. Tiba-tiba genggamanku terasa hangat seperti ada tangan besar yang ikut menggenggamnya. Danu merespon genggamanku. Saat bersamaan, air mata Danu mengalir di sudut matanya. Lalu, tiba-tiba genggaman itu berubah dingin, sedingin air es. Mesin di samping Danu tiba-tiba bersuara nyaring dan tak lagi berdetak.
Aku bertambah panik dan lari keluar memanggil dokter, memanggil siapa saja yang bisa menolongnya. Semua orang panik, berlari ke kamar di mana Danu terbaring. Aku melihat bayangan Danu berpakaian putih. Tangan besar itu melambai, tersenyum dan menghilang. Akupun tak tahu apa-apa lagi, kecuali hanya gelap.
Selamat jalan tangan besar.
Jeneponto, 17 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H