Danu, adalah sahabat kecilku. Dari usia tujuh tahun, sejak kepindahannya dari suatu kota yang selalu ia sebut sebagai kota dingin. Ia sulit sekali beradaptasi dengan kotaku yang didominasi pana, pada awalnya. Ia waktu itu berkata padaku, "Matahari di kota ini serasa lebih dekat daripada di kotaku. Mungkin itu sebabnya suhu jadi lebih panas dan aku mudah keringatan. Aku tidak suka badanku yang lengket juga bau." Aku tersenyum melihatnya mengucapkan kalimat itu, wajahnya lucu dan karena itu dia malah memanggilku Gigi Kecil. Karena ketika aku tersenyum, gigi gigi kecilku itu nampak seperti beras di matanya. Yah, itulah sekeping cerita perkenalan di masa kanak-kanak bersama Danu.
Sejak hari kedatangannya, akulah tetangga yang sok akrab padanya. Aku kerap lewat di depan rumahnya, atau menunggunya sampai ia keluar dan berlari kecil ke arahku.
"Kenapa tidak masuk saja Gigi Kecil, aku di dalam." ucapnya suatu ketika.
"Aku malu." jawabku yang akhirnya malah jidatku yang kena toyoran jari telunjuknya yang panjang.
"Lain kali kalau kamu tidak langsung masuk saja, maka aku tidak akan mau keluar dari rumah. Biar saja kamu dimakan Matahari.
Sejak perdebatan kecil itulah aku akhirnya tak pernah menunggu ia keluar, aku langsung masuk dan bertemu dengan Ibunya yang ramah dan suka masak makanan enak. Juga bertemu ayahnya yang selalu pulang saat jam makan siang tiba. Begitulah gambaran keluarga Danu yang di mataku begitu sempurna. Aku, kerap membayangkan bagaimana rasanya digendong ayah atau dibacakan buku cerita. Pasti menyenangkan sekali.
Hingga waktu-waktu berlalu, aku dan Danu tumbuh bersama. Orang-orang lebih sering menyebut kami bersaudara karena entah kenapa wajah kami tiba-tiba mirip seiring tubuh kami yang bertambah. Ibu pernah bilang, siapa yang sedari kecil selalu bersama maka besarnya nanti, orang-orang akan melihat wajah mereka menjadi sama. Apa iya? Tapi aku merasa tak ada yang sama, semua normal-normal saja. Sekarang usia Danu 20 tahun dan aku 18 belas. Bagaimana bisa sama?
Hampir setiap hari aku bersama Danu, kecuali saat ini. Danu semakin sibuk dengan dunia kampusnya, sementara aku sibuk dengan dunia yang hanya memikirkan Danu sepanjang waktu. Aku kadang cemberut kalau ia hanya memiliki waktu di malam hari untuk bertemu. Tapi ketika ia mulai mengusap kepalaku, aku merasa semua kembali baik-baik saja. Namun, aku mulai memiliki ambisi yang pada akhirnya malah membuat Ibu sedih. Aku ingin kuliah. Seperti Danu. Di kampus Danu. Agar dekat Danu. Lalu tanpa diduga, Ibu marah padaku.
"Kenapa semua tentang Danu? Tidak bisakah kamu berhenti memikirkannya sedetik saja?"
"Kenapa Ibu?"
"Kamu yang kenapa Alana? Ibu yang seharusnya bertanya kenapa?"
"Ibu, apa ada yang salah denganku? Aku juga tidak tahu kenapa, jika Danu tak ada aku merasa hatiku kosong dan  hariku tak berwarna."
"Itulah masalahnya anakku Alana yang lugu, kamu mulai jatuh cinta pada Danu. Tidakkah kamu merasa begitu bergantung pada Danu? Aku khawatir kamu tidak bisa mengontrol diri kamu sendiri."
"Ibu, apa? Jatuh cinta? Apakah cinta itu merasakan ketenangan dan kegelisahan secara bersamaan? Bagaimana aku harus menghadapinya?"
Hari itu banyak pertanyaan terlontar dari mulutku yang membuat Ibu pada akhirnya hanya memelukku sangat dalam. Apa itu artinya aku harus mulai belajar tanpa Danu? Tapi bagaimana bisa?
***
Suatu malam saat Danu bermain dengan gitarnya di teras rumahny. Entah keberanian apa yang ada dalam diriku, yang kutahu hanyalah dorongan kuat untuk mengucapkan ini pada Danu.
"Apa Danu menyukaiku?"
Mendapati pertanyaan itu, Danu berhenti memetik senar gitarnya. Dia menatapku lama.
"Sini, aku ajari main gitar. Kamu dulunya mau belajar kan?"
Ya, aku memang selalu terobsesi untuk bisa main gitar. Tapi malam ini berbeda, aku butuh jawaban. Tanpa menggubris reaksi Danu, aku malah pergi dari sana. Meninggalkan ia sendirian dan aku lari bersama nyeri di hatiku.
Saat itu, aku menyadari satu hal. Bahwa adalah hal bodoh menanyakan itu pada Danu, mungkin saja aku yang terbawa perasaan sejak Ibu bilang aku jatuh cinta. Aku penasaran apakah Danu merasakan hal yang sama ketika tak bersamaku. Merasakan debar yang berbeda begitu bertemu dan menghabiskan waktu hanya berdua. Apakah persahabatan itu begitu kental dengan rasa cinta yang hanya tak sekedar perasaan dekat sebagai sahabat?
Malam sejak aku bertanya pada Danu apakah ia menyukaiku, aku berusaha mencari beasiswa di internet. Aku ingin segera menemukan jawaban, apakah ketika aku jauh Danu mencariku dan merasa kehilangan? Yah, sepertinya duniaku memang hanya soal Danu. Karena itu aku yakinkan diri, lebih tepatnya menguatkan diri bahwa pada akhirnya aku terbiasa tanpa Danu meski itu berat.
Danu sibuk di kampusnya, beberapa hari terakhir aku malah tidak melihat ia sama sekali. Waktu memang maha pemutar keadaan. Bagaimana bisa aku dan Danu sekarang bagai dua sosok asing yang tak pernah bertemu sekalipun? Akhirnya waktu yang kutunggu itu tiba. Aku mendapatkan beasiswa di salah satu kampus nan jauh di kota sebrang  yang diberi julukan sebagia kota Istimewa.
"Alana, seberapapun jauhnya kamu pergi, ingatlah rumahmu di sini. Jika kamu rindu, pulanglah Ibu menunggumu."
Begitulah ucapan terakhir Ibu yang mengantarku sampai Bandara, melepasku bersama pelukannya yang hangat dan pasti akan sangat kurindukan.
"Bu, jika Danu mencariku, bilang aku sedang dalam perjalanan mewujudkan mimpi."
"Pergilah Alana, dunia ini terlalu luas untuk hanya tinggal di satu kota. Ingat mulai sekarang kamu akan mencuci bajumu sendiri, memasak sendiri, semuanya sendiri jadi mandirilah sayang."
Aku mengangguk tanda mengerti.
Di pesawat aku memandang keluar dari jendela kecil.
"Selamat tinggal kota Matahari. Sampai jumpa Danu."
***
Selama kurang lebih empat tahun aku tidak pernah pulang, aku sibuk dengan segala urusan kuliah dan juga bisnis kecilku di bidang fashion. Ibu yang mengunjungiku ke sini, seperti hari ini ia datang untuk menghadiri acara wisudaku keesokan harinya.
"Danu menanyakan keadaanmu." ucap Ibu saat baru saja tiba.
"Istirahatlah Bu, Ibu baru saja tiba."
"Alana, kamu sudah cukup dewasa sekarang. Ibu merasa bersalah karena pernah memintamu untuk tidak hidup dalam dunia Danu secara terus menerus. Ibu membiarkan perasaanmu mati bahkan saat baru saja tumbuh."
"Ibu tidak salah. Ibu benar. Jika bukan karena Ibu, aku mana bisa semandiri sekarang. Soal Danu, tidak ada yang mati Bu, semuanya masih sama. Jadi Ibu tidak perlu merasa bersalah."
Setelah Ibu akhirnya bisa istirahat, aku sendiri malah terbang ke masa di mana aku bermain bersama Danu. Yah, masa kecil yang begitu indah. Tanpa beban dan tanpa harus memikirkan perasaan apa yang tumbuh diam-diam di hatiku. Aku mungkin berhasil jauh dari Danu, tapi tidak dengan jarak hatiku yang setiap saat tetap memikirkannya. Tidak bisa kupungkiri, ini bukan soal seberapa jauh jarak aku pergi meninggalkan kota Matahari, tapi ini soal betapa sering aku ingin melupakan Danu tapi malah terjebak di sana dengan rindu yang menggebu. Seringkali aku tak bisa menahan diri ingin menghubunginya, tapi aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak tergugah dan terlena.
Ternyata tak semudah itu melupakan Danu. Bahkan ketika aku mati dan terlahir kembali, aku mungkin hanya mencari Danu. Aku seperti terikat padanya, dari waktu ke waktu yang kurasakan hanyalah perasaan itu mengalir dan semakin bertambah. Sesederhana dan mungkin serumit inilah cinta yang kurasakan.
Setelah hari perayaan kelulusan itu tiba, aku memutuskan pulang ke kota Matahari bersama Ibu.
"Apa tidak ada satu laki-laki pun yang menarik perhatianmu di kota yang katanya istimewa ini Alana?" Tanya Ibu saat perjalanan menuju Bandara.
"Menurut Ibu?"
"Semua masih Danu ya?"
"Tidak ada yang berubah Ibu, aku masih anakmu yang lugu dan baru merasakan cinta." jawabku serius tapi dengan nada sedikit bercanda pada Ibu.
"Kamu ini. Bagaimana jika akhirnya kamu ketemu Danu?"
"Ya bertemu Ibu."
"Kamu sudah dewasa sekarang."
"Bagaimana Ibu bisa tahu?"
"Kamu lebih tenang menghadapi situasi. Bagi Ibu itu sudah lebih dari cukup untuk membuat seorang Ibu menjadi lebih tenang."
"..."
Aku tersenyum pada Ibu, menikmati setiap detik jarum yang berdetak. Walau tak dipungkiri aku juga membayangkan bagaimana ketika bertemu Danu."
***
Ada satu rahasia yang tak pernah diceritakan Ibu padaku. Aku menyadari itu, begitu tiba di rumah. Aku melihat dari balik jendela kamarku ke arah rumah Danu. Di teras rumah itu, aku melihat seorang laki-laki duduk bagai merenung. Aku terkejut begitu menyadari sesuatu, ia duduk di atas kursi roda. Tanpa pikir lama, aku mencari Ibu.
"Bu....."
"Pergilah Alana, sudah waktunya."
Dalam kebingungan, dalam kegamangan, aku berlari ke rumah Danu.
Betapa terkejutnya aku, saat mendapati sosok laki-laki dengan kaki yang hilang sebelah dan dalam keadaan Stroke. Mulutku menganga tak percaya, aku mendekat dengan airmata yang tak bisa lagi aku tahan. Semuanya meledak begitu saja, saat aku melihat kondisi Danu.
"Da...Danu.... Apa yang terjadi? Bagaimana bisa aku tidak tahu semua ini?"
Danu tak menunjukkan ekspresi apa-apa, kecuali titik air mata yang mulai mengalir di kedua belah matanya.
Aku mendekap Danu, menangis di bahunya dan mengutuk diriku sendiri mengapa aku sampai tidak tahu soal kondisi Danu dan malah pergi selama bertahun-tahun. Aku bersalah.
"Malam saat kamu datang ke rumah, Danu cerita, bukannya ia tidak menyukaimu. Ia bahkan mengaku jatuh cinta padamu sejak pertama kali bertemu dan melihat gigi kecilmu saat tersenyum. Bagi Danu, kamulah perempuan yang paing ingin dilindunginya meski saat ia mati dan terlahir kembali ia hanya ingin mencari Gigi Kecil-nya yang lucu. Malam itu, ia pamit pada Ibu untuk keluar sebentar membeli sesuatu. Katanya ia ingin memberikan sesuatu untuk Alana yang Spesial. Namun, belum sempat ia kembali ke rumah, Ibu dapat telpon katanya Danu mengalami kecelakaan yang membuat ia harus kehilangan kaki kanannya. Hingga suatu ketika kondisi Danu makin memburuk dengan Stroke yang tiba-tiba menyerang tubuhnya."
Airmataku tak berhenti saat cerita itu mengalir dari bibir Ibunya. Aku menggenggam erat tangan Danu, berharap ia dapat merasakan kehadiranku.
"Ini adalah benda yang ingin sekali diberikannya padamu. Saat berada di rumah sakit, seseorang memberi tahu bahwa benda ini ia dekap saat kecelakaan itu berlangsung."
Aku mengambil benda yang dimaksud Ibunya, sebuah piringan kaset yang di atasnya tertulis "Untuk Alana, Gigi Kecilku" aku terus tersedu menangis, berulang kali memeluk tubuh ringkihnya yang kian kurus. Memeluk ketakberdayaannya. Mulai saat itu aku berjanji untuk selalu ada di dekatnya, tak pernah pergi lagi dan akan selalu menjaganya.
"Hei Tangan Besar, Gigi Kecilmu pulang. Apa kamu tidak merasa senang?" ucapku padanya masih dalam keadaan yang berusaha kuat agar tak menangis lagi.
Wajah Danu hanya diam, matanya lurus menatap jauh tak tergapai. "Apa yang kamu pikirkan? Bukankah aku sudah kembali?"
Aku mendorong kursi roda Danu, membawanya masuk ke dalam kamar dan memutar piringan kaset itu, Danu memiliki alatnya. Suara yang pertama kali terdengar adalah suara petikan gitar yang sangat lembut, saking lembutnya membuat aku tersentuh begitu dalam. Lalu tiba pada suara Danu yang bernyanyi.
Akhirnya kau dengar juga suaraku ini
Tersampaikanlah perasaanku yang lama kusimpan
Saat kau bertanya apakah aku menyukaimu
Aku begitu bodoh hanya terdiam.
Kini baru kusadari berartinya dirimu di hidupku
Tuhan pertemukan kita di masa kecil
Bukan tanpa sebab, aku ingin menjagamu, melindungimu
Meski kota Matahari terasa lebih panas dari biasanya
Aku ingin tangan besarku selalu ada di atas kepalamu
Memayungimu seperti itulah caraku melindungimu.
Gigi kecilku tersenyumlah
Karena itulah yang kusukai
Sekalipun aku kelak mati, aku terus meminta pada Tuhan
Untuk terlahir dan mencarimu lagi dan lagi
Lagu ini takkan pernah cukup
 mengungkapkan semua perasaanku
Aku mencintaimu,
Sejak pertama kali melihatmu.
Meski aku berteriak, takkan pernah cukup
Terimakasih sudah mencintaiku.
Lagu itu terhenti tepat saat Danu tiba-tiba kejang dan ia hanya menatapku kosong. Aku panik dan sangat khawatir. Aku berteriak memanggil Ibu Danu, dengan cepat beliau datang tergopoh sembari menahan guncangan badan Danu. Tapi tak kunjung berhenti. Aku membantu Ibu Danu untuk segera membawanya ke mobil dan langsung ke rumah sakit. Ayah Danu belum pulang.
Di jalan menuju rumah sakit, tak bisa lagi kutahan tangisku. Tubuh Danu terus terusan kejang, aku baru pertama kali melihat hal seperti ini. Setiba di rumah sakit, Danu segera ditangani tim dokter. Aku menunggu dengan gelisah, Ayah Danu datang, tak lama setelah kedatangan Ibu. Aku memeluk Ibu, aku ketakutan, aku takut kehilangan Danu.
Sekitar satu jam, dokter datang dan mengabarkan kondisi Danu membaik. Saat itu aku berucap syukur kepada Tuhan karena masih memberi kesempatan sekali lagi bertemu Danu. Aku diperbolehkan masuk menemuinya, beberapa selang terpasang di tubuhnya. Aku menggenggam tangannya. Tiba-tiba genggamanku terasa hangat seperti ada tangan besar yang ikut menggenggamnya. Danu merespon genggamanku. Saat bersamaan, air mata Danu mengalir di sudut matanya. Lalu, tiba-tiba genggaman itu berubah dingin, sedingin air es. Mesin di samping Danu tiba-tiba bersuara nyaring dan tak lagi berdetak.
Aku bertambah panik dan lari keluar memanggil dokter, memanggil siapa saja yang bisa menolongnya. Semua orang panik, berlari ke kamar di mana Danu terbaring. Aku melihat bayangan Danu berpakaian putih. Tangan besar itu melambai, tersenyum dan menghilang. Akupun tak tahu apa-apa lagi, kecuali hanya gelap.
Selamat jalan tangan besar.
Jeneponto, 17 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H