Mohon tunggu...
Bryan de Mang
Bryan de Mang Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa filsafat-Teologi. Cinta membaca. Senang menulis. Berkuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng.

Sangat senang membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

90 Menit Bersama Si Turki III

1 Mei 2019   11:18 Diperbarui: 1 Mei 2019   12:55 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

DUA PRAMUGARI baru saja menawarkan kue dan minuman. Melewati baris tempat kami duduk. Frano, aku, dan Rabiah. Aku tidak tertarik. Nasi kuning dan nasi ayam yang kami bawa lebih enak. Nasi yang kami makan saat transit di Makassar. 

"Oh, iya...aku mau nunjukin sesuatu buat kamu..." kataku sambil membongkar tasku. 

"Ini buku kenangan angkatan kami. Setiap angkatan buat buku seperti ini, baguskan?" Aku menyodorkan buku itu. Judulnya Living more Harmoniously. Warna biru. 

"Kalau kamu mau, buat kamu aja..." kataku menawarkan. 

"Terima kasih..." katanya tersenyum. Ia terlihat begitu serius membaca. Halaman per halaman. Hanya saja ia membacanya dari halaman belakang. "Yang itu punya ku..." kataku saat ia membaca karanganku. 

"Kamu Kristen yah?" ia melihatku nyaris dua detik kemudian fokus lagi membaca. Jarinya begitu lihai mengacak halaman per halaman buku itu. 

"Aku katolik.." balasku tersenyum. Tenang. 

Aku sudah biasa dengan pertanyaan ini. Pertanyaan yang sering ditanyakan kaum muslim. Aku biasa. Biasa karena sepupuku muslim. Aku tidak merasa gugup. Takut ditolak? Tidak sama sekali. Sebelumnya, aku sudah menceritakan bagaimana hubunganku yang pluralis dengan tetangga-tetanggaku di Manado.  Di depan rumahku orang Bandung dan beragama muslim. Samping kiri rumahku orang Solo, Jawa timur dan beragama Kristen Protestan. Di samping kanan rumahku orang Gorontalo dan beragama muslim. Setiap natal mereka akan datang silaturrahmi di rumah kami. Seperti biasa pasti ada kue, minuman, dan makanan. Kalau daging babi dan anjing tidak ada. Itu hanya ada di rumah omaku. 

Sekitar seratus meter dari rumahku. Untuk anak-anak pasti ada Donat-Doi natal (Uang natal). Begitu juga sebaliknya. Kalau lebaran giliran kita yang silaturahmi. Bahkan lepas dari itu, biasanya kalau rumah sepi, aku tidur di rumah mak Ai. Rumah orang Bandung. Di situ aku menemani ibu mak Ai. Biasa aku panggil nenek. Sangat menyenangkan. Ia kelihatan begitu serius membaca. Dahinya terlihat mengerut. Badannya bungkuk. Sesekali mengatur posisi kaca matanya. 

"Eh, bukannya hanya orang islam yang menggunakan Allah? Koq kalian pakai juga?" katanya ketika membaca kata pengantar dari Rm. Berry MSC. Aku menghadap dia. 

"Bi, itu hanya penamaan Bi. Setiap orang percaya bahwa ada realitas yang lain di luar akal budi manusia yang tidak bisa ditangkap oleh akal budi manusia. Realitas itu penuh energi. Ada yang menamai itu dengan sebutan Tuhan. Kalau islam sebut dengan Allah. Orang Kristen menyebutnya Tuhan. Allah juga. Ada yang menyebutnya Yang bijaksana. Ada yang menyebutnya dengan Kebenaran. Ada menyebutnya dengan Yang Ilahi. Itu tidak masalah. Tidak ada yang salah. Masih banyak lagi sebutan untuk Yang lain itu. Makanya, yang harus kita perjuangkan adalah bagaimana supaya kita bisa menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Orang yang selalu mendengarkan suara Allah lewat hati nurani kita. Begitu, Bi" Aku mengakhirinya dengan senyuman. Ia tersenyum. Ia mengangguk angguk kemudian terus membaca. Ia terlihat menerima apa yang aku katakan. Sedikit terlihat berpikir. Mengangguk lagi. Lalu membaca lagi. 

"Ini, aku kembalikan. Takut mubazir..." katanya tersenyum sembari mengembalikan buku itu. Aku mengambilnya. Ini hal yang biasa untuk orang yang bukan dari Indonesia. Aku memakluminya. 

"Kamu punya e-mail?" 

"Punya..." 

"Boleh aku minta, siapa tahu kita bisa berdiskusi. Tulis aja di sini..." 

"Mari..." ia menulis emailnya di halaman belakang buku. 

"Terima kasih..." kataku tersenyum. 

"Penumpang yang terhormat, sebentar lagi..." suara seorang pramugari memecah keheningan percakapan kami yang agak lenggang. Sebentar lagi pesawat yang kami naiki akan mendarat di bandara Adisucipto, Yogyakarta. Di jendela sudah terlihat beberapa rumah yang tersebar agak rapi. Sungai yang warnanya tidak menarik hati membuat mata bertahan agak lama. Coklat. 

"Itu UNY-kan?" aku menunjuk atap dengan tulisan UNY berwarna putih. 

"Iya..." Ia melihatku. Tersenyum dan melihat keluar jendela lagi. Aku sudah menggunakan sabuk pengaman, mengikuti arahan pramugari tadi. Dia juga. Kami masih melihat keluar jendela sementara pesawat sudah agak miring karena sementara melakukan pendaratan. Ada sedikit tekanan setelah mendarat. Pesawat berhenti. Suara bel tanda sabuk pengaman sudah boleh dibuka berbunyi. Orang-orang sibuk mengambil kopernya dan berdesakan turun dari pesawat. Ini momen terakhir. Sebentar lagi aku akan berpisah. Aku dan dia sengaja supaya turun terakhir. Kami tidak mau berdesakan. 

"Kamu pulang sendiri yah... emangnya nggak ada yang jemput...?" tanyaku sambil membuka sabuk pengaman dan mengambil tasku. Beberapa teman sudah turun duluan. Aku yang terakhir. Terakhir bersama dia. Teman baruku. Kayaknya dia lebih tua dariku. 

"Tidak...saya akan dijemput oleh teman saya..." 

"Baguslah...Kamu hati-hati yah..." Orang-orang semakin kurang. Kami yang terakhir. Aku mengambilkan tasnya di kabin. Lagi pula badannya tak terlalu tinggi. Sebahuku. 

"Terima kasih..." Katanya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk ringan. Kami turun dari pesawat. Udara di bandara tak terlalu panas. Langit tampak mendung. Kami berjalan bersama tanpa dialog. Aku hanya menikmati padatnya bandara yang sedang arus balik lebaran. Aku dan dia tiba di tempat di mana kami harus mengambil koper dari bagasi. Teman-temanku juga sudah menunggu di situ. Mereka sudah bersiap dengan troli untuk memuat koper.  

"Kopermu warna apa?

"Biru. Ada namanya..." aku melihat satu per satu. Ia menunggu kira-kira lima meter dari alat itu. Tak lama. Koper itu muncul. Aku mengangkat dan membawakannya. 

"Terima kasih yah..." katanya dengan tangan terkatup di dada dan membungkuk sedikit. Ia pamit. Ia pergi duluan. Kami berpisah. 

***

Aku tersenyum. Aku merasa penuh. Penuh setelah menyelesaikan tayangan itu. Beberapa teman sudah datang. Mereka siap untuk olahraga. Masing-masing sudah mengenakan sepatunya yang rata-rata belum lama dibeli di pasar Karanganyar beberapa hari yang lalu. Kenangan itu tak akan kulupakan. Semua sudah tercatat dalam bentuk cerpen yang dibagi menjadi tiga episode. Ini bagian yang terakhir. Kenangan akan dia yang menjadi teman yang asyik selama 90 menit. 90 menit bersama si Turki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun