Mohon tunggu...
Bryan de Mang
Bryan de Mang Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa filsafat-Teologi. Cinta membaca. Senang menulis. Berkuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng.

Sangat senang membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

90 Menit bersama Wanita Turki

13 April 2019   09:00 Diperbarui: 13 April 2019   09:17 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

90 Menit bersama wanita Turki

(Sebuah cerita tentang perjalananku dari Manado ke Karanganyar)

Masih pukul 13.30 WIB, aku sudah mempersiapkan sarana olahraga untuk olahraga jam 15.00 WIB. Aku menyiram lapangan voli berdebu yang sudah bercampur dengan polusi asap knalpot mobil dan motor yang berlalu-lalang di depan Novisiat, begitu banyaknya karena sedang arus balik lebaran. 

Kemudian aku memasang jaring di lapangan voli. Karena masih 45 menit, aku duduk di samping salah satu tiang beton penyangga bangunan gereja katolik Sananta Sela Karanganyar yang usianya kurang lebih sama dengan usia Novisiat Sananta Sela MSC. 

Pandanganku masih fokus pada mobil yang berlalu lalang. Selang sepuluh sampai lima belas menit, kereta yang jaraknya kurang lebih seratus lima puluh meter dari tempat dimana persis aku sedang duduk, lewat dengan bunyi sirene sebagai tanda bahwa palang yang berwarna merah putih itu akan turun dan menghadang pada pengendara. Suara riuh cetar membahana itu membuat tatapanku yang diarahkan pada kerumunan pengendara yang sedang menunggu palang itu bangkit menjadi kosong. 

Tiba -- tiba, dalam tatapan yang kosong itu aku tersenyum sendiri karena teringat pengalaman perjalananku dari Manado ke Karanganyar, Jawa.

Pagi itu, hari begitu cerah. Matahari terlihat begitu bahagia dengan cahayanya yang bersinar terang, seterang semangat kami yang baru saja menerima busana rohani sepuluh hari sebelumnya. Koper-koper dan barang-barang lainnya telah teratur rapih di bagasi mobil pick up milik biara Skolastikat. 

Celana jeans, dengan baju biru dongker produk dalam negeri melekat rapih pada tubuhku. Sebelum berangkat, kami disuruh berkumpul di aula Pra-novisiat, tempat biasa kami membaca, belajar, mengikuti proses(Workshop), latihan koor, dan rekreasi. 

Tempat dimana aku dan teman-teman mulai mengenal siapa diri kami, apa saja hakikat diri kami, keluarga kami, masa lalu kami, dan terlebih tujuan hidup kami. Jadi kangen Pra-Novisiat nih.... 

"Pranovis??!" teriak romo Hendro sebagai tanda memulai yel-yel singkat yang ia berikan untuk kami. 

"Yes, yes Josssshhhh!!!" balas kami lebih bersemangat disertai gerakan yang telah diajarkan. 

Romo memberi kami beberapa wejangan singkat yang memantik semangat kami menjadi lebih mengkilap. Satu per satu dari kami bersalaman kepada para frater dan orang tua yang tidak sempat mengantar buah hatinya ke bandara, dengan sedikit pelukan persaudaraan. 

Kami langsung memenuhi semua mobil yang telah disuguhkan untuk kami. Perlahan namun pasti satu per satu dari mobil yang kami naiki meninggalkan kediaman Tumou Tou.

***

 Aku kembali sadar dan tertawa sendiri sambil menepuk lantai yang berwarna merah maron. Aku menggelengkan kepala. Dalam ingatanku, aku teringat akan cewek Kanada yang sedang membeli cemilan di Indomaret yang ada dalam Bandara Sam Ratulangi. 

Aku menyesali diriku yang tidak sempat berbicara dengan dia sambil menguji kemampuan speak english-ku yang pas-pasan. 

"Its okay..." katanya ketika aku memberi jalan agar ia bisa lewat. 

Ia sambil tersenyum dengan gigi kelincinya yang begitu menarik. 

"Oh, Tuhan. Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Kanada??" kagumku dalam hati. 

Dalam lamunan ingatan itu, aku merasakan kembali bagaimana mulutku menjadi diam dan kaku serta mataku yang terbelalak lebar.

Masih dalam ingatanku, aku merasakan kembali situasi dimana aku merasa begitu bosan dan tidak ingin cepat-cepat naik pesawat saat di bandara Sultan Hasanuddin karena aku tahu bahwa tempat dudukku begitu tidak strategis. Nomor kursiku adalah seat 10b. 

Aku mengingat lagi suasana dimana aku mempersilahkan para penumpang yang tidak aku kenal itu untuk terlebih dahulu menaiki pesawat Lion Air dengan penerbangan Makassar menuju Yogyakarta. Kupandang langit tempat kelahiranku begitu cerah dengan sedikit tambahan awan putih tipis dan suhu udaranya yang masih panas. 

"Nae' mo ko.." suara hati kecilku seolah-olah mengganggu aku yang sementara bernostalgia dengan tanah kelahiranku yang sudah aku tinggalkan kurang lebih lima belas tahun.

Kali ini aku menggigit jari telunjukku yang belum lama aku cuci dengan air. Wajahku mengerut. Tiba-tiba, wajah yang mengkerut itu, tersenyum lagi dibantu oleh otot-otot wajah beserta sweet memory yang memutar ulang bagaimana kembar bersaudara menunjuk ke arah tempat dudukku. Aku terkesima. 

"Cantiknya bukan main..." kataku sambil bersiul dalam hati. Sambil melihat pohon hijau yang menjulang tinggi, memoriku mulai memutar film awal dimana aku dan dia bertemu. 

Pikiranku tidak fokus pada pohon yang aku lihat, melainkan pada bayangan senyuman bahagianya ketika ia melihat aku#Sadaap, Ckckckckckck... 

Aku pun duduk di kursiku. 

"Permisi..." kataku halus. 

"Eh..." jawabnya singkat sambil menggeserkan tubuhnya. 

Jujur saja, kesannya sangat radikal. Gagang kacamatanya yang hitam membuat hidungnya terlihat lebih mancung. Hijab yang menutupi kepalanya terlihat dia makin anggun. Aku berkecamuk. Dalam hatiku, aku membuat discretio singkat. 

"Kenalan nda' eh? Kenalan, nda'... kenalan, nda'..."gumamku dalam hati. 

Aku terus menatapnya. Ia membalas dengan tatapan yang santun. Aku membungkukkan badan diikuti kepala sebagai respon hormat seperti orang Jepang tetapi yang ini ala Indonesia seperti yang biasa dibuat orang Jawa pada umumnya ketika berpapasan di jalan. Ia membalas lagi dengan hal yang sama. Kali ini lebih gemulai. Tangan kananku tidak kuasa meremas jari-jariku karena tidak tahan melihat parasnya. 

"Doochh, cantik skali eh..." kataku dalam hati. 

"Para penumpang yang terhormat, sebentar lagi..." suara pramugari memecah rasa kagumku. 

Aku memasang sabuk pengaman dan mendengarkan instruksi selanjutnya. 

Hatiku masih berkecamuk. Makin lama makin cepat pesawat yang kunaiki itu bergerak kemudian melayang melepaskan pijakannya dari bumi. Aku berpura-pura melihat pemandangan lewat jendela yang terletak di samping kirinya namun sesedikit mataku melirik wajahnya. 

"Kacau eh..." kataku sambil tertawa dan menggaruk kepala saat melihat adegan itu pada memori film otakku.

 Saat itu, aku mengambil buku yang ada di dalam tas keranjang pemberian kakakku dengan gambar kunci G pada satu sisi. Aku hanya melihat-lihat, seolah-olah membaca itu. Rasa itu makin mendobrak hatiku. Seolah-olah ada yang mendorong dari dalam supaya aku berkenalan dengannya. Aku memastikan lagi dengan melihatnya sekali lagi. 

"Rupa bule ini...Kong kage salah. Musti pake bahasa Inggris stow ini noh..." 

"Are you tourism?" tanyaku tidak peduli apakah bahasa Inggrisku salah atau benar. 

"Titdak..." jawabnya polos. 

"Eh, kamu tahu bahasa Indonesia?",

"Ia, saya sutdah satu tahung belajar bahasa Indonesia.." balasnya dengan logat bule

"Oh, gitu yah... Hebat yah, udah langsung lancar ngomongnya... Eh, kenalin nama aku Bryant.."kataku santai 

"Nama aku...."

(To be continue)

Novisiat Sananta Sela (Jumat, 25 Agustus 2017)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun