Romo memberi kami beberapa wejangan singkat yang memantik semangat kami menjadi lebih mengkilap. Satu per satu dari kami bersalaman kepada para frater dan orang tua yang tidak sempat mengantar buah hatinya ke bandara, dengan sedikit pelukan persaudaraan.Â
Kami langsung memenuhi semua mobil yang telah disuguhkan untuk kami. Perlahan namun pasti satu per satu dari mobil yang kami naiki meninggalkan kediaman Tumou Tou.
***
 Aku kembali sadar dan tertawa sendiri sambil menepuk lantai yang berwarna merah maron. Aku menggelengkan kepala. Dalam ingatanku, aku teringat akan cewek Kanada yang sedang membeli cemilan di Indomaret yang ada dalam Bandara Sam Ratulangi.Â
Aku menyesali diriku yang tidak sempat berbicara dengan dia sambil menguji kemampuan speak english-ku yang pas-pasan.Â
"Its okay..." katanya ketika aku memberi jalan agar ia bisa lewat.Â
Ia sambil tersenyum dengan gigi kelincinya yang begitu menarik.Â
"Oh, Tuhan. Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Kanada??" kagumku dalam hati.Â
Dalam lamunan ingatan itu, aku merasakan kembali bagaimana mulutku menjadi diam dan kaku serta mataku yang terbelalak lebar.
Masih dalam ingatanku, aku merasakan kembali situasi dimana aku merasa begitu bosan dan tidak ingin cepat-cepat naik pesawat saat di bandara Sultan Hasanuddin karena aku tahu bahwa tempat dudukku begitu tidak strategis. Nomor kursiku adalah seat 10b.Â
Aku mengingat lagi suasana dimana aku mempersilahkan para penumpang yang tidak aku kenal itu untuk terlebih dahulu menaiki pesawat Lion Air dengan penerbangan Makassar menuju Yogyakarta. Kupandang langit tempat kelahiranku begitu cerah dengan sedikit tambahan awan putih tipis dan suhu udaranya yang masih panas.Â