"Nae' mo ko.." suara hati kecilku seolah-olah mengganggu aku yang sementara bernostalgia dengan tanah kelahiranku yang sudah aku tinggalkan kurang lebih lima belas tahun.
Kali ini aku menggigit jari telunjukku yang belum lama aku cuci dengan air. Wajahku mengerut. Tiba-tiba, wajah yang mengkerut itu, tersenyum lagi dibantu oleh otot-otot wajah beserta sweet memory yang memutar ulang bagaimana kembar bersaudara menunjuk ke arah tempat dudukku. Aku terkesima.Â
"Cantiknya bukan main..." kataku sambil bersiul dalam hati. Sambil melihat pohon hijau yang menjulang tinggi, memoriku mulai memutar film awal dimana aku dan dia bertemu.Â
Pikiranku tidak fokus pada pohon yang aku lihat, melainkan pada bayangan senyuman bahagianya ketika ia melihat aku#Sadaap, Ckckckckckck...Â
Aku pun duduk di kursiku.Â
"Permisi..." kataku halus.Â
"Eh..." jawabnya singkat sambil menggeserkan tubuhnya.Â
Jujur saja, kesannya sangat radikal. Gagang kacamatanya yang hitam membuat hidungnya terlihat lebih mancung. Hijab yang menutupi kepalanya terlihat dia makin anggun. Aku berkecamuk. Dalam hatiku, aku membuat discretio singkat.Â
"Kenalan nda' eh? Kenalan, nda'... kenalan, nda'..."gumamku dalam hati.Â
Aku terus menatapnya. Ia membalas dengan tatapan yang santun. Aku membungkukkan badan diikuti kepala sebagai respon hormat seperti orang Jepang tetapi yang ini ala Indonesia seperti yang biasa dibuat orang Jawa pada umumnya ketika berpapasan di jalan. Ia membalas lagi dengan hal yang sama. Kali ini lebih gemulai. Tangan kananku tidak kuasa meremas jari-jariku karena tidak tahan melihat parasnya.Â
"Doochh, cantik skali eh..." kataku dalam hati.Â