Kesalahan mereka pada dasarnya sama dengan kesalahan Reda. Kesalahan pertama adalah mengidentifikasikan Riba dengan Bunga. Mereka mengatakan bahwa Riba dan Bunga itu adalah sama dan keduanya dapat digunakan secara bergantian dalam satu wacana atau kalimat. Kesalahan kedua adalah klasifikasi riba yang menghasilkan pemahaman yang tidak memadai tentang Riba an-nasiah.
Di antara ulama modernis ini, beberapa telah membuat klasifikasi yang sama sekali baru: Riba pinjaman disebut sebagai 'riba al-duyun' dan riba penjualan disebut sebagai 'riba al-Buyu'. Riba al-Duyun mengacu pada kontrak yang ada penundaan, seperti pinjaman dan penjualan tertunda. Riba al-Buyu mengacu pada kontrak yang tidak ada penundaan, seperti penjualan normal dan pertukaran. Berdasarkan klasifikasi ini, mereka bersikeras memasukkan Riba al-fadl ke dalam transaksi-transaksi yang terjadi dalam penjualan. Dan mereka mengidentifikasi Riba an-nasiah dengan riba al-jahiliyah, yaitu peningkatan dalam pinjaman. Ini sama persis dengan klasifikasi yang dibuat Reda, bedanya, mereka menggunakan istilah-istilah baru.
Para ulama modernis salah menerjemahkan Ayat Al Qur'an (2:275) mereka mengatakan bahwa "Tuhan melarang bunga". Dan mereka juga salah paham tentang hadist yang mengatakan "Tidak ada riba kecuali dalam nasiah." Hadis ini mereka maknai ‘riba bentuk lain tidak dilarang’.
Menurut mereka, larangan riba an-nasiah pada dasarnya menyiratkan bahwa Syariah tidak mengizinkan bunga. Bagi mereka, intinya mempertanyakan "the predetermined positive return". Larangan dari "predetermined positive return" - bersama dengan "bebas bunga" - merupakan aspek kunci dari tesis mereka, namun tidak dapat menggantikan arti sebenarnya dari riba.
Yang penting tentang masalah ini adalah bahwa mereka menyamakan Riba an-nasiah dengan pinjaman, dan Riba an-nasiah ini dihapus dari setiap makna yang ada dalam pertukaran dan kontrak lainnya. Kita nanti akan lihat implikasi dari ini.
Mereka juga mengakui adanya Riba al-fadl tetapi mereka merubah artinya. Mereka mengatakan bahwa riba al-fadl cuma ada di pembelian dari 'tangan ke tangan' dan penjualan komoditas. Sementara, di satu sisi, Riba al-fadl mencakup semua transaksi yang melibatkan pembayaran tunai dan di sisi lain ia juga dijumpai di pengiriman langsung dari komoditas. Hal ini membuat mereka benar-benar bingung akan makna 'penundaan' di dalam pertukaran. Mereka mengabaikan fakta bahwa perbedaan nilai yang tidak pada tempatnya (tafadul) yang terjadi di pinjaman adalah riba al-fadl juga. Kekosongan ini diisi dengan definisi mereka sendiri mengenai Riba an-nasiah, yang memungkinkan mereka untuk menghapusnya dari makna yang sebenarnya. Untuk memberikan validitas kemiripan ke posisi mereka yang salah, mereka mengutip dari seluruh sumber dan juga hadits namun mereka mengubah konteks dan memutarbalikkan makna dari jenis riba yang terjadi, sehingga menggelincirkan pemahaman masalah ini. Singkatnya, ini adalah penipuan lengkap.
Misalnya, mereka berpendapat bahwa larangan riba al-fadl timbul dari perkataan Nabi sallallahu alayhi wa sallam, bahwa jika emas, perak, gandum, jelai, kurma dan garam dipertukarkan terhadap diri mereka sendiri mereka harus dipertukarkan lansung di tempat, secara seimbang, dan serupa. Meskipun mereka mengakui bahwa enam item yang disebutkan tadi pada saat yang sama berlaku sebagai fungsi uang, mereka tidak menarik kesejajaran apapun terhadap masalah pertukaran uang. Mereka mengatakan uang kertas bukan merupakan bagian dari larangan karena bukan termasuk salah satu item yang disebutkan dalam hadis. Hal ini tidak relevan, karena 'nota keesanggupan atau uang kertas' tidak memiliki nilai sebagai 'ayn atau Dayn. Jika dia 'ayn maka nilainya nol. Jika dia Dayn maka fungsinya hanya sebagai bukti pembayaran atau untuk mengambil barang yang ditangguhkan pengambilannya dan telah dilunasi dan tidak diizinkan sabagai alat jual-beli.
Sementara kita membahas pentingnya Riba al-fadl dan mengapa hal itu juga dilarang, Chapra memberikan argumennya sebagai berikut: “Jika diperhatikan sekilas, tampaknya sulit untuk memahami mengapa ada orang yang ingin bertukar jumlah tertentu dari emas atau perak atau komoditas lain yang masing-masing sejenis, dan itu 'harus on the spot'”. Dia mengatakan bahwa pada dasarnya yang dituntut adalah keadilan dan fair play dalam bertransaksi, harga dan nilai tukar harus adil dalam segala transaksi di mana ada pembayaran tunai (terlepas uangnya tersebut terbuat dari apa) yang dibuat oleh satu pihak, dan komoditas atau jasa disampaikan secara timbal-balik. Dia mengatakan bahwa apapun yang diterima sebagai "ekstra", oleh salah satu dari dua pihak untuk bertransaksi, maka itu adalah riba al-fadl, yang dapat didefinisikan dalam kata-kata Ibn al-Arabi sebagai semua kelebihan yang bereferensi pada nilai tukarnya. Karena itu, ia berpendapat bahwa keadilan hanya dapat diberikan pada dua skala nilai barang yang seimbang. Dan akhirnya, ia menyimpulkan bahwa itulah yang ingin dijelaskan oleh Nabi sallallahu alayhi wa sallam, ketika ia merujuk kepada enam komoditas penting dan menekankan bahwa jika satu komoditas memiliki satu skala, maka skala lain juga harus dimiliki oleh komoditas yang sama, "yang serupa untuk yang serupa dan yang sama untuk yang sama". Dia lebih jauh berpendapat bahwa untuk memastikan keadilan, Nabi sallallahu alayhi wa sallam, bahkan tidak menyukai transaksi barter dan menganjurkan untuk menjual suatu komoditas dengan uang tunai dan uang tersebut digunakan untuk membeli komoditas yang sama dan lebih baik atau komoditas lain yang dibutuhkan. Hal ini dikarenakan, dalam transaksi barter tidak mungkin dilakukan penentuan secara akurat antara kesetaraan satu komoditas dan komoditas lain, kecuali dalam bentuk jasa. Oleh karena itu, kesetaraan mungkin dapat dibangun, dan pendekatan-pendekatan lainnya hanya akan menyebabkan ketidakadilan pada satu pihak. Dan penggunaan uang membantu mengurangi kemungkinan pertukaran yang tidak adil.
Di sini lah keberadaan riba an-nasiah dihilangkan, yaitu riba an-nasiah yang menjadi bagian dari pertukaran. Mereka dengan gampang mengatakan bahwa transaksi seperti ‘emas untuk emas’ tidak terjadi lagi, karena masalah ini tidak relevan lagi. Kenyataannya, transaksi semacam itu terjadi setiap hari - setiap kali nota kesanggupan (uang kertas) digunakan. Mereka menganggap bahwa hanya ‘bunga pinjaman dan kelebihan dalam pertukaran barang yang sama’-lah yang dilarang. Dan yang lainya tidak.
Berdasarkan argumen sebelumnya, Chapra menyimpulkan bahwa semua komoditas yang dipertukarkan di pasar akan tunduk pada kemungkinan riba al-fadl. Dia mengatakan bahwa larangan yang demikian dimaksudkan untuk menjamin keadilan dan menghilangkan segala bentuk eksploitasi melalui 'ketidakadilan' pertukaran dan untuk menutup semua pintu riba, dalam syari'ah Islam, apapun yang berfungsi sebagai alat untuk melanggar hukum, adalah pelanggaran hukum juga. Dia berpendapat bahwa Nabi sallallahu alayhi wa sallam, juga menyamakan riba dengan kecurangan yang dimasukkan ke dalam pasar dan perangkap harga dalam tawar-menawar dengan bantuan agen. Dengan demikian, katanya, uang ekstra yang diperoleh melalui eksploitasi dan penipuan adalah Riba al-fadl. Riba al-fadl, terlepas dari arti tertentu, menurut dia menjadi segala bentuk ketidakadilan, dan ia mengkaitkan kasusnya dengan hadist Nabi sallallahu alayhi wa sallam, yang mengatakan: "Tinggalkanlah apa-apa yang menciptakan keraguanmu, dan ikutilah apa-apa yang tidak menimbulkan keraguanmu." Dan Khalifah Umar juga berkata: "Jauhkanlah dirimu tidak hanya dari riba tetapi juga dari Ribah/keraguan" makna kata 'keraguan' mengacu pada pendapatan yang memiliki kemiripan dengan riba atau yang menimbulkan keraguan dalam pikiran tentang kebenarannya. Semua ini mencakup pendapatan yang berasal dari ketidakadilan, atau eksploitasi terhadap orang lain.
Jadi, Riba al-fadl benar-benar sudah didefinisikan ulang dari nilai kesetaraannya dan Riba an-nasiah dianggap hanya sebagai bunga pinjaman semata, dimana pada kenyataannya defenisi tersebut tidak cocok dengan yang ada kecuali dalam kasus "hutang untuk hutang", yaitu, membayar hutang dengan hutang.
Mengacu pada Fakhruddin al-Razi, Chapra menyimpulkan bahwa riba an-nasiah dan riba al-fadl keduanya merupakan komponen penting dari surah Al Baqarah ayat 275 "…Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba…" Dan dia mengatakan bahwa, terlepas riba an-nasiah itu berhubungan dengan pinjaman dan itu dilarang, ayat yang lain menyatakan bahwa riba al-fadl berhubungan dengan perdagangan. Dia mengatakan bahwa ketidakadilan yang ditimbulkan melalui riba dapat dijumpai di transaksi bisnis, dan riba al-fadl mengacu pada semua ketidakadilan atau eksploitasi. Seperti adanya kecurangan, ketidakpastian, spekulasi, monopoli, dan monopsoni.
Sekarang, jika kita meneliti kalimat ini "Riba an-nasiah berkaitan dengan pinjaman" kita dapat memahami mengapa mereka salah memahaminya. Apa yang Chapra dan lain-lain katakan bahwa nasiah mengacu pada riba yang terjadi dalam transaksi yang memiliki penangguhan (seperti dalam pinjaman), sedangkan posisi yang tepat adalah bahwa riba an-nasiah adalah "penangguhan yang tidak pada tempatnya" yang terjadi pada semua jenis transaksi (misalnya yang terjadi pada pertukaran,). Bahkan, meskipun ada penangguhan dalam pinjaman, pengguhan tersebut berada tidak pada tempat yang semestinya. Penundaan dalam pinjaman adalah halal (kecuali dalam kasus "hutang untuk hutang"). Penyebab "penundaan tidak pada tempatnya" dalam sebuah pinjaman adalah 'perbedaaan nilai'. Oleh karena itu, dalam kasus pinjaman, 'penangguhan' bukanlah penyebab riba, namun ‘perbedaaan nilai’-lah penyebabnya. Berdasarkan hal ini, jenis riba yang berhubungan dengan bunga yang dikenakan dalam sebuah pinjaman bukanlah riba an-nasiah namun riba al-fadl.
Kesalahan ini bukanlah kesalahan sederhana, kesalahan ini menimbulkan konsekuensi yang penting. Dengan mendefinisikan ulang, Riba an-nasiah menjadi kehilangan makna aslinya. Dan juga kehilangan kemampuan untuk menentukan status Haram yang melekat pada penundaan yang tidak pada tempatnya. Hal ini akan mencegah para Bankir Islam untuk mempertanyakan penggunaan 'promissory notes / nota kesanggupan / uang kertas' sebagai alat tukar dan alat transaksi lain di mana penggunaan Dayn sendiri itu haram. Kesalahan semacam ini digunakan sebagai pintu untuk menghalalkan uang kertas.
Para bankir Islam setuju bahwa bunga yang dibebankan oleh bank komersial, "identik dengan kelebihan yang ditetapkan sebagai syarat wajib dalam kontrak, yang merupakan salah satu dari dua jenis riba yang dilarang oleh syariat Islam." Namun mereka mengabaikan beberapa pertanyaan, tentang kemungkinan riba yang disebabkan oleh penangguhan dalam pertukaran dan transaksi lainnya, yang begitu penting untuk dipahami untuk memahami uang kertas. The Islamic Fiqh Academy yang didirikan oleh Organization of the Islamic Conference (OIC) , pada sesi kedua yang diadakan di Jeddah, Arab Saudi, 22-28 Desember 1985, menyatakan bahwa "[setiap peningkatan atau laba atas pinjaman yang telah jatuh tempo, sebagai imbalan atas perpanjangan tanggal jatuh tempo, dalam hal ini peminjam tidak mampu membayar], dan [setiap peningkatan atau laba atas pinjaman pada awal perjanjian pinjaman], keduanya adalah bentuk riba, yang dilarang oleh Syariah."
Sebagai kesimpulannya, klasifikasi yang dibuat oleh ulama modernis mengurangi dua isu riba: bunga pinjaman dan segala bentuk monopoli atau monopsoni, atau mencurangi harga di pasar. Mereka sewenang-wenang menyebut riba an-nasiah dan riba al-fadl. Klasifikasi ini memelintir makna dari dua jenis riba dan mengabaikan isu penting dari penggunaan uang kertas dalam pertukaran dan permasalahan yang muncul akibat uang kertas. Pada dasarnya, ide mereka tentang riba adalah bunga atas pinjaman.
4.5. Menyamakan riba dengan bunga dalam pinjaman
PARA ULAMA PRO-BANKING menyamakan bunga dengan riba. Menurut mereka, riba mengacu pada premi yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman bersama dengan jumlah pokok sebagai syarat untuk pinjaman atau untuk perpanjangan jatuh tempo. Dengan kata lain, riba adalah pengembalian yang telah ditentukan dalam pemanfaatan uang. Di masa lalu telah ada sengketa tentang apakah riba mengacu pada ‘bunga tidak berlipat’ atau ‘bunga yang berlipat’?, tetapi sekarang ada konsensus di antara ulama modernis bahwa istilah riba mencakup semua bentuk bunga dan tidak hanya bunga yang berlipat. [seperti sebelumnya yang diyakini oleh Reda dan lain-lain].
Para ulama modernis telah menyimpulkan bahwa karakteristik yang paling penting dari riba adalah bahwa Riba adalah hasil yang positif dan pasti berasal dari uang ketika ditukarkan. Dengan kata lain, ketika uang melahirkan uang tanpa ada pertukaran barang atau jasa, hal itu disebut riba. Dan karakteristik dasarnya, menurut mereka, adalah:
- Harus terkait dengan pinjaman
- Sejumlah uang yang harus dibayar saat jatuh tempo;
- Waktu yang telah ditetapkan untuk pelunasan; dan
- Setiap unsur yang digunakan untuk pelunasan sebagai syarat pinjaman.
Dalam pandangan mereka ini, seluruh masalah 'penundaan waktu' diabaikan.
4.6. Islamic Banking
4.6.1. Bank Islam adalah Bank
HASIL AKHIR dari pandangan ulama modernis yang menyimpang terhadap Riba adalah pembenaran perbankan. Dasar pemikiran mereka adalah 'perbankan tanpa bunga' adalah halal. Kenyataannya, meskipun Perbankan Islam mendefinisikan dirinya sebagai perbankan non-bunga, namun sebenarnya mereka menerapkan bunga tersebut, hanya dengan nama yang berbeda. Mereka menyebutnya seabagai keuntungan, terkadang dividen, terkadang mark-up tergantung pada skema yang dibuat. Namun terlepas dari metode-metode yang digunakan untuk menyembunyikan bunga tersebut, masalah utamanya adalah 'Bank Islam adalah bank'. Bank Islam, seperti semua bank lainya, menerapkan 'cadangan fraksional perbankan'. Cadangan Fraksional perbankan adalah inti dari fiat money (uang kertas). Melalui metode ini mereka mengunakan dan membuat fiat money dan akibatnya mereka mendukung sistem uang kertas saat ini.
Pertama, dalam Islam, orang (dalam kasus ini, bankir) menerima deposit (wadi'a) dari pihak lain yang tidak berhak untuk berdagang dengannya. Ini dianggap sebagai pelanggaran kontrak. Di masa lalu kaum Muslim membuat deal dengan pembayaran langsung atau melalui jaringan kompleks wakil, yang tidak menciptakan kredit, mereka hanya menjalankan permintaan pelanggan mereka, yaitu melakukan pembayaran atau menerima pembayaran. Uang dan kredit tidak dicampur. Dan wakils tidak menggunakan uang dalam simpanan tersebut untuk kepentingan dagang mereka.
Kedua, di dalam Islam, Anda tidak dapat menggunakan hutang sebagai uang. Uang kertas yang diperdagangkan oleh bankir tidak didukung oleh sifat uang itu sendiri (uang kertas adalah surat hutang, meskipun sering digunakan sebagai uang), namun dikatakan berharga karena adanya tekanan hukum dan politik dari Negara tertentu. Uang kertas ini sebenarnya adalah pajak. Dan tidak diperbolehkan dalam Islam. Bankir Islam tidak hanya melakukan perdagangan dengan uang kertas, mereka juga berkontribusi pada penciptaan uang kertas melalui penciptaan deposit. Harus diingat bahwa deposit bank berfungsi selayaknya uang.
Untuk menggambarkan bagaimana penciptaan uang kertas tersebut, kita akan memberikan contoh sebagai berikut: Di Kanada angka yang diterbitkan oleh Bank Sentral Kanada menjelaskan bahwa pada tahun 1998 rasio dari semua cadangan kas bank di Kanada ($3,893 billion) untuk total aset mereka ($1.393 billion) telah melompat ke level 1:358, angka yang belum pernah terjadi dalam sejarah, selama 50 tahun pertama abad ke-20, rasio tersebut tidak pernah melebihi 1:15. Itu berarti untuk setiap dolar uang tunai di brankas mereka atau disimpan oleh Bank Kanada, telah disulap menjadi $357 dengan cara investasi atau pinjaman berbunga.
Contoh ini menunjukkan bahwa bank sebenarnya merupakan kontributor utama dari jumlah uang yang beredar di negara tersebut.
Bagaimana bisa cadangan fraksional perbankan memungkinkan bank untuk meminjamkan lebih banyak dalam bentuk deposit daripada dalam bentuk uang tunai. Jadi, apa yang terjadi jika semua orang mulai merasa gugup tentang sistem cadangan fraksional perbankan saat ini, dan semakin banyak orang menarik tabungannya yang ada di bank? Uang yang tersedia untuk ditarik tidak mencukupi. Bank harus belajar dari kejadian-kejadian tragis pada 1930-an 'Great Depression'. Peristiwa yang lebih baru terjadi pada tahun 1985, ketika sejumlah bank regional di north-eastern di Amerika Serikat bangkrut karena menjalankan kredit ketika nasabah mereka menuntut simpanannya. Kita juga menjadi saksi ketika bank-bank di Argentina yang menjalankan hal serupa, pada tahun 2001. Polisi dipanggil, dan nasabah dilarang masuk ke bank-bank komersial untuk menarik tabungan mereka. Pejabat-pejabat pemerintah yang terpilih dari berbagai negara telah berusaha menutup paksa bank-bank tersebut, untuk mencegah mereka menjalankan hal yang serupa, yaitu hal-hal yang menyebabkan mata rantai peristiwa tak terkendali, dan pada dasarnya menghancurkan sistem perbankan itu sendiri.
Solusinya adalah mengalihkan pajak uang dari bank yang telah ditutup ke asuransi bank central, untuk mengeliminasi masalah sampai kejadian tersebut terulang kembali.
Negara 'melindungi' bank dari kebangkrutan dengan cara asuransi simpanan, dimulai dengan penarikan dari bank, namun hal itu hanya menambah masalah lebih lanjut terhadap cadangan fraksionasi bank sentral. Industri perbankan saat ini diatur sedemikian rupa sebagai pencetak-uang dan kartel (penentu nilai uang). Negara melindungi kartel perbankan atas dasar rasionil dan logika dari hukum yang bertautan dengan kontrak.
Bank Islam juga terlibat dalam sistem ini. Mereka adalah bagian dari itu. Mereka mempraktikkan cadangan fraksional ini, yang merupakan basis dari mayoritas uang kertas yang beredar. Mereka tidak memiliki cash yang cukup untuk mengembalikan semua uang yang dihasilkan tadi. Selisih tersebut dimasukkan ke dalam perekonomian sebagai 'suplai uang' yang memberikan kontribusi terhadap fenomena inflasi.
Ide pertama dari Perbankan Syariah berasal dari ide-ide Abduh, yang menyamakan bank dengan Shirkat dan Qirad. Prinsip yang memicu dimulainya Perbankan Islam adalah gagasan adanya investasi di perbankan – karena mereka tidak memberikan pinjaman, mereka hanya berinvestasi – dan bisa dibuat halal. Mereka berpendapat bahwa mereka tidak membebankan bunga karena mereka menginvestasikan uang mereka ke bisnis lain. Menurut mereka, hanya diperlukan sedikit reformasi dalam Islamisasi perbankan, yaitu menganggap investasi tersebut tidak bertujuan untuk menciptakan bunga kepada pemegang rekening. Dan bukan merupakan masalah besar, melainkan cara lain untuk membuat keuntungan yang lebih. Jadi, menurut mereka, investasi di perbankan tanpa membayar bunga kepada pemegang rekening adalah halal.
Hal yang tidak dapat dihindari oleh Bankir Islam adalah penyakit praktik perbankan, khususnya inflasi. Karena mereka tidak dapat mempertahankan inflasi dari perspektif Islam. Mereka mengatakan bahwa inflasi adalah masalah pemerintah, bukan bank. Ini tidak benar. Pemerintah mengatur inflasi, tetapi produsen utamanya adalah pasokan uang itu sendiri yaitu bank-bank, termasuk Bank Islam. Ketika mereka akhirnya tersudut dengan masalah mereka sendiri dan berdebat dengan cara yang khas ‘berdalih ke konsep darurah’.
Pada dasarnya, ide mengenai Dinar Emas dan Dirham Perak (mata uang syariah) dianggap menjijikkan oleh para bankir, dan juga mempermalukan Bankir Islam - karena perbankan tidak dapat beroperasi dengan rezim moneter seperti emas dan perak murni. Mereka butuh ‘uang kertas’ baru, apakah itu bagian dari standar emas atau bahkan yang lebih dari itu, yang mendapat dukungan Negara. Perbankan Islam adalah bagian dari perbankan dan perbankan itu Haram dan mereka mempraktekkan kelicikan yang paling hulus yang pernah kita alami dalam sejarah perlawanan terhadap Islam. Bankir Islam telah membuat yang Haram menjadi Halal. Oleh karena itu mereka telah melakukan kejahatan ganda. Pertama dengan menggunakan hal yang Haram, dan kedua dengan mengubah hukum Islam untuk membenarkan praktik mereka.
4.6.2. Murabahah: mana yang sesuai fiqh? dan mana yang buat-buatan?
KONTRAK PENJUALAN yang dikenal dalam Hukum Islam telah diselewengkan oleh pihak yang disebut Bank Islam. Murabahah menempati antara 80% – 90% dari keseluruhan transaksi Perbankan Islam. Dapat kita katakan bahwa tanpa 'Murabahah versi mereka', Bank Islam tidak akan ada saat ini. Bank Islam menjadikan Murabahah – yang aslinya adalah sebuah kontrak penjualan –sebagai sebuah sarana pembiayaan berdasarkan praktek terlarang yang dikenal sebagai "dua transaksi dalam satu akad". Praktek ini merupakan mekanisme yang digunakan unutuk menyamarkan riba menjadi sebuah keuntungan.
Apa defenisi Murabahah versi Bank Islam?
"Murabahah: Secara harfiah berarti mark-up. Alat ini sering digunakan untuk membiayai perdagangan. Dalam mekanisme ini, Bank membelikan barang yang sesuai dengan keinginan pembeli atas nama Bank. Dan kemudian menjualnya kepada pembeli untuk mendapat keuntungan. Dan pembeli membayar barang tersebut ke bank dengan angsuran."
Deskripsi inilah yang kita sebut sebagai "dua penjualan dalam satu akad" dan ini haram.
Dalam Muwatta, Imam Malik menulis:
"Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa ia mendengar bahwa Rasulullah, semoga Allah memberkatinya dan memberinya damai, melarang dua penjualan dalam satu penjualan akad."
"Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa ia mendengar bahwa seorang pria berkata kepada yang lain, 'Beli unta ini untukku segera sehingga saya dapat membelinya dari Anda secara kredit.' 'Abdullah bin 'Umar ditanyai tentang itu dan ia tidak setuju dan melarangnya."
Sebelum kita meneliti masalah ini secara detail, kita akan melihat arti sebenarnya dari Murabahah. Dalam Fiqh, kontrak Murabahah adalah kontrak penjualan, yang berarti ada tawaran dan penerimaan dari harga barang tertentu dalam satu transaksi. Ciri-ciri khasnya adalah mark-up dari harga dasar. Dalam Murabahah, harga dasar ini terkait dengan harga akhir. Dalam Al Muwattha Imam Malik, Mark-up yang digunakan adalah 10%. Imam Malik membuat contoh berikut:
"Jika seseorang menjual barang seharga 100 dinar untuk 110"
Dalam penjualan yang normal, penjual tidak wajib menyebutkan harga dasar untuk suatu barang, tetapi dalam Murabahah, Anda menyebutkan harga asli ditambah mark-up nya.
"Jika seseorang menjual barang dalam Murabahah dan dia berkata, 'Barang ini berharga seratus dinar sewaktu dijual kepada saya.'"
Dalam praktik normal, seorang penjual membeli barang-barang di suatu kota dan kemudian ia pergi ke kota lain untuk berjualan secara Murabahah, Ia akan mengatakan: "Barang ini aku beli dengan seharga sekian dan sekian dan akan aku jual dengan harga sekian dan sekian." atau dengan pernyataan sederhana "Aku menjualnya dengan mark-up 10%."
Dalam Murabahah tradisional, barang yang didagangkan dalam milik si penjual sebelum ia membuat tawaran tersebut. Dalam Murabahah yang didefenisikan oleh Perbankan Islam, pembeli datang kepada mereka dan berkata, saya ingin membeli ini dan itu (transaksi pertama). Kemudian Bank Islam pergi dan membelinya secara tunai dan menjualnya kepada mereka dengan harga yang sudah di-mark-up (transaksi kedua) ditambah dengan 'perjanjian penundaan' atau kredit (transaksi ketiga). Praktek ini sama dengan "dua penjualan dalam satu akad" bahkan ada tiga transaksi, dan ini dilarang.
Poin penting dari Murabahah yang mendapat perhatian 'ulama kita adalah definisi dari harga dasar, sehingga tidak terasa ada penyelewengan dibagian lain. Ada beberapa biaya yang termasuk dalam harga dasar dan ada beberapa yang tidak. Ketika biaya-biaya itu dimasukkan, maka penjual berhak untuk membuat mark-up pada biaya dasar tersebut.
Ibnu Rushd menjelaskan hal ini dengan cara berikut:
Mayoritas ahli hukum sepakat bahwa penjualan ada dua jenis: Musawana dan Murabahah. Murabahah terjadi ketika penjual menyatakan modal pembelian barang yang dijualnya kepada pembeli, dan kemudian menetapkan mark-up atau keuntungannya dalam satuan dinar atau dirham.
Ibnu Rushd menganalisis semua perbedaan mengenai hal ini dalam bukunya Kitab al-Murabahah dalam Bidayat Al-Mujtahid. Dia mengangkat semua isu-isu tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak. Dalam Murabahah, penjual dibolehkan membeli dengan penundaan dan menjual dengan penundaan. Hanya ada satu elemen yang perlu dipertimbangkan seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd:
Malik mengatakan tentang orang yang membeli barang dengan kredit untuk satu periode dan menjualnya dengan cara Murabahah, bahwa tidak diperbolehkan kecuali dia mengungkapkan periodenya. Al-Syafi'i mengatakan bahwa jika ini terjadi, pembeli akan memiliki periode (kredit) yang mirip dengan nya.
Ini berarti bahwa kontrak Murabahah itu diatur. Dan harga awal (harga dasar) yang di mana mark-up (profit) adalah tetap, dan didefinisikan dengan baik. Harga dasar termasuk harga yang dibayar dan semua biaya yang terlibat dalam transportasi, dll, sangat mirip dengan kasus agen Qirad. Penjual telah menyatakan biaya-biaya ekstra kepada pembeli, dan tidak ada salahnya dalam mengurangi mereka jika secara umum disepakati.
Murabahah bukan sebuah kontrak keuangan seperti Qirad. Murabahah adalah penjualan, dan karena itu diatur dalam hukum umum yang berlaku untuk penjualan. Apa yang dilarang dalam penjualan, dilarang juga dalam penjualan Murabahah. Dan apa yang diperbolehkan dalam penjualan, diperbolehkan dalam Murabahah. Perbedaannya dari penjualan normal hanya terletak dari cara penetapan harga.
4.6.3. Bagaimana kontrak Murabahah versi Bank Islam bisa terjadi?
Mungkin, PEMIKIR PALING TERKENAL mengenai Perbankan Islam adalah ulama Pakistan, Taqi Osmani. Yang dalam sebuah esai tentang Murabahah, ia menyatakan:
"Murabahah" adalah istilah Fiqh Islam yang mengacu pada jenis tertentu dari penjualan dan tidak ada hubungannya dengan pembiayaan dalam arti aslinya...
Murabahah, dalam konotasi asli Islam, adalah suatu penjualan sederhana. Satu-satunya fitur yang membedakannya dari jenis penjualan lainnya adalah bahwa penjual secara jelas memberitahu pembeli berapa banyak biaya yang telah dikeluarkan dan berapa banyak keuntungan yang akan didapatnya dalam penambahan biaya.
Pernyataan tersebut benar kecuali kalimat "berapa banyak keuntungan yang akan didapatnya dalam penambahan biaya" harus dibaca "berapa banyak keuntungan yang didapatnya dalam penambahan biaya". Perbedaan antara masa depan atau sekarang adalah penting untuk memahami bagaimana penjualan sebenarnya terjadi. Kesan pertama menyiratkan bahwa ada pra-kesepakatan sebelum penjual membeli barang untuk dijual, namun bukan ini hal yang sebenarnya.
Taqi Osmani, seperti kebanyakan ulama Perbankan Islam lainnya, menganggap Murabahah sebagai ‘kemampuan untuk menyebutkan mark-up penjualan’, dan mereka menggabungkan prinsip ini dengan penjualan tertunda. Apa yang sekarang didefenikan oleh para Bankir Islam sebagai Murabahah bukanlah Murabahah yang sebenarnya, melainkan bentuk lain dari riba.
Taqi Osmani, seperti semua Bankir Islam lainnya, mengabaikan larangan "dua penjualan dalam satu akad". Sekarang kita akan menguji prinsip ini lagi.
Larangan Dua Penjualan dalam Satu Akad