(H.R. Ibnu Majah, Baihaqi)
Abdallah ibn Hanzala melaporkan bahwa Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, berkata: "Satu Dirham hasil riba, dan dia menerimanya dengan sadar, dosanya lebih buruk dari berzina tiga puluh enam kali." (Ahmad) Baihaqi menyampaikan hal tersebut, atas izin otoritas Ibn Abbas, dengan tambahan bahwa Nabi, sallallahu alayhi wa sallam, melanjutkan:" Neraka adalah lebih pas untuk dia yang dagingnya dipelihara oleh makanan Haram."
(H.R. Ahmad)
Abu Huraira melaporkan Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, mengatakan: "Pada malam aku diangkat ke surga, aku datang ke orang-orang yang perutnya seperti rumah-rumah yang berisi ular yang bisa dilihat dari luar perut mereka. Aku bertanya: Jibril siapa mereka? Dan dia mengatakan padaku bahwa mereka orang-orang yang telah memakan riba."
(Ditransmisikan oleh Ahmad, Ibnu Majah)
Samura Ibn Jundub melaporkan bahwa Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, berkata: "Malam ini aku bermimpi bahwa dua pria datang dan membawaku ke tanah suci, kami berjalan terus sampai di sungai darah, di mana seorang pria berdiri, dan pada pinggirannya berdiri seorang pria lain dengan batu di tangannya. Orang di tengah sungai itu mencoba untuk keluar, tapi yang lain melempar batu ke mulutnya dan memaksanya untuk kembali ke tengah lagi. Setiap kali dia mencoba untuk keluar yang lain melempar batu ke mulutnya dan memaksanya untuk kembali. Aku bertanya: "Siapa ini?" Aku diberitahu: "Orang yang di tengah sungai itu adalah salah satu pemakan riba"
(H.R. Bukhari)
Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, mengutuk orang yang mengambil riba dan orang yang memberi riba, orang yang mencatat transaksi dan dua saksinya. Dia mengatakan mereka sama-sama bersalah.
(Ditransmisikan oleh Muslim)
Tentu saja ada alternatif lain untuk menghindari riba. Seperti yang pernah dijelaskan Rumi, "Yang halal itu mungkin." Dan Orang-orang Munafik adalah orang yang mengatakan, "Yang halal itu tidak mungkin." Untuk menegaskan bahwa halal merupakan keharusan bagi setiap Muslim. Di lingkungan umat muslim ada alternatif lain agar tidak terjebak dalam transaksi berbasiskan Riba, yaitu Shirkat (atau Musyarakah) dan Qirad (atau Mudarabah). Ini adalah dua kontrak bisnis utama dalam Islam. Prinsip-prinsip ini sudah sejak lama kita kenal. Masalahnya adalah peng-aplikasi-an nya di lingkungan yang tidak kondusif.
Jawaban untuk masalah ini adalah mengubah lingkungannya, bukan mengubah bentuk transaksinya.
Di sinilah masalah utama saudara-saudara kita di Perbankan Islam. Mereka melestarikan lingkungan dan alat-alat kapitalis dan mengorbankan kondisi yang berlaku di syari'ah. Mereka gagal menerapkan ijtihad dan darurah.
Di sisi lain, kita berusaha melakukan pembentukan ulang lingkungan Islam melalui perbaikan lembaga-lembaga perdagangan dan beberapa "kunci" yang hilang, agar Shirkat dan Qirad beroperasi dengan benar.
2. Masalah
BANYAK Muslim hari ini memiliki rekening ber-"bunga". Yaitu bahagian dari riba, dan itu haram. Bagaimana bisa kondisi seperti ini memaksa kita untuk memiliki rekening bank, meskipun kita tahu rekening bank itu Haram? Bagaimana bisa dibenarkan?
Kebanyakan orang mengklaim ini sebagai kasus ‘darurah.’
Darurah adalah instrumen hukum yang berlaku dalam kasus-kasus ekstrim dimana seseorang diperbolehkan untuk bertindak dengan cara yang seharusnya dilarang. Karakteristik yang paling kritis dari darurah adalah bahwa "hal itu hanya tindakan sementara".
Jika Anda berada di padang pasir dan yang ada hanyalah babi, maka hukum untuk mengyembelih dan memaknya adalah fardhu (wajib), bukan Halal. Apakah kejadian ini bisa kita samakan dengan berternak babi "memiliki rekening bank ber-bunga?" dan kita mengklaim tindakan tersebut adalah darurah.
Saat kita dalam situasi darurah, kita diwajibkan melakukan segalanya sesuai kesanggupan demi menjauhkan diri dari situasi tersebut. Hal tersebut menjadi haram setelah kondisi kembali normal dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan selamanya seperti memelihara babi atau memelihara rekening berbunga.
Masalah yang kita bahas di sini adalah "apa yang harus dilakukan umat Islam dengan Bunga di rekening mereka?" Bagaimana cara yang benar yang bisa diterapkan dalam kasus ini?
Kebanyakan orang memilih pilihan berikut:
- Menyimpan Bunga tersebut sebagai bagian dari situasi darurah
- Memanfaatkan Bunga tersebut untuk amal
- Mengembalikam Bunga ke bank atau men-alih-fungsikan rekening mereka ke rekening non-Bunga.
Semua pilihan di atas memiliki kesamaan, yaitu bahwa mereka tetap berada dalam status darurah yang seharusnya mereka ubah, dan mereka terus-menerus menyimpan bunga tersebut. Pilihan 1 dan 2 setidaknya membantu dalam kepentingan amal (bukan termasuk ibadah, karena tidak ada ibadah yang diterima dengan menggunakan uang haram), serta pilihan ke 3 hanya memperkaya pihak bank, sehingga pilihan ke 3 tersebut menjadi pilahan terburuk.
- Ada pilihan keempat, yang bisa kita lakukan, yaitu menggunakan bunga tersebut untuk kondisi darurah.
Maksudnya, kita mengubah kondisi itu dan bukan berkutat di dalamnya atau menyimpannya, Bagaimana? Dengan cara mengubah statusnya, yaitu ikut mensupport penciptaan lembaga penyimpanan dan pembayaran Islami. Lembaga ini memungkinkan kita untuk melakukan pembayaran, transaksi, dan menyimpan uang secara Islami. Namun, ketika kita diwajibkan menggunakan bank untuk transfer dana, dan tidak ada pilihan lagi kecuali bank, kita bisa menggunakan sistem pembayarannya saja, dan hanya sistem pembayarannya saja, agar tidak membangkitkan aktivitas-aktivitas perbankan lainnya.
Kondisi Darurah bisa dihubungkan dengan lingkungan ekonomi kita. Dan untuk itu, kita harus memahami masalah ini dan tidak cukup hanya terfokus pada transaksi komersial saja, kita perlu melihat lebih luas, memeriksa kondisi yang mengelilingi transaksi komersial itu. Jadi, kita perlu menyelidiki bagaimana bisa lembaga-lembaga perbankan hampir monopoli pencetakan dan pengendalian uang. Kita perlu melihat sifat dasar dari bank itu sendiri, dan juga sifat dasar uang kertas yang kita gunakan. Akhirnya, kita perlu memahami apa dan bagaimana sebenarnya "uang" berlaku dan halal di dalam Islam, dan bagaimana kita bisa kembali menciptakan kerangka ekonomi Islam, di mana bank akan berhenti menjadi suatu keharusan bagi kita, sementara kita tetap sepenuhnya mampu memuaskan semua kebutuhan ekonomi kita.
Kunci dari situasi ini adalah memahami konsep Riba. Tanpa pemahaman yang tepat, kita tidak akan mampu membuat penilaian yang benar. Untuk memahami riba, kita perlu menghilangkan beberapa kesalah-pahaman umum, seperti mengidentikkan bunga dengan riba, padahal sebenarnya mereka adalah dua konsep yang berbeda. Membuat kedua konsep ini menjadi identik merupakan suatu kesalahan fatal yang umum terjadi. Ungkapan-ungkapan seperti 'bebas bunga' atau 'bunga 0%' tidak berarti transaksi tersebut bebas dari riba. Ungkapan tersebut bisa menipu dan menyesatkan serta akhirnya menjerumuskan umat Muslim ke dalam praktik terlarang. Kita akan membahasnya dalam bab 'Memahami Riba'.
Hal penting lainnya adalah menjelaskan pernyataan “Praktik Perbankan di Dalam Islam adalah Haram”, sama haramnya seperti bank konvensional, tanpa terkecuali. Bank Islam mempraktikkan riba sama seperti bank konvensional, hanya saja bentuknya berbeda. Mereka menyesatkan orang-orang dengan menggunakan istilah-stilah Arab demi menggantikan istilah kontrak komersial tertentu yang haram, seperti dua transaksi penjualan yang digabungkan dalam satu kontrak 'dua transaksi dalam satu akad'.
Bank Islam selalu berdalih ‘keadaan darurah’ dalam rangka membenarkan interpretasi mereka sendiri tentang syari'ah, untuk mem-validasi praktik perbankan. Mereka tidak berniat mengubah atau menghilangkan situasi darurah tersebut. Karena, perubahan tersebut akan berarti akhir dari pembenaran mereka. Kita akan memeriksa masalah ini secara lebih terperinci, seperti menelusuri rute metodologi yang digunakan oleh ulama-ulama modernis dalam mengubah definisi riba, sehingga memungkinkan korbannya menerima lembaga perbankan dan produknya, seperti uang kertas.
Akhirnya kita harus memahami pentingnya ‘mana yang halal dan mana yang haram’ dan bagaimana cara bertindak menurut aturan Islam. Kita telah kehilangan konsep mu'amalah, yang merupakan satu-satunya cara untuk mengembalikan praktik Syariah dan mengembalikan beberapa aspek kritis dari infrastruktur ekonomi Islam yang membuat mu'amalah menjadi hal yang layak. Oleh karena itu, masalah ini harus dijadikan model pemulihan situasi ekonomi kita. Kita memiliki sumber daya yang cukup, yaitu model-model transaksi Islami yang bisa dipraktikkan, demi mengembalikan cara berdagang yang benar dan tepat, sehingga kita bisa menghilangkan riba dari kehidupan kita.
3. Memahami riba
3.1. Sebuah Dunia yang Dibentuk Dengan Riba
BERBAGAI hal tidak akan pernah lebih baik daripada sekarang" hal tersebut diasumsikan dari sudut pandang kekayaan materi. Asumsi ini dibenarkan meskipun telah melintasi abad yang paling kejam dalam sejarah manusia. Melihat pertama kalinya senjata pemusnah massal digunakan ke populasi sipil, penghancuran masal ekosistem dan fauna, dan sejumlah besar korban kelaparan yang diketahui dalam sejarah. Semua penderitaan masa lalu dan sekarang dilupakan dan publik berasumsi bahwa rata-rata orang saat ini menikmati standar hidup yang tidak sama dengan waktu lainnya. Bahkan, tidak sama untuk semua orang di dunia. Meskipun material perbaikan telah dicapai oleh sebagian kecil umat manusia, masyarakat miskin masih hidup di bawah garis kemiskinan ‘2 USD per hari’, dan mendapat gaji kolektif kurang dari 387 individu penerima terbesar. Ketidakseimbangan dalam kesejahtraan bergandengan dengan ketidakseimbangan politik dan militer yang telah berubah menjadi satu kekuatan yaitu ke ‘hukum-penguasa-dunia’.
Selama periode ini, yaitu pergeseran besar-besaran kekayaan dunia ke sudut kecil dunia, umat Muslim telah kehilangan bahagian yang ter-amat-penting dari status masa lalu mereka, ekonomi dan politik. Kesatuan politik yang diwakili oleh Khalifah, yang pernah memberikan umat Islam otoritas dalam urusan dunia, sudah dihancurkan, dan malah kebanyakan negara-negara dikontrol di bawah naungan dan kerangka hukum baru, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagian besar populasi kita menjadi masyarakat miskin-pekerja, dan Produk Domestik Gabungan (PDG) kita tidak mencapai sepersepuluh dari PDG Amerika Serikat. Secara politik dibagi-bagi, dan korban ekonomi-pun dibagi-bagi, Umat Islam menjadi pihak yang tertindas dalam sistem ekonomi zaman ini. Kehidupan sosial dan budaya terus menerus ter-erosi di bawah rezim ini dan tidak bisa dihindari, yang pada gilirannya meningkatan kemarahan dan frustrasi kaum muda kita.
Ketidakseimbangan sistem ekonomi sekarang berwujud penyelamatan-diri dengan mengalihkan perhatian orang menjauh dari urusan ekonomi dan hal-hal politik. Sistem ekonomi yang menyebabkan ketidakseimbangan dibuat sebagai bayaran, dan individu-individu tirani politik menjadi target perjuangan politik. Dalam keadaan ini sistem ekonomi tetap dipertanyakan, karena itu merupakan sebuah jaminan yang berkelanjutan.
Pada intinya, sistem yang tidak-seimbang ini, kita sebut kapitalisme, berakar pada riba. Riba itu sendiri adalah ketidak-seimbangan. Mekanisme riba melalui sistem perbankan "kontrak kriminal" telah berubah menjadi alat ekonomi yang dominan. Selama kita menjadi budak riba, Muslim akan tetap diperbudak.
Sebuah masyarakat yang salah memahami dinamika dunia akan merasa sulit untuk fokus dalam membangun tujuannya, dan hanyut dalam emosi sesaat. Dan selanjutnya, berbagai tindakan yang dimaksudkan 'untuk berbuat baik' hilang karena kurangnya arah. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada ‘usaha’ yang akan memetik buahnya.
3.2. Apa itu riba?
UNTUK memahami lingkungan ekonomi, dimana kita beroperasi dan kapitalisme merajalela, penting bagi kita untuk memahami riba. Pemahaman Islam tentang riba membuka jalan bagi kita untuk memulihkan mu’amalah, dan membuka jalan bagi semua orang untuk keluar dari penindasan dan perbudakan, sehingga dapat menciptakan alat yang dapat dipergunakan untuk mengatasi keboborokan sistem sekarang. Bahkan pemahaman riba yang negative saja bisa membuka jalan bagi kita untuk membangun sistem yang positif, misalnya saja pada sisi ke-halalan sebuah transaksi perdagangan. Hanya saja kita masih bingung membedakan mana yang Halal dan mana yang Haram, dan kita terus-terusan tersihir oleh keadaan demikian.
Dasar argumen untuk menentang dan memerangi riba adalah seperti yang telah difirmankan Allah dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275, yaitu: "...Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba..." dan Surah Al-Baqarah ayat 279, yaitu: “Jika kamu tak mau melakukannya, maka ketahuilah serbuan dari Allah dan rasul-Nya…”
Riba bertentangan dengan perdagangan, riba adalah sebuah kecurangan dalam perdagangan. Perdagangan tidak boleh dijalankan dengan riba, atau sebaliknya. Meskipun begitu, riba telah menjadi makanan orang-orang kafir dan Muslim ‘yang belum tahu’ zaman ini (wajah kapitalisme). Karena itulah, Riba menjadi masalah politik yang paling penting untuk ditangani umat muslim di permukan bumi zaman ini. Riba mempengaruhi setiap aspek kehidupan dan kita dapat menelusurinya kembali menggunakan dua lembaga utama, yaitu Bank dan Negara. Meskipun penting, kebanyakan Muslim memahami hal tersebut dengan pemahaman yang dangkal (anggap remeh).
Kebanyakan orang berpikir bahwa riba itu hanyalah bunga. Realitasnya, riba jauh lebih kompleks. Kesalahpahaman ini bukan hanya bentuk kesalahan perhitungan saja, melainkan produk dari “pendidikan-yang-salah” dan indoktrinasi yang telah tercipta dari dua fenomena, yaitu penghancuran kekuasaan politik Kekhalifahan dan proses yang disebut 'reformasi Islam' yang menyertainya. Kesalahpahaman ini membuka gerbang ke arah 'Islamisasi' institusi yang paling penting dari dari kapitalisme, yaitu Bank. Ibarat sebuah pasar terbuka yang kita gunakan untuk berdagang, maka Bank adalah tempat untuk menjalankan riba. Sebuah 'riba yang direformasi' atau 'dibentuk ulang' memungkinkan terbentuknya 'Bank Islam' untuk membenarkan tindakan mereka. Hal ini merupakan alasan yang kuat bagi kita untuk kembali ke pemahaman Fiqh yang benar, yang dapat memungkinkan kita untuk memahami mana yang Haram dan mana yang halal. Dan juga subagai dasar yang penting untuk memerangi kapitalisme dan kekuatan ilusi mereka.
Pengenalan singkat ini akan mencoba untuk menguraikan sejelas mungkin masalah riba dalam syariat Islam, dan membersihkan kesalahpahaman yang diciptakan oleh 'reformis islam' dan cendekiawan islam modernis.
Riba secara harfiah dalam bahasa Arab berarti 'kelebihan'. Qadhi Abu Bakar Ibn al-Arabi, dalam karyanya 'Ahkamul Qur'an', mendefinisikan sebagai berikut: "Riba adalah setiap kelebihan antara nilai barang yang diberikan dengan counter-value-nya (nilai barang yang diterima).' kelebihan ini mengacu kepada dua hal:
- Sebuah manfaat tambahan yang timbul dari kenaikan berat atau ukuran yang tidak pada tempatnya, dan
- Sebuah manfaat tambahan yang timbul dari penundaan yang tidak pada tempatnya.