Budi Darma merupakan salah satu sastrawan yang paling berpengaruh dalam perkembangan sastra Indonesia. Identik dengan cerita yang absurd dan satir, kumpulan karangan yang ditulisnya menunjukkan bagaimana sastra Indonesia mampu memperluas cakrawala hingga melampaui wawasan dalam negeri.
Karya-karya ternamanya meliputi kumpulan cerita pendek Orang-orang Bloomington (1980), Kritikus Adinan (2002), novel Olenka (1983) dan Rafilus (1988), serta kumpulan esai Soliokui (1983).
Begawan Sastra sekaligus Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Surabaya (UNESA) itu pernah mendapati penghargaan SEA Write Award (1984), Satya Lencana Kebudayaan Republik Indonesia (1993), Cerpen Terbaik Pilihan Kompas (1999), dan Anugerah Achmad Bakrie (2005).
Tidak hanya berkecimpung di dunia kesusastraan, beliau juga sempat memberikan kuliah di sejumlah universitas di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
Besarnya kontribusi beliau dalam perkembangan sastra nusantara membuat kepulangannya pada tanggal 21 Augustus, 2021 meninggalkan kesan yang sangat mendalam, khususnya bagi dunia sastra Indonesia.
Meskipun demikian, kita tetap bisa mengenang sosok Budi Darma melalui karya-karya sastranya yang abadi.
UNESA Hadirkan Belasan Pakar dalam Simposium Nasional untuk Menelisik Teori Sastra Budi Darma
Dalam rangka mengenang sosok Budi Darma melalui karya-karyanya, keluarga besar Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNESA menghadirkan 16 pakar, baik dari praktisi maupun akademisi, sebagai narasumber untuk menelisik teori sastra Budi Darma dalam kegiatan Simposium Nasional: Menuju Teori Sastra ‘Dunia Jungkir Balik’ Budi Darma pada Selasa, 14 September 2021.
Sumber Video: Official Unesa YouTube Channel
Simposium Nasional yang digelar secara daring melalui Zoom dan YouTube Live tersebut dihadiri oleh 1.000 lebih peserta dari seluruh Indonesia, bahkan ada yang dari Malaysia.
Simposium Diharap Lahirkan Teori Sastra Budi Darma
Para pakar yang diundang sebagai pembicara dalam Simposium Nasional tersebut dipilih berdasarkan kepakaran, ketokohan, serta kedekatan alam pikirannya dengan almarhum Budi Darma.
Hal ini selaras dengan tujuan diadakannya simposium, yaitu untuk mengonstruksi teori sastra Budi Darma.
“Maka dari itu, diharapkan materi dan pemaparan para narasumber nantinya dapat dirumuskan menjadi satu buku yang akan diterbitkan oleh Fakultas Bahasa dan Seni Surabaya,” tutur Dekan FBS UNESA, Dr. Trisakti, M. Si. dalam sambutannya itu.
Tidak hanya dirumuskan menjadi buku, Simposium Nasional tersebut juga diharapkan akan ditindaklanjuti dalam bentuk konferensi Internasional, sambung Rektor UNESA Prof. Nurhasan, M.Kes.
“Kami berharap hasil simposium ini dapat ditindaklanjuti dalam konferensi internasional pada bulan awal tahun depan. Dengan konferensi internasional tersebut diharapkan keluasan dan kekayaan wawasan yang dicurahkan dari berbagai pihak akan sangat bermanfaat untuk merumuskan teori sastra Budi Darma. Mudah-mudahan impian kita bersama untuk memiliki teori sastra yang lahir dari anak Negeri ini dapat tercapai,” ujarnya.
Jungkir Balik pada Penokohan Budi Darma
Menurut Prof. Faruk HT, konsep Jungkir Balik yang tampak dalam karya-karya Budi Darma terletak pada unsur penokohan dan karakter yang cenderung terkesan janggal.
Hal ini lantaran banyak peristiwa yang muncul secara mendadak, tanpa alasan, maupun tujuan.
“Tokoh-tokoh Budi Darma begerak dengan tiba-tiba, jadi mereka tidak tahu kenapa saya di sini, kenapa saya begini, mengapa saya melakukan ini? Mereka tiba-tiba saja didorong seperti untuk bertindak,” ujar Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM itu.
Karya-karya Budi Darma pada dasarnya sangat dikuasai oleh kekuatan subjektivitas atau ‘surealisme.’ Akan tetapi, surealisme Budi Darma sangat berbeda dengan karya-karya sejenis pada umumnya.
Adicita surealisme Budi Darma cenderung mengimani campuran idealisme abstrak yang terus bergerak layaknya cerita-cerita action, namun stagnan mengandung kedalaman.
Kritikus sastra UGM itu pada akhir pemaparan menyebutkan bahwa yang menarik dari kekhasan Budi Darma yaitu karyanya adalah campuran dari tragedi dan komedi (tragicomedy).
Keterbiusan Menulis Budi Darma
Dr. Seno Gumira Ajidarma, S. SN., M. Hum. menyatakan bahwa Budi Darma bukanlah penulis yang terpaku pada aturan-aturan baku, melainkan sebaliknya.
Hal ini tampak pada proses menulis almarhum yang cenderung dilakukan secara tiba-tiba dan penuh ketidaksadaran.
“Budi Darma dalam konsep sastranya meyakini bahwa penulis yang sesungguhnya tidak akan pernah mempunyai persiapan apa-apa. Akan tetapi, mereka yang sesungguhnya penulis tidak bisa menulis tanpa persiapan apa-apa,” ujar penulis sekaligus ilmuwan sastra Indonesia itu.
“Persiapan sebelum menulis bukan dengan mengumpulkan literatur, melainkan memejamkan pengalaman batin, kepekaan, imajinasi, dan kemampuan bahasa.” -Budi Darma
Penulis yang sesungguhnya tidak pernah mempersiapkan tema, alur, penokohan, pun unsur-unsur dasar kepengarangan lainnya; karena sejatinya, sumber dari segala persiapan seorang penulis terletak pada otak. Artinya, ide akan mengalir dengan begitu saja.
Salah satu contohnya adalah novel Olenka (1983) yang terbit secara tiba-tiba setelah Budi melihat sosok wanita yang menarik perhatiannya di dalam lift.
Kata demi kata Ia rangkai, bahkan sampai bermalam-malam tidak tidur. Olenka (1983) pun jadi diatas ketidaksadarannya.
Istilah proses menulis yang dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa kesadaran ini disebut dengan keterbiusan.
Intelektualitas Pengarang dan Karya Sastra
Budi Darma dalam kumpulan esainya kerap menyinggung bagaimana sastra dapat menjadi medan intelektualitas seorang pengarang.
“Dalam Sastra kita tidak bisa bercita-cita untuk menurunkan kapasitas intelektual kita. Sastra adalah intellectual exercise, dan kita bercita-cita untuk menaikan kapasitas intelektual kita.” -Budi Darma (1973)
Dalam kutipan tersebut, beliau secara terang menyebutkan bahwa sastra adalah intellectual exercise—yang artinya sangat diperlukan kemampuan intelektual untuk bisa menulis dan memahami karya sastra.
Bagi seorang Budi Darma, intelektual adalah mereka yang mampu berpikir dalam tataran abstraksi.
Sastrawan Okky Madasari menantang anggapan tersebut lantaran beliau cenderung menempatkan makna intelektualisme sebatas kemampuan berpikir dan abstraksi.
Menurut Okky, tolak ukur dari kerja intelektual tidak sebatas kemampuan berpikir dan berabstraksi, namun juga kesadaran serta keterlibatan secara nyata dalam masyarakat.
“Bukan hanya persoalan di diri penulis, tetapi ada persoalan di luar penulis yang membentuk intelektualisme dan wajah sastra,” ujar penulis novel yang lekat akan kritik sosial itu. (BJ)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI