Mohon tunggu...
Briggita Rapunzel Citra
Briggita Rapunzel Citra Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hai

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kritik Sastra Objektif Novel "Telegram" Karya Putu Wijaya

26 Februari 2022   16:07 Diperbarui: 26 Februari 2022   16:12 4913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

  1. Pendahuluan

Sebagai salah satu penulis terkenal di tahun 1970-an, sudah tidak menjadi jarang lagi nama Putu Wijaya muncul di tengah kalangan penggemar karya sastra. Fathurrohman (2017) menyebutkan bahwa beliau adalah seorang sastrawan yang telah menciptakan banyak karya sastra yakni 30 novel, 40 naskah drama, artikel lepas, kritik drama, dan ratusan bahkan diperkirakan ribuan cerpen beserta esai. 

Dari berbagai banyak buku unggulan beliau, Telegram merupakan salah satu karya novel yang memiliki kisah atau pesan yang sangat menarik baik terutama dari segi sosial kala itu. 

Buku ini begitu kental akan isu sosial yang diangkat dan penggambarannya yang sempurna akan bagaimana tokoh serta seluruh rangkain peristiwa terjadi satu per satu. Telegram adalah buku yang khas atau kaya akan konflik dan juga tokoh yang sangat menarik dengan ragam karakternya. 

  1. Sinopsis

Buku ini bercerita tentang seorang laki-laki yang terjebak di dalam dunia khayalnya yang kompleks terkait berbagai macam masalah yang terjadi di dalam dirinya dan dunia nyata. Menggunakan sudut pandang pertama, tokoh "Aku"  adalah seorang wartawan suatu majalah yang hidup sederhana dengan anak angkatnya Sinta. 

Tak menyukai segala bentuk tanggung jawab yang mengikat seperti, melaksanakan adat istiadat, mengurus keluarga, tokoh "Aku" juga tidak menyukai konsep pernikahan yang dianggap seperti masuk ke dalam penjara. 

"Aku" sering membayangkan dan terjebak dalam khayalannya sendiri, di mana di dalamnya ia memiliki tokoh imajiner bernama Rosa yang selalu ada bersamanya, walaupun pada akhirnya hal ini tak berujung baik pula. Kedatangan surat-surat terutama telegram terlebih yang berasal dari keluarganya di Bali menimbulkan ketakutan yang luar biasa dalam diri "Aku"  dan juga Sinta. 

Namun, takdir berkata lain, dan sampailah sebuah telegram dari keluarganya di Bali membawa kabar buruk bahwa ibunya tengah sakit dan ia harus pulang. Seiring mempersiapkan kepulangannya ke Bali bersama Sinta, berbagai macam masalah mulai menghampiri diri dan keluarganya. 

Dimulai dari tenggat waktu pengumpulan artikel yang menyulitkan, dirinya yang tiba-tiba jatuh sakit, kedatangan ibu kandung Sinta yang ingin mengambil kembali anaknya, hingga hubungannya dengan Nurma yakni seorang perempuan tuna susila yang dekat dengannya. 

Tokoh "Aku" seringkali mengalami perdebatan dalam dirinya yang menyebabkan ia terjebak dalam pemikirannya sendiri dan menjadi orang yang depresi, linglung, emosional, dan lain-lain. Hingga akhirnya, setelah telegram yang kedua datang menyatakan bahwa Ibunya telah meninggal, hari kepulangan pun tiba, "Aku" dan anak angkatnya Sinta segera berangkat menuju kampung halamannya, Bali. 

  1. Isi 

Seperti yang dikatakan sebelumnya, salah satu keunggulan dari novel Telegram ini terletak pada tema dari kisah yang diangkat ke dalamnya. 

Tema dari novel ini adalah sebuah keinginan seseorang untuk meninggalkan segala macam tanggung jawab, adat istiadat, dan nilai-nilai yang dianggap kuno, dari hasil pemikiran berniat realistis ala manusia zaman sekarang. Hal ini dapat dengan mudah dilihat dari inti atau akar permasalahan seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi. 

Salah satu contoh kalimat yang menekankan tema tersebut terletak pada kalimat, "Bahwa ia sudah berhasil mengumpulkan kebencian penduduk setempat sehingga ia bagaikan seorang pemberontak yang sedang memperjuangkan nilai-nilai baru" (Wijaya, 1973, h.172). 

Contoh lainnya juga, "Lelaki itu kemudian melanjutkan perangnya dengan menentang kebiasaan" (Wijaya, 1973, h.173) yang sangat menunjukkan ide cerita dari novel ini.

Menurut Azizah (2021),  novel ini menggunakan alur maju mundur yaitu alur yang menggunakan konsep waktu diawali klimaks, kemudian kembali ke masa lampau, lalu kembali lagi ke permasalahan sekarang. Penggunaan alur ini terlihat jelas dari rangkaian peristiwa yang berlompatan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, berdasarkan Wijaya (1973), melalui kalimat "Aku jadi teringat masa lampau. 

Sambil memegang susunya, aku selalu merasa dibakar sunyi, kalau ia menggangguku...." (h.82). Ada kalanya juga jenis alur disampaikan melalui dialog seperti yang dijelaskan sebelumnya, sehingga terdapat kesan tidak selaras. Mengutip dari Adm (2020), alur campuran atau maju mundur ini memang kerap digunakan karena meskipun terkesan membingungkan alur cerita seperti ini diminati oleh banyak orang sebab menjadikan cerita tidak membosankan atau monoton.   

Salah satu cuplikan lainnya yang juga mendukung pemakaian alur maju mundur ini juga dapat dilihat dari bagian awal novel tersebut. Dalam Wijaya (1973) tertera "Aku melipatnya dengan hati-hati, seperti juga waktu aku melipat telegram kematian ayah. Lonceng itu menggeram lagi untuk kedua kalinya dalam pengetahuanku. 

Satu kali." (h.32). Tidak banyak menggunakan tokoh dalam cerita, permasalahan atau jalannya cerita berputar pada beberapa tokoh inti saja. Tokoh utama dalam novel ini adalah tokoh "Aku" sebagai sudut pandang orang pertama dikarenakan frekuensi kemunculan tokoh dan juga cerita yang berputar pada tokohnya. 

Tokoh figuran atau pembantu dalam novel ini terdiri dari banyak tokoh, mulai dari Sinta yaitu anak angkatnya, Nurma yaitu wanita tuna susila, Rosa sang kekasih, teman kantornya, dan Bibi yaitu pembantu di rumahnya, serta keluarganya di Bali. 

Bentuk penokohan yang dilakukan oleh penulis dalam novel ini adalah metode dramatik dengan cara melalui dialog antar tokoh, perilaku tokoh, dan juga pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh tokoh. Untuk tokoh selain tokoh "Aku" dan Sinta, penokohan dilakukan oleh narasi dari tokoh utama. 

Contohnya seperti tokoh keluarga di Bali, yang sebagian besar tidak berdialog namun tergambar melalui narasi tokoh utama. Menurut saya penokohan ini cukup menarik, karena kita sebagai pembaca hanya dapat melihat karakter tokoh yang berkaitan melalui sudut pandang tokoh utama. 

Seperti contohnya dalam kalimat, "Sudah pasti, kakak tiriku yang tak suka melucu dengan saudara tirinya itu, tak akan membuat telegram kalau tidak ada sesuatu malapetaka. Kalau bukan ibu, mungkin saudara lelakiku yang terganggu syarafnya. la memang seorang yang berbahaya karena bukan gila, tetapi waras pun tidak" (Wijaya, 1973, h.17). 

Tokoh "Aku" sebagai tokoh utama memiliki watak yang dingin, pemarah, dan juga reaktif dalam menghadapi sesuatu. Salah satu contoh buktinya terdapat pada penggalan cerita dalam novel, Wijaya (1973) : 

Brak ! Brak! Aku telah memukuli meja itu. Pak Tua datang, ia menyentuh tanganku. "Sabar, Pak," bujuknya. Aku telah berdiri. Rasanya mau melabrak saja. Justru kedatangan orang tua itu menyebabkan aku mau pamer kegalakan. "Saya peringatkan!" teriakku. "Kalau kalian berdua masih saja mencoba mengganggu, saya adukan ke polisi, kalian mau menculik! MCDSAK NBGFFKK LKI GKLPOIUYTRE FGJKLKJHGFH]LJ LKJ ......!" sambungku kemudian dengan bahasa daerah yang pedas dan sedikit ngawur. Keduanya tak berkutik serta ketakutan. (h. 136).

Selanjutnya adalah tokoh pendukung yang tak kalah menarik, yakni Sinta yang memiliki peran sebagai anak angkat. Bagi saya, karakter Sinta dalam buku ini lebih mengarah pada penetral dari segala sikap atau akibat yang dilakukan oleh tokoh utama. Dalam buku ini, Sinta memiliki karakter atau watak yang penyabar, penyayang, dan juga dewasa. 

Penokohan tokoh Sinta oleh penulis digambarkan melalui sikap Sinta seperti yang tadi disebutkan terhadap tokoh utama atau masalah di sekelilingnya. Salah satu bagian dari buku ini yang sangat menggambarkan penokohan Sinta terletak pada kalimat, "Tunggu apa lagi Papa, ayo pulang. Nanti Papa sakit lagi. Papa pusing? Papa mabok?" (Wijaya, 1973, h.169)) 

Novel Telegram ini berlatar waktu pada kisaran tahun 1973-an bersamaan dengan waktu di mana novel ini dibuat oleh Putu Wijaya. Sehingga, apabila novel dibaca di waktu kini, maka akan terasa atmosfer atau suasana yang sangat berbeda  karena rentang waktu yang sangat jauh. Latar waktu ini dapat terlihat dari penggambaran suasana yang diberikan oleh tokoh utama, juga dari dialog yang ada dalam cerita. 

Salah satu penggambaran waktu yang cukup jelas dari novel ini tertera dalam kalimat, " Ternyata majalah Femina. Sebuah majalah untuk para Ibu. Tidak. Majalah Intisari" (Wijaya, 1973, h. 60). Kalimat tersebut menggambarkan latar waktu dari novel adalah karena sebagaimana yang saya simpulkan dari Widijatmiko (2021) majalah-majalah yang disebutkan tersebut terutama majalah Intisari adalah majalah-majalah yang ada atau terkenal pada masa sekitar tahun 1960-1973. 

Di samping itu, untuk latar tempat dari novel Telegram ini, cerita lebih banyak menggunakan latar yang sama berulang kali, berpusat di Jakarta. Seperti rumah dari tokoh "Aku", tempat kerja, dan jalanan raya tempat tokoh "Aku" umumnya berkeliaran. 

Penggambaran latar tempat ini dilakukan dengan narasi dari tokoh utama seperti beberapa contohnya antara lain, " Sebagaimana bagian Jakarta yang lain, ia masih terjaga. 

Beberapa orang masih mengintip-intip seperti mencari sesuatu, sebagian lain nongkrong di warung sambil memenuhi mulutnya dengan asap" (Wijaya, 1973, h. 37). Lalu, "Aku masih duduk di belakang makanan, sedang mereka di pintu dapur" (Wijaya, 1973, h. 103). 

Untuk latar suasana, sebagian besar suasana yang timbul atau dimunculkan dalam cerita ini adalah suasana yang menegangkan, menyebalkan, dan juga penuh amarah serta kebingungan. Hal ini tergambar dari sikap tokoh utama yang kerap linglung, depresi, ataupun memiliki konflik dengan sekitarnya. 

Salah satu contoh latar suasana yang menggambarkannya adalah sama seperti contoh di atas yakni dari Wijaya (1973) ketika terjadi cekcok antara tokoh utama "Aku" dengan orang di kantornya (h. 136). 

Berbagai perasaan atau suasana yang digambarkan dalam novel ini sebenarnya sangat menarik dan beragam emosi. Dari emosi yang penuh amarah tiba-tiba menjadi sedih, sehingga gemar menaik turunkan emosi pembaca. 

Buku ini banyak menggunakan gaya bahasa perbandingan seperti majas personifikasi dan juga majas hiperbola. Seperti contohnya dalam kalimat, "Dari lubang ventilasi yang tinggi itu menggelinding angin menggoyangkan kalender di meja sebelah" (Wijaya, 1973, h. 88), yang menggambarkan penggunaan majas personifikasi. Selanjutnya untuk contoh majas hiperbola dengan penggunaan kata yang melebih-lebihkan dapat dilihat dari kalimat, " Rasanya tak ada bedanya dengan berbaring di dalam peti mati" (Wijaya, 1973, h. 94). 

Sisanya, bahasa yang digunakan dalam buku ini tergolong ringan dan cukup mudah dimengerti, walaupun mengandung beberapa kata kasar yang mungkin tidak pantas untuk dibaca oleh umur tertentu. Contoh kalimat yang menggunakan kata kasar terdapat pada kalimat, " Lebih jelas lagi terasa, mereka menertawakanku. Bangsat!" (Wijaya, 1973, h. 158), sebagaimana menurut Damarjati (2019) kata bangsat merupakan kata kasar apabila dijadikan sebagai makian atau umpatan. 

Terakhir, untuk amanat dari buku Telegram ini adalah hal yang menurut saya sangat tersirat, sehingga pembaca harus memahami dengan betul akhir dari cerita tokoh utama "Aku". Amanat yang terkandung dalam novel ini antara lain adalah bahwa kita sebagai manusia tidak akan pernah dapat terhindar dari tanggung jawab kita baik apa pun itu, bahwa kita sebagai manusia harus berani untuk jujur terhadap diri sendiri dan berani menghadapi realita. 

Terakhir, yakni kita sebagai manusia tidak boleh takut akan fakta bahwa suatu hari nanti kematian akan datang pula kepada kita. Salah satu contoh kalimat yang sangat menggambarkan pesan tersebut terdapat pada bagian akhir novel yakni pada kalimat, " Seorang sudah mati. Yang lain terus hidup. 

Satu ketika orang akan bikin telegram untuk kami. Sementara orang lain masih harus melanjutkan hidup" (Wijaya, 1973, h. 188). Pesan ini tersendiri menurut saya sangatlah bijak dan tidak tertebak di awal cerita. Namun, seiring cerita berjalan dan fokus cerita menjadi semakin detail, pesan ini menjadi muncul dan menjadi bagian yang justru paling menarik dari buku ini. 

  1. Penutup 

Pada akhirnya, secara keseluruhan buku ini sangatlah baik adanya dan memiliki gaya penuturan cerita yang baik pula. Buku ini adalah sebuah karya dari Putu Wijaya yang sangat khas dan kaya akan konflik atau isu yang sebenarnya sangat sesuai dengan apa yang terjadi di dunia sekarang ini. 

Dimulai dari tema yang tentunya sangat jarang diangkat yakni tentang isu sosial, tokoh dan penokohan yang menarik menggunakan teknik dramatik, alur yang tidak membosankan karena menggunakan alur maju mundur, dan latar yang juga tak kalah menarik. 

Gaya bahasa dari novel ini juga mudah dimengerti walaupun kembali, tidak sesuai untuk semua umur dan amanat yang begitu tersirat dan mengandung nilai-nilai yang begitu sempurna tersampaikan di akhir cerita. Buku ini mengandung permasalahan yang cukup kompleks dan juga beberapa adegan yang tidak terlalu sesuai bagi beberapa kalangan umur. Namun,  Buku ini sangatlah cocok untuk para pembaca yang tertarik akan ide cerita yang baru, rumit, dan juga butuh pemahaman penuh untuk dapat mengerti keseluruhan cerita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun