Mohon tunggu...
Briggita Rapunzel Citra
Briggita Rapunzel Citra Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hai

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kritik Sastra Objektif Novel "Telegram" Karya Putu Wijaya

26 Februari 2022   16:07 Diperbarui: 26 Februari 2022   16:12 4913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Tokoh "Aku" seringkali mengalami perdebatan dalam dirinya yang menyebabkan ia terjebak dalam pemikirannya sendiri dan menjadi orang yang depresi, linglung, emosional, dan lain-lain. Hingga akhirnya, setelah telegram yang kedua datang menyatakan bahwa Ibunya telah meninggal, hari kepulangan pun tiba, "Aku" dan anak angkatnya Sinta segera berangkat menuju kampung halamannya, Bali. 

  1. Isi 

Seperti yang dikatakan sebelumnya, salah satu keunggulan dari novel Telegram ini terletak pada tema dari kisah yang diangkat ke dalamnya. 

Tema dari novel ini adalah sebuah keinginan seseorang untuk meninggalkan segala macam tanggung jawab, adat istiadat, dan nilai-nilai yang dianggap kuno, dari hasil pemikiran berniat realistis ala manusia zaman sekarang. Hal ini dapat dengan mudah dilihat dari inti atau akar permasalahan seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi. 

Salah satu contoh kalimat yang menekankan tema tersebut terletak pada kalimat, "Bahwa ia sudah berhasil mengumpulkan kebencian penduduk setempat sehingga ia bagaikan seorang pemberontak yang sedang memperjuangkan nilai-nilai baru" (Wijaya, 1973, h.172). 

Contoh lainnya juga, "Lelaki itu kemudian melanjutkan perangnya dengan menentang kebiasaan" (Wijaya, 1973, h.173) yang sangat menunjukkan ide cerita dari novel ini.

Menurut Azizah (2021),  novel ini menggunakan alur maju mundur yaitu alur yang menggunakan konsep waktu diawali klimaks, kemudian kembali ke masa lampau, lalu kembali lagi ke permasalahan sekarang. Penggunaan alur ini terlihat jelas dari rangkaian peristiwa yang berlompatan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, berdasarkan Wijaya (1973), melalui kalimat "Aku jadi teringat masa lampau. 

Sambil memegang susunya, aku selalu merasa dibakar sunyi, kalau ia menggangguku...." (h.82). Ada kalanya juga jenis alur disampaikan melalui dialog seperti yang dijelaskan sebelumnya, sehingga terdapat kesan tidak selaras. Mengutip dari Adm (2020), alur campuran atau maju mundur ini memang kerap digunakan karena meskipun terkesan membingungkan alur cerita seperti ini diminati oleh banyak orang sebab menjadikan cerita tidak membosankan atau monoton.   

Salah satu cuplikan lainnya yang juga mendukung pemakaian alur maju mundur ini juga dapat dilihat dari bagian awal novel tersebut. Dalam Wijaya (1973) tertera "Aku melipatnya dengan hati-hati, seperti juga waktu aku melipat telegram kematian ayah. Lonceng itu menggeram lagi untuk kedua kalinya dalam pengetahuanku. 

Satu kali." (h.32). Tidak banyak menggunakan tokoh dalam cerita, permasalahan atau jalannya cerita berputar pada beberapa tokoh inti saja. Tokoh utama dalam novel ini adalah tokoh "Aku" sebagai sudut pandang orang pertama dikarenakan frekuensi kemunculan tokoh dan juga cerita yang berputar pada tokohnya. 

Tokoh figuran atau pembantu dalam novel ini terdiri dari banyak tokoh, mulai dari Sinta yaitu anak angkatnya, Nurma yaitu wanita tuna susila, Rosa sang kekasih, teman kantornya, dan Bibi yaitu pembantu di rumahnya, serta keluarganya di Bali. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun