Belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan fenomena atau tren baru yang dikenal sebagai thrifting. Istilah thrifting sendiri merujuk pada suatu aktivitas mencari serta membeli barang-barang bekas layak pakai, khususnya produk pakaian bekas dari dunia internasional. Akibatnya, kemudian banyak muncul toko-toko yang menjual baju bekas tersebut yang dikenal sebagai toko thrift.Â
Toko thrift ini sendiri, bergerak pada usaha penjualan baju bekas  yang berasal dari luar negeri (impor). Walaupun produk yang dijual pada usaha ini merupakan produk bekas. Akan tetapi, usaha ini sendiri kemudian mulai diminati oleh masyarakat tanah air. Hal tersebut dikarenakan melalui usaha inilah, masyarakat tanah air dapat membeli baju bermerek internasional dengan harga miring.
Akan tetapi di lain sisi, maraknya fenomena thrifting justru menimbulkan reaksi negatif dari pemerintah. Dimana reaksi negatif tersebut diwujudkan dengan adanya larangan penjualan baju bekas impor  (thrifting). Akibatnya,  banyak toko produk barang thrifting yang kemudian dilarang untuk berdiri, serta melanjutkan usahanya. Â
Langkah serta kebijakan yang diambil oleh pemerintah ini pada akhirnya menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat, terutama bagi pelaku maupun konsumen industri thrifting ini. Pada akhirnya, masyarakat Indonesia kemudian terpecah menjadi dua dalam menilai larangan dari pemerintah tersebut.
Kemudian seperti dijelaskan sebelumnya, kebijakan pemerintah ini kemudian menimbulkan pro kontra dalam masyarakat dengan berbagai alasan. Hal tersebut dikarenakan kebijakan pelarangan tersebut berlaku di tengah maraknya sektor usaha thrifting. Dari sisi pemerintah sendiri menilai kebijakan pelarangan ini perlu, serta penting demi dapat menjaga keberlangsungan industri dalam negeri.Â
Dimana menurut pemerintah, penjualan produk-produk thrift dapat membahayakan industri pakaian lokal. Hal tersebut dikarenakan, dengan adanya aktivitas penjualan tersebut dapat membuat berkurangnya minat masyarakat untuk membeli produk dalam negeri. Maka dari itu langkah yang diambil oleh pemerintah ini, dianggap sebagai suatu bentuk langkah proteksi demi keberlangsungan industri tekstil dalam negeri.
Selain alasan tersebut pemerintah juga berdalih bahwasanya, barang-barang yang dijual pada pasar thrifting merupakan suatu produk yang tidak layak pakai. Bahkan pemerintah beranggapan bahwa barang thrift tersebut dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan.Â
Dimana masalah kesehatan yang dimaksud kebanyakan berhubungan dengan masalah kesehatan kulit. Hal tersebut dikarenakan, produk thrift yang dinilai pemerintah sebagai barang sampah tempat berkembangnya bakteri, serta jamur. Atas beberapa dasar tersebutlah, kemudian yang menjadi penyebab munculnya kebijakan pelarangan penjualan barang thrift di Indonesia.
Akan tetapi di lain sisi, masyarakat justru menilai negatif kebijakan pelarangan penjualan produk-produk thrift di Indonesia. Dimana masyarakat menilai kebijakan tersebut, sebagai suatu bentuk intervensi usaha yang merugikan dari pemerintah. Hal tersebut dikarenakan, dengan adanya kebijakan tersebut tentu saja dapat merugikan para pelaku sektor industri thrifting ini.Â
Selain itu, alasan lain mengapa masyarakat kontra terhadap kebijakan tersebut ialah mengenai dampaknya bagi lingkungan. Berbanding terbalik dengan pemerintah yang menganggap barang thrift sebagai barang tidak layak pakai. Di lain sisi, masyarakat justru menganggap barang tersebut sebagai suatu barang yang ramah lingkungan. Hal tersebut dikarenakan, barang thrift yang dinilai sebagai bentuk upaya nyata perlindungan terhadap lingkungan. Dimana upaya tersebut diwujudkan dengan adanya konsep recycle pada barang thrift tersebut.
Sedangkan pada kenyataannya di lapangan, bentuk usaha serta aktivitas thrifting sendiri sudah ada sejak lama di Indonesia. Dimana usaha ini mulai masuk dan berdiri di Indonesia sejak tahun 1995.Â
Dengan fakta tersebut, masyarakat menilai alasan pelarangan usaha thrift yang disampaikan oleh pemerintah kurang relevan. Dimana salah satu alasannya, ialah aktivitas thrifting ini menyebabkan lesunya industri tekstil dalam negeri belakangan ini. Akibatnya, kemudian banyak asumsi yang timbul di masyarakat terkait alasan utama adanya kebijakan tersebut.
Salah satu asumsi yang timbul, ialah aktivitas thrifting yang dijadikan sebagai kambing hitam permasalahan lesunya industri tekstil lokal. Asumsi tersebut muncul dikarenakan masyarakat menilai bahwasanya fakta yang terjadi di lapangan tidak relevan dengan kenyataan.Â
Dimana faktanya jumlah impor produk barang thrift masih bisa dikatakan lebih sedikit, jika dibandingkan dengan impor produk tekstil dari Negara China. Dimana seperti yang diketahui, di Indonesia sendiri sangat mudah sekali untuk menemui produk-produk tekstil yang berasal dari negeri tirai bambu tersebut. Hal itulah yang kemudian menjadi dasar bagi masyarakat untuk mendukung asumsi tersebut.
Selain mendapatkan berbagai reaksi dari masyarakat larangan thrifting pada akhirnya menimbulkan dampak, terutama bagi pelaku industri tersebut. Dimana dampak yang paling terasa ialah menurunnya tingkat penjualan produk thrift di berbagai toko. Penurunan tersebut diakibatkan oleh semakin menurunnya tingkat aktivitas thrifting yang dilakukan oleh masyarakat. Â Â
Dimana dengan adanya larangan thrifting dari pemerintah. Pada akhirnya membuat reputasi aktivitas tersebut menjadi suatu hal yang negatif atau bahkan ilegal. Dimana memburuknya reputasi tersebut, pada akhirnya berdampak pada menurunnya minat masyarakat terhadap produk-produk thrift yang di jual. Penurunan nilai penjualan tersebut jika terus menerus terjadi, pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian pada pelaku industri thrifting ini.
Dampak lainnya yang dapat terjadi akibat pelarangan ini ialah dampak lainnya terhadap lingkungan. Seperti dijelaskan sebelumnya, dimana konsep produk thrift memenuhi salah satu konsep dari 3R yaitu recycle.Â
Dengan adanya larangan tersebut, tentu saja produk thrift pada akhirnya akan hanya dianggap sebagai suatu sampah tekstil. Tentu saja hal tersebut kemudian berdampak pada semakin meningkatnya jumlah sampah yang ada. Dimana peningkatan jumlah sampah juga dapat berimbas pada berbagai permasalahan terkait lingkungan lainnya.  Â
Berdasarkan pada penjelasan di atas pada akhirnya dapat disimpulkan, bahwasanya pelarangan penjualan produk-produk thrift ini menimbulkan  perbedaan pendapat antara pemerintah dan masyarakat. Dimana pemerintah menganggap kebijakan ini sebagai suatu bentuk proteksi terhadap industri tekstil lokal.Â
Sedangkan di lain sisi masyarakat menganggap kebijakan tersebut, sebagai suatu bentuk  intervensi berlebihan dari pemerintah terhadap sektor usaha masyarakat. Hal tersebutlah yang kemudian menimbulkan polemik terkait aktivitas atau fenomena thrifting di Indonesia ini.
    Â
   Â
   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H