Dengan fakta tersebut, masyarakat menilai alasan pelarangan usaha thrift yang disampaikan oleh pemerintah kurang relevan. Dimana salah satu alasannya, ialah aktivitas thrifting ini menyebabkan lesunya industri tekstil dalam negeri belakangan ini. Akibatnya, kemudian banyak asumsi yang timbul di masyarakat terkait alasan utama adanya kebijakan tersebut.
Salah satu asumsi yang timbul, ialah aktivitas thrifting yang dijadikan sebagai kambing hitam permasalahan lesunya industri tekstil lokal. Asumsi tersebut muncul dikarenakan masyarakat menilai bahwasanya fakta yang terjadi di lapangan tidak relevan dengan kenyataan.Â
Dimana faktanya jumlah impor produk barang thrift masih bisa dikatakan lebih sedikit, jika dibandingkan dengan impor produk tekstil dari Negara China. Dimana seperti yang diketahui, di Indonesia sendiri sangat mudah sekali untuk menemui produk-produk tekstil yang berasal dari negeri tirai bambu tersebut. Hal itulah yang kemudian menjadi dasar bagi masyarakat untuk mendukung asumsi tersebut.
Selain mendapatkan berbagai reaksi dari masyarakat larangan thrifting pada akhirnya menimbulkan dampak, terutama bagi pelaku industri tersebut. Dimana dampak yang paling terasa ialah menurunnya tingkat penjualan produk thrift di berbagai toko. Penurunan tersebut diakibatkan oleh semakin menurunnya tingkat aktivitas thrifting yang dilakukan oleh masyarakat. Â Â
Dimana dengan adanya larangan thrifting dari pemerintah. Pada akhirnya membuat reputasi aktivitas tersebut menjadi suatu hal yang negatif atau bahkan ilegal. Dimana memburuknya reputasi tersebut, pada akhirnya berdampak pada menurunnya minat masyarakat terhadap produk-produk thrift yang di jual. Penurunan nilai penjualan tersebut jika terus menerus terjadi, pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian pada pelaku industri thrifting ini.
Dampak lainnya yang dapat terjadi akibat pelarangan ini ialah dampak lainnya terhadap lingkungan. Seperti dijelaskan sebelumnya, dimana konsep produk thrift memenuhi salah satu konsep dari 3R yaitu recycle.Â
Dengan adanya larangan tersebut, tentu saja produk thrift pada akhirnya akan hanya dianggap sebagai suatu sampah tekstil. Tentu saja hal tersebut kemudian berdampak pada semakin meningkatnya jumlah sampah yang ada. Dimana peningkatan jumlah sampah juga dapat berimbas pada berbagai permasalahan terkait lingkungan lainnya.  Â
Berdasarkan pada penjelasan di atas pada akhirnya dapat disimpulkan, bahwasanya pelarangan penjualan produk-produk thrift ini menimbulkan  perbedaan pendapat antara pemerintah dan masyarakat. Dimana pemerintah menganggap kebijakan ini sebagai suatu bentuk proteksi terhadap industri tekstil lokal.Â
Sedangkan di lain sisi masyarakat menganggap kebijakan tersebut, sebagai suatu bentuk  intervensi berlebihan dari pemerintah terhadap sektor usaha masyarakat. Hal tersebutlah yang kemudian menimbulkan polemik terkait aktivitas atau fenomena thrifting di Indonesia ini.
    Â
   Â