Tahun 2014, masih ingat dalam benak kita soal jargon "Revolusi Mental". Sebuah janji kampanye yang mengantarkan Joko Widodo (Jokowi) menuju puncak karir politiknya sebagai presiden Indonesia. Betapa dukungan masyarakat terhadap janji politik Jokowi ini sejalan dengan runtuhnya kepemimpinan presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang di masa akhir periodenya justru mengalami permasalahan pelik.
Mulai dari kerasnya oposisi PDI Perjuangan sampai jajaran kabinet dan petinggi partainya (Partai Demokrat) yang banyak terjerat kasus korupsi. Alhasil, kampanye "Revolusi Mental" pun sangat menonjol bahkan sampai memantik gerakan massa (people power) pada Pemilihan Umum 2014 silam.
Joko Widodo dengan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mendapatkan momentum yang tepat sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Berhadapan dengan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa yang dianggap sebagai represetasi dari rezim SBY, bukanlah hal yang mudah.
Sejak tahun 2012, Jokowi sudah memenangi kontestasi Pilkada DKI Jakarta. Saat pemerintahan SBY mulai anjlok, disaat itulah Jokowi-JK tampil ke panggung gelanggang politik menjadi simbol harapan dan perubahan bagi kepemimpinan nasional.
Sebelum jargon revolusi mental dikampanyekan secara resmi, sosok Jokowi sendiri sudah melekat dengan arus perubahan terutama hal pengembangan industri otomotif nasional yang bernama mobil Esemka.
Mobil Esemka pertama kali diperkenalkan pada tahun 2007 oleh SMK Negeri 2 Surakarta dan mendapat perhatian dari masyarakat, termasuk Jokowi yang saat itu menjabat sebagai Walikota Solo. Esemka kemudian diproduksi oleh PT Solo Manufaktur Kreasi (SMK) yang didirikan pada tahun 2012.
Sekedar janji politik
Pengembangan prototype mobil Esemka yang digadang-gadang sebagai mobil nasional ini terus berbenah. Terbaru, untuk meningkatkan kualitas produk, mobil Esemka berencana meluncurkan model-model teranyar termasuk kendaraan listrik. Namun, sepuluh tahun berjalan rupanya mobil nasional itu belum juga hadir ditengah-tengah masyarakat.
Alih-alih serius mengembangkan produk, pemerintahan Jokowi justru membuka ruang bagi industri otomotif dari Cina dan Korea Selatan untuk berinvestasi mengembangkan mobil maupun motor listrik di tanah air. Bahkan, dibawah kendali seorang Luhut Binsar Panjaitan industri kendaraan listrik mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Sama halnya dengan janji Esemka, sejak terpilihnya Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia tahun 2014 menempatkan gerakan revolusi mental sebagai program prioritas pemerintah. Awalnya, program ini bertujuan untuk memperbaiki dan membangun karakter bangsa dengan mengacu pada nilai-nilai integritas, etos kerja, dan gotong royong.
Sayangnya, menjelang akhir periode jabatan justru gerakan revolusi mental ini semakin meredup seiring perubahan prinsip dasar perjuangan politik seorang Jokowi itu sendiri. Banyak yang menganggap revolusi mental gagal karena tidak memiliki indikator maupun target yang jelas dan terukur. Program ini hanya berupa slogan yang tidak dijabarkan menjadi kebijakan serta aksi konkret yang bisa dievaluasi dan dipertanggungjawabkan.
Selain itu, beberapa faktor menyebabkan program revolusi mental ini tidak bisa berjalan secara maksimal antara lain: pertama, tidak memiliki koordinasi dan sinergi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara berbagai kementerian dan lembaga yang terkait.
Kedua, tidak sesuai dengan realitas dan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia. Program ini terkesan mengabaikan keberagaman dan kekayaan nilai-nilai lokal yang sudah ada di masyarakat serta tidak memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan sikap masyarakat, seperti pendidikan, kesejahteraan, lingkungan, dan media.
Ketiga, tidak konsisten dan bertentangan dengan beberapa kebijakan dan tindakan pemerintah yang justru menurunkan kualitas demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial di Indonesia. Beberapa contoh penangkapan aktivis dan kritikus pemerintah, pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta penyalahgunaan hukum untuk kepentingan politik.
Politik gagasan yang digembar-gemborkan hampir 10 tahun itu berlanjut sampai kepemimpinan Jokowi untuk periode keduanya. Masih dengan spirit yang sama, Jokowi melanjutkan politik gagasan yang dibalut Nawacita meskipun pada tahun 2019 tidak lagi bersama Jusuf Kalla.
Alasan tidak berlanjutnya pasangan Jokowi-JK oleh karena konstitusi yang menyebutkan status presiden dan wakil presiden hanya bisa menjabat selama 2 kali periode. Sebelum berpasangan dengan Jokowi,terlebih dahulu JK pernah menjabat sebagai wakil presiden mendampingi SBY pada tahun 2004.
Kini, yang masih hangat menjadi pembahasan adalah soal adanya kemunduran demokrasi termasuk indikasi kecurangan Pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif oleh rezim Jokowi periode kedua. Terkait hal ini, ratusan Guru Besar di seluruh tanah air sudah menyampaikan pandangannya.
Mitos nawacita
Selain revolusi mental, program prioritas pembangunan yang digaungkan oleh Jokowi sejak awal kepemimpinannya adalah Nawacita. Bagi Jokowi, nawacita merupakan nyawa dari imajinasi pembangunan Indonesia sejak 2014. Nawacita yang berarti sembilan program prioritas ini merupakan komitmen untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, maju, dan bermartabat.
Dapat dikatakan, program nawacita ini merupakan program pembangunan yang ambisius dan kompleks. Adapun kesembilan program prioritas nawacita, antara lain:
- Membuat Indonesia Berdaulat secara Politik: Memperkuat kedaulatan maritim dan wilayah, serta meningkatkan peran Indonesia dalam forum internasional.
- Mandiri dalam Ekonomi: Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan mengoptimalkan potensi sumber daya alam dan manusia.
- Membangun Indonesia Berkepribadian dalam Kebudayaan: Memperkuat jati diri bangsa dan meningkatkan nilai-nilai budaya luhur bangsa.
- Mewujudkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia yang Tinggi: Meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
- Membangun Indonesia yang Kerja Keras: Meningkatkan etos kerja dan budaya disiplin.
- Membangun Indonesia yang Mandiri dan Berkelanjutan: Mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup.
- Memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia: Memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, serta menjaga keutuhan NKRI.
- Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN: Memberantas korupsi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.
- Memperkuat Demokrasi dan Mewujudkan Masyarakat yang Adil dan Makmur: Memperkuat demokrasi dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Jika kita runut dan mempelajari isi dari nawacita tersebut tentu saja hal prinsip seperti "negara hadir" menjadi sebuah keharusan. Soal kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan merupakan tekad bulat yang harus menjadi dasar laju pembangunan nasional. Namun, hal yang bias seperti poin 8 dan 9 sepertinya menjadi tantangan tersendiri untuk saat ini.
Bagaimana pemerintahan Jokowi harus bersungguh-sungguh untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN termasuk memperkuat demokrasi sepertinya sudah jauh panggang dari api. Kita lihat bagaimana pelaksanaan Pemilu 2024 kali ini lebih menggambarkan ambisi Jokowi untuk melanggengkan kekuasaannya.
Selain mengobok-obok konstitusi melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang mana Ketua MK saat itu adalah Prof. Dr. H. Anwar Usman yang merupakan ipar dari Jokowi meloloskan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden dengan syarat dibawah usia 40 tahun dan/atau berpengalaman sebagai kepala daerah.
Keterlibatan sosok Gibran yang turut menjadi peserta dalam Pemilu 2024 berpasangan dengan Prabowo Subianto menjadi tanda tanya besar. Kedua pasangan yang mana merupakan penjabat aktif itu semakin menunjukkan keberpihakan Jokowi untuk melanggengkan kekuasaannya.
Manakala, putra sulungnya Gibran yang saat ini masih aktif menjadi Walikota Solo dan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan maka tak heran jika masyarakat banyak beranggapan bahwa proses demokrasi Pemilu kali ini jauh dari prinsip demokratis dan sudah tidak berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah norma atau etika berpolitik.
Bahkan, sampai tulisan ini diterbitkan perolehan suara untuk pasangan Prabowo - Gibran berdasarkan hasil hitung cepat Komisi Pemilihan Umum (KPU) per hari ini sebesar 58,55%. Terlepas adanya kecurangan dalam penghitungan suara (masih terus berproses), Prabowo - Gibran sudah lebih unggul dari paslon lainnya.
Target Pemilu sekali putaran bisa saja akan menjadi kenyataan oleh karena telah melebihi dari 50% + 1 perolehan suara nasional. Melihat perkembangan situasi dan kondisi terkini, jelas bahwa apa yang hendak dilanjutkan oleh Jokowi dalam masa transisi kepemimpinan nasional ini hanyalah untuk kepentingan segelintir kelompok penguasa.
Potret buram kepemimpinan Jokowi saat ini bukan lagi seperti gerakan revolusi mental untuk kepentingan nasional. Sekali lagi, janji Esemka dan nawacita perlahan dikubur oleh Jokowi dan penerusnya yang sebenarnya masih berbau "nepotisme".
Lain dulu, lain sekarang. Selamat jalan revolusi mental.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H