[caption caption="ilustrasi (sumber: www.123rf.com)"][/caption]Hari ini para supir taksi konvensional kembali demo. Sayangnya demo mereka kali ini tidak tertib. Tuntutan mereka sepertinya hanya satu, yaitu menutup aplikasi tranportasi online. Kenapa begitu? karena pendapatan mereka menurun sejak aplikasi transportasi online hadir di Indonesia. Tidak hanya sesama transportasi roda empat, namun pendapatan mereka juga tergerus akibat hadirnya ojek online.
"Pendapatan sopir taksi turun. Tanya ke sopir-sopir taksi lain, jawabannya bisa sama semua. Sekarang dapat Rp 500.000 susah sekali," kata Suraji yang ditemui detikFinance di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (3/11/2015). -detik.com-
Terlihat Hari ini, ojek online juga menjadi sasaran beberapa supir taksi konvensional, dan sempat terjadi tawuran antara pengendara ojek online dan pada supir taksi konvensional yang sedang melakukan demo pada pemerintah.
Solusi sementara pemerintah
Beberapa hari kemaren, pemerintah mengeluarkan kebijakan dimana para supir "taksi" online disarankan masuk dalam koperasi. Tampaknya hal ini tidak begitu berpengaruh pada kepuasan taksi konvensional.
Begini, kalau dibuatkan koperasi, yang masuk koperasi itu adalah supirnya transportasi online tersebut, bukan perusahaan aplikasinya. Perusahaan aplikasinya mah gak peduli, karena mereka adalah perusahaan asing yang memiliki data center dan kantor tidak di Indonesia, tapi jangkauan akses nya bisa sampai Indonesia karena dampak perkembangan teknologi informasi alias jaringan internet.
Siapa yang tahu siapa saja supir online yang masuk koperasi atau tidak? toh data siapa-siapa saja para supir online itu disimpan pada data center perusahaan aplikasi yang tersebar di berbagai negara. Pemerintah tidak bisa masuk ke data center tersebut karena letaknya tidak di Indonesia. Sehingga masih akan ada kebebasan pada supir online, dimana mau masuk atau tidak pada koperasi, ya itu terserah para supir online itu. Lagian juga supir online dalam beroperasi bisa menggunakan mobil pribadi, dan tidak akan ketahuan apakah mereka supir online atau tidak. Mau dipancing secara manual, untuk menjebak mereka? hal seperti ini sudah sering dilakukan, namun toh mereka tidak takut. Malah saat ini kehadiran mereka semakin berkembang.
Bagaimana cara mengajak supir taksi online masuk koperasi? maka koperasi harus me marketing kan diri, kira-kira insentif apa yang diperoleh para supir online jika masuk koperasi.Â
Beberapa insentif dari koperasi jika supir online bersedia masuk koperasi:
"Nah, dengan badan hukum koperasi ini, para pengemudi pun sudah memiliki payung hukum. Mereka sudah bisa melakukan uji KIR melalui koperasi," ucap Puspayoga.
Di samping itu, kata Puspayoga, dengan berkoperasi maka para anggota koperasi PRRI sudah bisa menikmati berbagai kemudahan dari pemerintah, di antaranya fasilitas akses kredit usaha rakyat (KUR) dan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) KUMKM dengan suku bunga rendah.
"Kredit itu bisa untuk uang muka mobil, misalnya. Kredit Rp25 juta tidak perlu memakai agunan yang bisa dinikmati oleh anggota koperasi," tuturnya.
"Beberapa manfaatnya adalah kita menyiapkan asuransi jiwa untuk para pengemudi. Koperasi juga sudah memiliki pool bengkel untuk sekitar 300 unit mobil. Bahkan, nantinya, koperasi akan bekerja sama dengan bengkel lain dan ATPM dalam hal perawatan mobil para anggota koperasi," imbuh Ponco. -okezone.com-
Kalau ternyata insentif itu tidak menggiurkan para supir online, mereka pastinya tidak akan masuk ke koperasi. Tanpa masuk ke koperasi pun mereka masih bisa menerima order dari aplikasi. Toh perusahaan aplikasi dimana mereka menjadi anggota komunitasnya tidak ikut dalam koperasi. Bagaimana cara memaksa supir online masuk koperasi, apakah dalam aturan perkoperasian setiap orang bisa dipaksa menjadi anggota koperasi?Â
Bagi Pemerintah, permasalahan yang dialami adalah permasalahan perlindungan konsumen, serta permasalahan pajak. Namun bagi taksi konvensional permasalahan yang dialami adalah permasalahan turunnya pendapatan.Â
Bagaimana solusi yang lebih baik Untuk Pemerintah?
Dalam era algoritma alias era digital yang sudah mulai merasuki kehidupan masyrakat, dan dikatakan kemenkominfo sebagai keniscayaan, maka pemerintah pun harus menghadapinya dengan algoritma. Tidak bisa lagi  algoritma dihadapi dengan cara manual alias pakai tenaga manusia dengan cara jebak-jebakan seperti yang sering dilakukan instansi terkait. Bikin capek. Robot harus dihadapi dnegan robot. Mesin harus dihadapi dengan mesin. Digital harus dihadapi dengan digital. Permasalahan yang dialami pemerintah bisa diselesaikan asalkan pemerintah bersedia bermain di ranah data (algoritma data dan informasi). Kecuali pemerintah takut, maka tinggal diblokir saja, selesai urusan.
Hadirnya algoritma digital itu, jangan dilarang, tapi harus beradaptasi, karena mereka sangat memudahkan kerja manusia walaupun akan berdampak negatif pada pihak lain. Tapi ya begitulah cara kerja lingkaran kehidupan, yang pasti berubah, kadang di atas kadang harus di bawah. Bagi yang tidak bisa beradaptasi maka akan mati.Â
Begini, pada model bisnis berbasis aplikasi, pelaku bisa melakukan bisnis pada segala bentuk dan dari berbagai sudut bumi dengan bantuan teknologi informasi. Sayangnya, aplikasi yang mereka gunakan untuk berbisnis banyak yang menggunakan aplikasi asing yang kantor dan data centernya di luar negeri. Sehingga pemerintah tidak bisa meminta data siapa-siapa yang melakukan bisnis. Ketika Menkominfo mengajak mereka buka badan usaha tetap di Indonesia (BUT), apakah mereka mau? kalau toh ternyata mereka tidak mau bagaimana? apakah apakah aplikasi yang sangat membantu masyrakat Indonesia itu diblokir? Sampai sekrang belum dijawab secara gamblang oleh menterinya, menteri aja bingung jawabnya.
Solusi Pajak dan Perlindungan Konsumen
Oleh karena itu, kalau masih bermain menggunakan cara lama, menagih pajak orang per orang atau berbadan usaha secara manual atau mengharapkan kesadaran pebisnis, sudah tidak memungkinkan lagi, secara alami orang sebenarnya enggan membayar pajak kecuali kalau dipaksa. Apalagi dengan hadirnya kemudahan aplikasi bisnis online, mereka semakin gampang mengelak tidak membayar pajak. Apalagi aplikasi itu bermarkas di luar negeri yang datanya tidak bisa diminta permerintah. Mau nagih pajak kemana?
Begini, kalau yang bisnisnya berupa konten digital, maka aliran produk digital jualannya berpindah melalui jaringan maya alias internet, konten digital berpindah dari device digital produsen/distributor menuju device digital konsumen. Sedangkan bagi yang bisnisnya masih berupa barang fisik maka aliran produknya berpindah secara fisik melalui jalur logistik.
Untuk model bisnis yang menjual produk fisik tersebut, pemerintah bisa mendapatkan data dari perusahaan logistik siapa-siapa saja yang mengirimkan barang, dengan melihat pola transaksinya, apakah berpola sebagai pelaku bisnis atau ber pola konsumen rumah tangga? Dengan menggunakan algoritma digital dan integrasi informasi antara semua perusahaan logistik dengan instansi pemerintah terkait, serta dengan data kependudukan, maka dari pola itu pemerintah bisa tahu siapa yang mesti dikenai pajak dan bisa menagihnya. #SistemLogistik
Cara lain adalah dengan cara mencegat melalui transaksi keuangan di perbankan. Walaupun pelaku bisnis e-commerce alias bisnis online juga e-transportasi itu posisinya menyebar di seluruh dunia, tidak tahu siapa-siapa mereka, namun pasti pada akhirya mereka akan melakukan transaksi pembayaran serta mengarah pada sistem perbankan di setiap negara dimana transaksi itu berlangsung. Kalau transaksi nya dari Indonesia, pastinya sistem pembayarannya akan melalui sistem perbankan di Indonesia. Sebenarnya, pemerintah bisa memasukkan algoritma digital pada sistem perbankan di Indonesia, untuk mengetahui pola-pola transaksi perbankan setiap nasabah, apalah ber pola pebisnis atau berpola transkasi rumah tangga? Dari pola yang diperoleh maka pemerintah bisa tahu identitas yang bersangkutan,  serta melakukan verifikasi dan memotong transaksi perbankan yang bersangkutan sebagai pajak. Cara seperti ini dikenal dengan big data analysis. Cara ini harus dilakukan mesin, tidak bisa dilakukan oleh manusia karena akan capek dan perlu waktu sangat lama. #SistemPerbankan #SistemPembayaran #Pajak
Begitupun, untuk perushaaan aplikasinya, kalau mau menagih pajaknya, dan kalau ada kerugian pada konsumen di Indonesia, pemerintah bisa mencegat aliran dana yang mengalir dari konsumen Indonesia ke rekening perusahaan aplikasi tersebut. #pajak
Untuk permasalahan perlindungan konsumen, sebenarnya dari pola-pola informasi logistik dan informasi transaksi pembayaran, ditambah pengaduan dari konsumen, serta data penduduk setiap warga negara indonesia, dari sana saja sebenarnya pemerintah bisa melakukan penindakan pada pelaku bisnis yang merugikan konsumen. Untuk e-tranportasi atau supir online, bisa saja informasi itu juga diintegrasikan dengan integrasi sistem informasi pemerintah dengan pihak ATPM serta bengkel mobil seluruh Indonesia, untuk mengetahui kinerja dari masing-masing kendaraan masyarakat Indonesia. Toh dari syarat yang diperlakukan aplikasi transportasi online, mereka pasti membatasi umur kendaraan sebagai bentuk pelayanan pada konsumen, sehingga lebih gampang men tracking nya jika menggunakan sistem informasi yang terintegrasi antara polantas/samsat, ATPM, bengkel, pemerintah, data kependudukan, data perbankan, dll. #perlindungankonsumen
Solusi untuk taksi konvensional
Bagi permasalahan yang dialami taksi konvensional, yang pendapatannya menurun, barangkali mereka harus mengubah caranya melayani penumpang. Karena walaupun pemerintah memberlakukan algoritma pola informasi dan transaksi, sebagai cara untuk menarik pajak dan melindungi konsumen, tidak secara otomatis pendapatan taksi konvensional itu bakalan naik. Dan mungkin akan semakin turun dan kembali demo.
Kenapa? Karena yang perusahan besar itu hadapi adalah perusahaan mikro alias bisnis orang per orangan, bukan pebisnis besar seperti perusahaan taksi konvensional. Biaya yang ditanggung oleh pengusaha mikro dan perusahaan taksi konvensional besar sangat jauh berbeda, walaupun keduanya harus dikenai pajak. Pajak Antara perorangan atau skala mikro, dan pajak perusahaan besar memiiki perbedaan besar.Â
Tarok lah supir online itu bayar pajak, tp mereka tidak ada karyawan, tidak ada biaya marketing, tidak ada bayar sewa kantor, biaya operasional dan admistrasi perusahaan lainnya, dll layaknya biaya yang harus dikeluarkan perusahaan besar. Pengusaha mikro alias supir online hanya keluar biaya bensin dan pajak.Â
Mengenai uji KIR, apa dikira mobil pribadi itu tidak uji KIR? mereka melakukannya juga dengan cara merawat mobilnya ke bengkel-bengkel. Malahan mungkin saja mereka lebih telaten merawat mobilnya sendiri karena toh itu mobil pribadi bukan mobil perusahaan, dimana untuk merawat kendaraan itu pun mereka keluar biaya juga. #kinerjamobil
Selain itu, orang lebih hati-hati dan sayang pada saat mengendarai mobil pribadinya sendiri daripada mengendarai mobil perusahaan. Kalau ada lubang, orang yang mengendarai mobilnya sendiri lebih hati-hati daripada ketika dia mengendarai mobil orang lain (apalagi mobil perusahaan). #prilakusupir
Supir transportasi online pun dikasih bintang sebagai ukuran kinerja layanannya, sehingga tidak perlu biaya marketing untuk menarik pelanggan. Berbeda dengan taksi online, taksi konvensional me marketing kan perusahaannya bukan orang per orang pengemudinya, sehingga jika satu supir ber prilaku jelek maka yang jelek adalah nama perusahaannya, orang untuk sementara tidak mau naik taksi itu, sehingga perlu biaya marketing lebih besar lagi untuk menarik konsumen kembali. Â #biayamarketing
Mengenai tarif, itu adalah persoalan model bisnis, secara garis besar pemerintah tidak bisa ikut campur. Namun alangkah baiknya pemerintah membebaskan tarif bagi pebisnis taksi konvensional. Biarkan mereka bertarung habis-habisan dan berdarah-darah di perang tarif seperrti yang pernah terjadi pada operator telekomunikasi. Biar alam yang menentukan, siapa yang bertahan dan siapa yang bakalan mati. Karena dengan membebaskan tarif maka taksi konvensional pasti tidak akan mampu menaikkan tarif. Dan itu pasti akan menyenangkan masyarakat. #perangtarif
Tanpa mau mengubah diri menuju pelayanan yang bagus, pastinya taksi konvensional masih tidak akan mampu menaikkan pendapatannya dan akan semakin tergerus. Kenapa? karena lagi-lagi biaya yang mereka tanggung sama besarnya, dikala mereka harus bertarung di perang tarif, yang ada malahan perusahaan taksi konvensional akan semakin rugi. Sedangkan bagi supir online pastinya akan santai-santai saja, karena biaya yang mereka keluarkan sangatlah kecil, walaupun mereka harus bayar pajak sekalipun, karena supir online itu bisa dikategorikan sebagai pengusaha mikro.
Dalam perang tarif, sebaiknya hitungan argometer taksi konvensional  harus berbasis jarak sesuai GPS, tidak lagi ada argo tetap jalan walaupun kondisi mobil berhenti. Sebagaimana yang diberlakukan aplikasi transportasi online, mereka memberlakukan tarif per km sesuai jarak berbasis GPS dan besaran tarifnya pun diperlihatkan di awal, mau macet atau harus melalui jalur memutar-mutar, bayaran pada transprotasi online tetap sama sesuai dengan tarif yang diperlihatkan di awal. Apakah taksi konvensional mau menerapkan model seperti itu? Apakah berat, karena lagi-lagi mereka harus menanggung biaya operasional perusahaan ini itu di luar pajak. #tarifjalan
Jadi apapun solusinya, apakah itu harus bayar pajak, selama aplikasi online itu tidak ditutup pemerintah, kl tidak mau berubah maka taksi konvensional lama-lama akan tinggal nama saja. Maka lebih baik berubah lah. Ubah lah model bisnisnya. Karena yang dihadapi adalah pengusaha mikro dengan biaya skala mikro namun mendapatkan sumber daya layaknya perusahaan besar. Â Â Â Â Â Â Â
   Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H