Catatan tersebut adalah kenangan masa lalu yang telah berubah. Kini para peserta kontestasi politik diberi ruang yang lebih rasional untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat, baik melalui ajang uji publik yang dilaksanakan oleh kampus dan ajang debat calon kepala daerah yang dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebanyak tiga kali, serta dapat ditonton berulang kali melalui platform youtube.
 Mekanisme uji publik dan debat para calon kepala daerah itu tentunya telah membuat mekanisme pengenalan para calon kepala daerah kepada publik menjadi jauh lebih rasional dan intelektual. Tidak perlu biaya besar sewa panggung, sewa artis, pengerahan massa untuk arak-arakan di jalanan yang berpotensi mengganggu kelancaran arus lalu lintas.
Adanya mekanisme debat ini setidaknya "memaksa" para calon kepala daerah untuk memiliki pengetahuan dan pemahaman memadai tentang permasalahan daerah yang harus mereka pimpin pemecahannya bersama para pemangku kepentingan, apabila nanti mendapatkan mandat selaku kepala daerah. Dari sejumlah ajang debat tersebut baik calon gubernur, bupati, walikota, selalu ada hal-hal yang menarik.
Ada calon gubernur yang seharusnya fokus membicarakan apa yang akan dikerjakan bila mendapatkan mandat, justru sibuk mengangkat isu COVID. Padahal, di masa pandemi, calon itu juga menduduk dalam lembaga pemerintahan, sehingga logikanya berada dalam satu gerbong besar pemerintahan yang ada saat itu.Â
Pada ajang debat calon gubernur di daerah lain, ada pula calon wakil gubernurnya yang justru lebih mendominasi perdebatan dengan mempromosikan pengalamannya ketika menjadi kepala daerah di tingkat kabupaten yang kebetulan memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terbesar di provinsi tersebut.
Uniknya, hal-hal yang dipromosikan tidaklah menjelaskan pendalaman atas visi dan misi serta tema debat, melainkan pengalaman yang dimilikinya sebagai kepala daerah tingkat kabupaten. Nampaknya pengalaman itu diyakini akan menjadi modal besar untuk mengatasi permasalahan pembangunan pada skala yang lebih luas, tingkat provinsi.Â
Idealnya pengalaman yang dapat disampaikan misalnya keberhasilan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, penanganan masalah lingkungan dan sampah, peningkatan kualitas aksesibilitas antar wilayah, terobosan-terobosan baru untuk mengurangi kemacetan, akuntabilitas layanan perijinan dan investasi, praktik-praktik baik dalam memperluas lapangan pekerjaan dan pengalaman-pengalaman praktik baik lainnya yang merupakan bentuk pelaksanaan layanan urusan wajib maupun urusan pilihan dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sayang sekali, kandidat tersebut justru nampak lebih "bangga" memamerkan praktek pembagian hibah dan bantuan sosial (bansos) ke kabupaten lainnya, kepada instansi vertikal yang ada di daerah, bahkan juga hingga ke luar daerah provinsi, yang bila ditelusuri lebih dalam cukup sulit mencari kaitannya dengan pencapaian target-target RPJMD, sebagai sebuah produk hukum daerah yang menjadi pedoman sekaligus "buku raport" seorang kepala daerah saat menjalankan tugas-tugasnya selama lima tahun.Â
Justifikasi yang diberikan untuk praktek bagi-bagi hibah dan bansos selama bertahun-tahun tersebut adalah pemerataan pembangunan. Justifikasi dan logika pemerataan pembangunan tersebut jelas amat dipaksakan untuk dapat menjadi sesuatu kebijakan yang logis, ketika bentuk hibah dan bansos tidak menimbulkan dampak sosial ekonomi dalam jangka panjang bagi masyarakat penerima.
Logika pemerataan pembangunan menjadi logis, rasional dan terjustifikasi apabila bentuk hibah dan bansos yang diberikan berorientasi dampak sosial ekonomi jangka panjang seperti infrastruktur jalan, jembatan, jaringan irigasi pertanian, jaringan air bersih, embung, bangunan sekolah baik rehab atau bangunan baru, rehab atau bangunan baru puskesmas dan alat-alat kesehatan bahkan rumah sakit, bangunan gedung pasar rakyat, sarana prasarana penanganan kebencanaan, konservasi wilayah hutan sebagai daerah resapan air, pembangunan pusat kelatihan ekonomi kreatif dan pengetahuan tradisional dan lainnya.