SEBAGAI Food Blogger kecuali sering icip-icip makanan dan minuman beraneka rupa, dalam menuliskannya tentu sangat butuh foto-foto obyek makanannya. Bukan sekedar foto pelengkap namun justru foto ini menjadi utama kala menuangkan dalam blog kulinernya. Di sini food blogger sekaligus memposisikan sebagai foodphotographer. Tentu saja gak identik. Ada porsi masing-masing, antara konten teks dan foto.
Foto-foto makanan menyajikan bentuk dan rupa asli dari makanan. Pembacanya bisa melihat sendiri rupa makanannya. Ini bahkan terkadang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Cieeeh. Yaa beneran. Ini menurut saya siih.
Foto makanan itu sudah pasti wajib saat posting tulisan kuliner. Bagus lagi yaaa ada videonya. Naskah, teks, narasi, caption, dan elemen pendukung lainnya menjadi titik penguat yang bersifat menjelaskan obyek makanan/ kuliner lebih gamblang.
Posting kuliner tentu diharapkan adalah memberikan informasi benar, untuk bisa mempengaruhi pembacanya ‘keluar’ dari konsep yang ada di pikirannya tentang obyek makanan.
Dari kondisi tidak mengetahui soal cita rasa dan seluk beluk obyek, hingga ‘mempengaruhi’ tentang obyek, jika pembaca sudah mengenal tentang obyek. Dan itu sangat terbantu dari penampilan foto-foto dalam postingan. Foto-foto makanan yang ciamik dan mempesona, dan bisa bikin ‘lapar mata’ jatuh ke ‘lapar perut’.
Ada orang bilang, soal selera itu tak bisa diperdebatkan. Yaa, namanya juga selera makanan, jika memang di lidah, hati dan perasaan tak enak menurutnya, yaa jelas tak enak. Demikian pula sebaliknya. Menurutku enak di lidah, hati dan perasaan yaaa tetap enak. Dengan kata lain, setiap orang mempunyai preference yang berbeda terhadap suatu makanan.
Misalnya saja saat review tentang makanan jengkol. Yaa, jengkol seperti yang beberapa waktu lalu aku menuliskannya. Tau khan menu jengkol itu agak ‘kontroversial’, dalam arti ada yang bilang enak dan bikin nagih. Ada yang sebaliknya bilang, “Gak enak, gak enak banget malah.” Maka muncullah istilah penikmat/ penggila jengkol dan juga pembenci jengkol. Yaaa mirip-mirip hater dan lover getulah laah kira-kira hehee.
Nah aku sebagai food blogger yang lovers jengkol, tentu dituntut apa adanya dalam menggali informasi dari narsum dan dituangkan dalam tulisan. Bagaimana cita rasa jengkol menurut pengalaman pribadi lover dan narsum yang lover juga, misalnya.
Ini ‘pekerjaan’ berat, pasalnya haters jengkol sudah pasti di benaknya sudah punya konsep ‘jengkol itu seram’. Tak obyektif duluan. Di sinilah perlunya kita menyadari bahwa pegang kendali atas peran posisi sebagai food blogger sekaligus food photographer menjadi signifikan dan penting banget.
Lalu bagaimana jika makanan yang kita foto itu benar-benar gak enak?
Lebih ke selera umum sih yaa. Taruhlah misalnya makanannya keasinan, kepedasan, terlalu asem, ‘cemplang’ kalau orang Jawa bilang untuk menyebut racikan bumbunya tak ‘maching’. “Gak karuan” getu kira-kira. Pokoknya gak enak secara dasar. Artinya gak cocok dengan selera orang kebanyakan.
Apa yaa contohnya? Makanan ekstrem, mungkin seperti itu. Makanan ekstrem yang disajikan untuk lidah-lidah normal konsumennya. Makanan ekstrem di sini artinya lebih ke makanan yang mengandung cita rasa aneh, yang juga dari bahan dasar yang sudah aneh.
Food Blogger dan Food Photographer
Nah bagaimana kita sebagai food blogger/ food photographer memposisikan yaa, saat menemui makanan yang gak enak menurut kita, dan gak enak yang benar-benar gak enak. Sementara kita dituntut untuk memotret/ mereview makanan yang dimaksud. Mengetahui posisi posisi yang sebenarnya, menuntut kita harus memegang kendali saat menuliskan/ memotret makanan untuk review.
Aku bilang sih mesti dipahami dulu bahwa foodblogger saat memposisikan diri sebagai foodphotographer jelas punya tugas utama. Tugasnya adalah membuat foto obyek keliatan menarik. Bagaimana obyek sedemikian rupa bisa dikemas dalam frame yang membuat orang ‘ngiler’ atau berselera saat melihat foto.
Sementara dalam posisi sebagai food blogger, lekat dengan soal konten resep, cita rasa makanan yang dituangkan dalam format penulisan, misalnya review. Bagaimana mengemas resep-resep makanan bisa mudah dipahami dan dipraktikkan nantinya oleh pembaca yang tertarik. Atau bisa dipahami tentang cita rasa sebuah makanan untuk dapat memberikan opini yang kemungkinan membuat pembaca memiliki khasanah pertimbangan jika ingin menikmati makanan yang sama.
Opini atau review yang jujur menjadi penting. Pasalnya jika opini kita tidak jujur, misalnya mengatakan makanan gak enak, tetap enak, pembaca bisa tidak akan percaya lagi. Padahal unsur kepercayaan ini penting, agar pembaca tetap mau membaca review/ tulisan kita seterusnya.
Lalu bagaimana kita bersikap, saat foto-foto harus cantik sementara kita tahu makanannya gak enak (rasa)?
Kejujuran memegang peranan penting, untuk menjaga kepercayaan orang/ pembaca. Sekali pembaca merasa ditipu sulit untuk memulihkan kepercayaan pada tulisan/ review kita. Dari sisi foto, kembali kepada tuntutan foodphotographer untuk menciptakan foto-foto kuliner yang bagus, tentu kita tak bisa menyimpang dari ini.
Bagiku posisi foodphotographer menyulap tampilan makanan semenawan mungkin harus tetap dilakukan. Buat foto tetap menarik. Cerita-cerita tak sedap dibalik makanan tersebut, tetap bisa disampaikan melalui teks konten/ caption. Kejujuran tentang makanan itu bisa disampaikan dengan bahasa yang elegan. Kecuali menghargai dari pembuat/ pemilik makanan juga menghargai orang-orang di luar sana yang kemungkinan menyukai makanan itu.
Biasa dibilang dengan bahasa halus, misalnya, “Makanannya akan lebih baik kalau rasanya dibikin tak terlalu pedas.” Atau bisa juga bilang, “Cita rasa makanannya enak tapi bukan selera saya.” Dan bisa dengan aneka kalimat lainnya.
Seperti semangat yang digemakan Danamon, dengan inspirasi “saatnya pegang kendali,”food blogger tetap memposisikan sebagai foodphotographersesuai perannya. Dimanafoto-foto yang dihasilkantetap membingkai makanan dalam karya foto yang menarik. Jika ini tercapai, boleh dikatakan foto itu berhasil.
Foto yang sukses membuat orang-orang yang melihatnya ‘berselera’ dan termotivasi ingin mencicipi dan menikmatinya. Bagiku itulah ‘tugas’ food blogger dalam peran sebagai food photographer. Dimana pada titik ini saatnya pegang kendali sebagai food photographer yang menghasilkan karya foto-foto kuliner yang tetap menarik, apa pun cerita dibaliknya.
@bozzmadyang
*Foto-foto makanan di atas, tidak ada hubungannya dengan enak dan gak enak makanan. Sekadar ilustrasi pelengkap artikel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H