Mohon tunggu...
Politik

Turut Prihatin, Ternyata Hukum di Indonesia Masih Tumpul dan Keadilan Entah Pergi Kemana

16 Juni 2016   00:00 Diperbarui: 16 Juni 2016   14:18 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

H10 Bulan Ramadhan...

Malam pemirsaa...

Jumpa lagi dengan Bocah Tua Nakal...

Whehehe...

Kemana Lagi Rakyat Harus Mencari Keadilan, Jika Para Penegak Hukum Justru Menjadi Mafia Hukum, Makelar kasus dan Mafia Peradilan?

Hari ini bathin Bocah terhentak saat membaca berita di kompas. Berita tersebut mengingatkan akan kejadian beberapa waktu lalu, yang menghebohkan dunia dan akhirat, yaitu pemberitaan ditangkapnya pengacara ‘gaek’ Otto Cornelius (OC) Kaligis atas dugaan kasus suap terhadap Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan. Ditangkapnya OC Kaligis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada pertengahan Juli 2015 ini menambah daftar panjang jajaran pengacara yang terlibat dalam kasus korupsi.

Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch, OC Kaligis menjadi pengacara ke-10 yang dijerat undang-undang tindak pidana korupsi dari tahun 2005-2015.

1. Tengku Syaifuddin Popon (2005).

Pengacara pertama yang menjadi tersangka kasus korupsi yaitu Tengku Syaifuddin Popon pada tahun 2005. Tengku terbukti menyuap pegawai Pengadilan Tinggi Tipikor sebesar Rp 250 juta terkait dengan kasus yang sedang ditanganinya.

Saat itu, Tengku tengah menangani kasus korupsi yang melibatkan mantan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh. Atas perbuatannya, Tengku divonis 2 tahun dan 8 bulan penjara.

2. Harini Wijoso (2005).

Kemudian, pada tahun yang sama, pengacara kedua yang jadi terpidana kasus korupsi adalah Harini Wijoso. Harini terbukti menyuap pegawai Mahkamah Agung dan hakim agung terkait dengan kasus yang melibatkan pengusaha Probosutedjo.

Harini pun divonis bersalah dengan hukuman 3 tiga tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

3. Manatap Ambarita (2008).

Pengacara ketiga yang terjerat korupsi yaitu Manatap Ambarita pada tahun 2008. Ia terbukti menghalang-halangi proses pemeriksaan yang dilakukan oleh kejaksaan terhadap tersangka korupsi penyalahgunaan sisa anggaran tahun 2005 pada Dinas Kimpraswil Kabupaten Kepulauan Mentawai, Afner Ambarita.

Kemudian, Pengadilan Negeri Padang menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara. Pada tahun 2010, MA menjatuhkan vonis 3 tahun penjara. Namun, pada tahun 2012, Manatap masuk daftar pencarian orang hilang.

Hingga saat ini, statusnya masih buronan Kejaksaan Negeri Mentawai dan perkembangan kasusnya tidak jelas hingga saat ini.

4. Adner Sirait (2010).

Menyuap Ibrahim, Hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta terkait perkara sengketa tanah seluas 9,9 hektar di Cengkareng, Jakarta Barat, melawan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Divonis Pengadilan Tipikor 4 tahun 6 bulan dan denda Rp150 juta.

5. Lambertus Palang Ama (2010).

Pengacara Lambertus Palang Ama diduga terlibat dalam kasus mafia pajak dengan terpidana Gayus Halomoan Tambunan pada tahun 2010.

Lambertus terbukti membantu merekayasa asal-usul uang Rp 28 miliar milik Gayus. Uang itu diblokir penyidik Bareskrim Polri lantaran diduga hasil tindak pidana saat bekerja di Direktorat Jenderal Pajak.

Lambertus divonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 3 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta.

6. Haposan Hutagalung (2011).

Pengacara yang terlibat dalam kasus korupsi Gayus tak hanya Lambertus. Haposan Hutagalung terjerat dalam kasus mafia pajak dan suap kepada pejabat di Bareskrim Polri. Ia kemudian divonis MA 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta.

7. Mario C Bernardo (2013).

Lebih lanjut, pengacara Mario C Bernardo terlibat kasus suap berkaitan dengan kasus yang tengah berada di tingkat kasasi. Ia ditangkap KPK setelah menyerahkan uang kepada pegawai MA, Djody Supratman.

Divonis Pengadilan Tipikor Jakarta dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 200 juta.

8. Susi Tur Andayani (2014).

Dalam kasus yang menjerat Gubernur nonaktif Banten Atut Chosiyah, KPK menjerat pengacara Susi Tur Andayani. Susi diduga menjadi perantara suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dalam sejumlah sengketa pilkada.

Susi divonis 5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun, melalui putusan kasasi, vonisnya diperberat menjadi 7 tahun penjara.

9. M. Yagari Bhastara Guntur (2015).

Pengacara yang sering dipanggil Gerry ini didakwa ikut menyuap tiga orang hakim PTUN Medan yaitu Tripeni Irianto Putro selaku ketua majelis hakim sebesar 5 ribu dolar Singapura dan 15 ribu dolar AS, dua anggota majelis hakim yaitu Dermawan Ginting dan Amir Fauzi masing-masing 5 ribu dolar AS serta panitera PTUN Medan Syamsir Yusfan sebesar 2 ribu dolar AS sehingga totalnya 27 ribu dolar AS dan 5 ribu dolar Singapura.

Divonis di Pengadilan Tipikor Jakarta dengan penjara selama 2 tahun penjara dan denda Rp. 150 juta.

10. OC Kaligis (2015).

Sama seperti Gerry, OC Kaligis juga terlibat dalam suap kepada hakim dan panitera PTUN Medan. Divonis di Pengadilan Tipikor Jakarta dengan penjara selama 5,5 tahun penjara dan denda Rp. 300 juta. Namun di Pengadilan Tinggi Jakarta, hukuman dinaikkan menjadi 7 tahun penjara dan denda Rp. 300 juta.

Nah, ditahun 2016 ini, bertambah lagi jumlah pengacara yang di tangkap KPK.

11. Awang Lazuardi Embat (2016)

Awang Lazuardi Embat yang merupakan pengacara perusahaan PT Citra Gading Asritama yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Hotel Atria Gading Serpong, Tangerang, bersama Andri Tristianto Sutrisna, Kepala Sub Direktorat Kasasi dan Perdata Khusus Mahkamah Agung, serta Ichsan Suaidi, Direktur PT. Citra Gading Asritama yang merupakan klien dari Awang. Hingga saat ini Jaksa Penuntut Umum KPK masih tetap memohon Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman empat tahun penjara.

12. Unknown (2016).

Satu orang panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan satu orang pengacara tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) Tim Satgas KPK hari ini (15/6/2016).

"Jadi, ya memang ada operasi tangkap tangan, yang ditangkap salah satu panitera dan satu pengacara," ujar Ketua KPK Agus Raharjo saat ditemui di Gedung KPK, Jakarta, Rabu.

Dalam operasi tersebut, KPK juga menyita uang sebesar Rp 350 juta. Uang tersebut diduga masih berkaitan dengan perkara yang saat ini prosesnya tengah berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Menurut sassus (desas desus), kasus ini ada kaitannya dengan kasus pedangdut Saipul Jamil yang juga disidangkan di PN Jakarta Utara.

Hok hok hok...

Whua, teman-teman, kondisi hukum di Indonesia ternyata sangat memprihatinkan. Tidak hanya hakim, jaksa dan polisi, selaku penegak hukum yang terlibat kasus korupsi, tetapi juga pengacara sebagai penasehat hukum terlibat korupsi.

Apakah memang benar hukum dan keadilan telah menjadi barang mahal di negeri ini?

Secara implisit “hukum dan keadilan” saat ini telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Keadilan dan kepastian hukum seolah-olah tidak bisa diberikan secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya. Di negeri ini, law enforcement atau penegakan hukum diibaratkan bagai menegakkan benang basah dengan kata lain “sulit bin susah untuk diharapkan”.

Belum lagi adanya mafia hukum (1), makelar kasus (2) dan  (3) yang seolah-olah bersinergi dalam rangka memperjualbelikan keadilan.

Dan tentu saja tidak ketinggalan, "Budaya Korupsi".

Ibaratnya, hukum di Indonesia itu seperti orang jatuh, tertimpa tangga, trus diledikin sama tetangga.

Sakitnya tuhh di siniii...

Hikz... hikz...

Nampaknya menegakkan hukum di Indonesia hanyalah sebuah retorika yang berisi sloganitas dan pidato-pidato kosong.



Namun demikian, saudara-saudara sekalian!!

Kita tidak boleh menyerah!!

Penegakan hukum tetap harus diperjuangkan!!

Meskipun sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia memprihatinkan, tetapi hal tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk kita bersikap pesimis.

Apapun langkah-langkah yang akan dilakukan pemerintah untuk memperbaiki hukum di indoneisa, dibutuhkan komitmen dari pemimpin negeri ini pada khususnya dan rakyat pada umumnya. 

Harapan Bocah, teman-teman di kompasiana turut aktif dalam memperbaiki penegakan hukum kita. Sebab apabila tidak ada komitmen dan tekad bersama dari semua pihak, tentu penegakan hukum yang baik hanya akan ada di Republik Mimpi.

(1). Mafia Hukum adalah semua tindakan oleh perorangan atau kelompok yang terencana untuk kepentingan tertentu yang mempengaruhi penegak hukum dan pejabat publik yang menyimpang dari ketentuan hukum yang ada.

(2) Makelar Kasus adalah tindakan oleh perorangan atau kelompok yang mencoba dan berupaya mempengaruhi Penegak Hukum yang sedang menangani suatu kasus, sehingga proses hukum menguntungkan orang-orang tertentu dengan memberi suap berupa imbalan tertentu, sehingga perbuatannya sangat merugikan mereka pencari keadilan yang seharusnya menerima keadilan itu, atau mengorbankan orang yang tidak bersalah sebagai tumbal hukum. Markus pada prinsipnya biasa dilakukan oleh orang yang bukan penegak hukum, yang mendaku mempunyai hubungan baik dan memiliki akses dengan Pejabat yang sedang menangani kasus tertentu dengan janji-janji, sbb :

  1. Dapat mengeluarkan tersangka dari tahanan ;
  2. Dapat meredam perkaranya tidak sampai ke Pengadilan ;
  3. Dapat mengkondisi dari pasal yang dijerat yang seharusnya berat dibuat ke pasal ringan yang disangkakan kepada tersangka ;
  4. Mensplit perkara kemudian dibebaskan dari pintu belakang ;
  5. Meringankan tuntutan (requisitoir) ;
  6. Meringankan putusan ;
  7. Kalau terlanjur ditahan dan harus ke Pengadilan, maka mengkondisi BAP dan saksi agar tidak terbukti, dan dapat dituntut bebas ;
  8. Mengupayakankan fasilitas khusus di RUTAN ; Dll.

Pada umumnya “markus” juga bisa dilakukan oleh Penegak Hukum itu sendiri, baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara menggunakan orang lain sebagai perantara yang diciptakannya sendiri.


(3) Mafia Peradilan lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik, dimana system dan budaya penegakan hukum yang dijalankan oleh para Penegak Hukum, memberikan peluang untuk diselewengkan, dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan, tergantung siapa yang memesannya. Hukum dan keadilan dapat dibeli oleh mereka orang-orang berduit, sehingga ia menjadi barang mahal di negeri ini.

So Teman-teman,
Inga... inga... Tinggg...
Sebagai Warga Kampung Kompasioner, kita harus:
- Selalu Bersyukur...
- Tetap Semangat...
- Terus Berdoa...
- Daaannn Keep Smiling :)...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun