“ Tapi katong buat bagaimana kawan? Jakarta itu jauh,katong mau pake apa ke sana? Terus bagaimana dengan sapi-sapi yang begini banyak ini?” Jose bertanya pada Lukas.
“ Ya itu sudah. Itu yang menjadi masalahnya. Di Jakarta dong angkut sapi dari Australia,kenapa tidak angkut dari katong saja e? Mungkin katong bisa bantu mereka mengatasi mahalnya sapi. Tapi pemerintah yang di Jakarta tidak bisa lihat katong pu hidup di sini. Sedih e,pung para lai. Pantasan masih ada juga daging sapi yang dong jual campur dengan daging ayam. Mungkin dong punya mau seperti itu.”
“ Iya. Dong lebih suka pedagan dong jual Sapi Ras (a) Ayam.” Tandas Jose seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Nada putus asa berhembus lewat getar deru nafas dari dalam dada. Pemandang indah bentangan safana yang hijau di depan mata serasa jadi gersang,kering dan layu. Udara sejuk yang mengipas-ngipas pelan dari balik bukit pun tak mampu membuainya tuk kembali menghayal dan bermimpi.
***
Keterangan:
Sonde : tidak
Beta : Saya
Lu : Anda/engkau/kau
Katong : Kami/kita
Pung : punya
Dong : mereka
Cerita pendek ini berlatar di suatu tempat,di daerah Pegunungan Mutis, Kabupaten Timur Tenga Selatan (TTS) – Provinsi NTT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H