Mohon tunggu...
Kornelis Joh. Don Bosko Beding
Kornelis Joh. Don Bosko Beding Mohon Tunggu... Mahasiswa - Gunakanlah tawamu dengan benar, jangan menertawai hal-hal yang tidak benar

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sapi Ras (a) Ayam

28 Juni 2016   22:10 Diperbarui: 28 Juni 2016   22:20 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

  

         Sekawanan sapi sibuk bercanda dengan beberapa ekor jalak yang mematuk matuk di pundaknya. Tergambar jelas lekuk tulang punggungnya menggelombang seperti barisan bukit yang memeleh cahaya mentari yang menyingsing di baliknya. Semerbak bauh tanah mengendus di cela-cela rerumputan yang tumbuh segar setelah semalaman di guyur hujan. Tak ada debuh yang berterbangan seperti biasanya,kala musim kering hebat mengarungi medio July hingga September. Gugusan awan putih tipis berarak pelan menumpuk pada segumpalan awan hitam di puncak Mutis yang tak terlihat lagi. Pada sebatang pohon Pahlawan yang tumbuh kokoh nan rindang,Lukas duduk bersandar merenung memandang bentangan padang rumput yang tumbuh subur. Di tangannya ada sebatang rokok dari lintingan daun Lontar dan tembakau kasar yang dipanennya dari pohon-pohon tembakau yang tumbuh di sekeliling pekarangan rumahnya.

“ Woi Lukas,Lu ni kenapa diam saja. Mengelamun apa Lukas?”

 Tiba-tiba saja seorang pria seumuran Lukas menghampirinya sambil menepuk pundaknya. Jose namanya. Jose adalah sahabat karib Lukas. Keduanya adalah penggembala sapi yang diwariskan oleh ayah mereka.

“ Ah Jose,Beta sementara menghayal mau jadi saudagar kaya ni kawan.” Jawab Lukas sambil melirik ke segerombolan sapi miliknya.

 “ Aduh Lukas. Jangan mimpi kawan. Katong pilihara sapi ini palingan nanti habis juga buat katong sendiri. Kalau seandainya bisa jadi kaya nah besong semua sekarang sonde ada di tempat ini lagi toh kawan. Hehehe.”

“ Eh Jose,Beta dengar ada yang mau angkat Lu punya sapi ko? Berapa ekor Jose?” Lukas menyela pembicaraan.

“ Dua Puluh ekor kawan. Beta punya kandang sapi langsung sepi kawan.” Jawab Jose dengan nada sedikit menggerutu.

“ Bagus toh kawan. Lu untung banyak e kawan. Bagi-bagi dulu toh rezekinya. Hehehe” Lukas tertawa sedikit menggoda sahabatnya Jose yang mengkeruti dahinya.

“ Ah sonde bisa kawan. Sapi-sapi yang Beta pilihara itu kemarin diambil buat belis Beta punya saudara kawan. Gratis.”

Keduanya terhening. Sementara sepoi-sepoi angin menyapu pelan dedeunan kering pada pohon pahlawan hingga berguguran jatuh ke tanah satu per satu. Tampak langit di atas kepala mereka telah menjadi gelap dan gerimis kecil mulai berjatuhan dari langit. Di hadapan mereka bianglala membujur melengkung di kaki barisan bukit-bukit yang mulai kabur dipandang mata. Sungguh pemandangan indah dipertontonkan alam yang elok permai di pagi itu.

“ Itu sudah kawan. Katong pelihara sapi banyak-banyak juga sonde ada ada gunanya kawan. Paling habis juga di adat dan belis apalagi katong dua ini laki-laki.” Lukas mencoba mengarahkan pikirannya seperti yang dipikirkan Jose.

“ Jadi lu jangan menghayal toh kawan jadi orang kaya. Katong pu nasib begini saja. Punya bapak peternak sapi,nah katong dua? Sama saja toh.”

“ Aduh kawan,itu yang lu salah kawan. Orang bilang hidup itu perlu bermimpi. Semua itu berawal dari mimpi,kalo mau sukses harus berani bermimpi. Tapi juga harus berjuang untuk kejar katong  punya mimpi.”

“ Ah Lukas,lu sudah jadi orang bijak ni ko? Hahahah.” Jose menyelah pembicaraan Lukas dan tertawa menatap temannya yang memasang wajah serius.

Lukas yang mendengar kelakarnya Jose akhirnya ikut tersenyum. Sebuah senyum terbungkus dengan mata menatap sayu pada wajah Jose yang juga tersenyum.

“ Tadi malam lu nonton TV atau sonde?” Lukas bertanya pada sahabatnya itu

“ Sonde kawan,beta punya generator habis solar kawan. Tadi malam hanya bisa tidur.”

“ Beta heran dengan orang-orang di Jakarta kawan. Dong di Jakarta ada mengeluh minta ampun kalau harga daging sapi terlalu mahal. Bayangkan saja,satu kilo harganya sampai Rp.120.000.”

“ Terus masalahnya buat kita apa Lukas?”

“ Oh jelas e. Coba lihat katong punya diri dan pekerjaan katong punya sekarang. Katong punya sapi banyak,kenapa katong tidak jual saja ke mereka?”

Wajah Jose yang dari tadi tampak kebingungan berangsur mulai terlihat mengerti maksud dari Lukas. Beberapa kali dia terlihat mengangguk anggukan kepalanya. Bola matanya juga kerap kali memojok ke sudut kanan atas lingkaran mata,mungkin sedang memikirkan sesuatu.

“ Tapi katong buat bagaimana kawan? Jakarta itu jauh,katong mau pake apa ke sana? Terus bagaimana dengan sapi-sapi yang begini banyak ini?” Jose bertanya pada Lukas.

“ Ya itu sudah. Itu yang menjadi masalahnya. Di Jakarta dong angkut sapi dari Australia,kenapa tidak angkut dari katong saja e? Mungkin katong bisa bantu mereka mengatasi mahalnya sapi. Tapi pemerintah yang di Jakarta tidak bisa lihat katong pu hidup di sini. Sedih e,pung para lai. Pantasan masih ada juga daging sapi yang dong jual campur dengan daging ayam. Mungkin dong punya mau seperti itu.”

“ Iya. Dong lebih suka pedagan dong jual Sapi Ras (a) Ayam.” Tandas Jose seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Nada putus asa berhembus lewat getar deru nafas dari dalam dada. Pemandang indah bentangan safana yang hijau di depan mata serasa jadi gersang,kering dan layu. Udara sejuk yang mengipas-ngipas pelan dari balik bukit pun tak  mampu membuainya tuk kembali menghayal dan bermimpi.

***

Keterangan:

Sonde : tidak
 Beta : Saya
 Lu : Anda/engkau/kau
 Katong : Kami/kita
 Pung : punya
 Dong : mereka

Cerita pendek ini berlatar di suatu tempat,di daerah Pegunungan Mutis, Kabupaten Timur Tenga Selatan (TTS) – Provinsi NTT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun