Mohon tunggu...
Nenny Lestari Sinaga
Nenny Lestari Sinaga Mohon Tunggu... pendidik -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Warisan Sang Kakek

26 Januari 2017   20:15 Diperbarui: 27 Januari 2017   03:00 1027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: baltyra.com

“Saya masih ingat betul raut wajahnya ketika ia berjanji akan pulang.” Ujar wanita itu seraya menggeser kursi terbuat dari besi yang tampak mulai karatan, membenarkan posisi duduk dan meraih gelas berisi teh  mawar panas dengan asapnya yang mengepul. Matanya jauh memandang tajam menembus cakrawala memunculkan semburat jingga mengintip dari celah pepohonan.

“Kau mau pergi lagi? Sadarkah, kalau kau hanya menyemai benih saja datang ke rumah ini?”

Dilemparnya panci yang dipegangnya, ia hendak memindahkan nasi dari periuk sebelum suaminya minta ijin pergi. Dadanya naik turun menahan emosi yang akan berloncatan keluar, dielusnya perut yang sudah membuncit seakan meminta kekuatan dari jabang bayi. Usia kehamilannya kini masuk bulan keenam.

 “Jangan berkata begitu Ni.”

Dihampirinya wanita bernama Barani itu. Hendak mengeluarkan rayuan pulau kelapa. Sebelum akhirnya centongan yang terbuat dari batang kayu dan ujungnya diberi batok kelapa yang biasa digunakan untuk menanank nasi melayang dari tangannya. Untung Bornok cepat menghindar rupanya masih bersisa kemampuannya saat mengikuti pelatihan semasa bergabung bersama Heiho, organisasi semi militer bentukan Jepang. Tapi naas malah mengenai anaknya. Seketika anak itu menangis, dengan cekatan didorong kasih ibu yang tak berkesudahan, Barani langsung memeluk anaknya.

“Lihat yang kau lakukan Ni”

“Apa urusanmu, kau pergi saja, aku yang akan urus anak-anak. Kau pergi saja mati bersama perjuanganmu.”

“Jaga bicaramu!”

Perjuangan selalu meninggalkan sisi pahit, di samping manis buahnya. Memang Bornok selalu memberikan perhatiannya kepada masyarakat. Padahal siapalah dia bahkan tak berguna menurut istri dan keluarganya. Tak pernah bersekolah hanya bisa baca tulis dan sedikit bahasa Jepang, bahasa ibu yang amat dicintainya batak toba dan bahasa indonesia sebagai bahasa nasional dan amat dijunjung tinggi.

Namanya sudah termasyur dikalangan masyarakat Samosir, jika mereka merasa perlu menuntut keadilan pastilah mendatangi Bornok, dan dia selalu bersedia menjadi tameng bagi mereka yang memerlukannya. Ke sana ke mari dengan tas lusuh dan map usang ditangan. Hal ini membuatnya tidak pulang berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bisa sampai berbulan-bulan. Telah banyak orang yang dibantunya memperoleh keadilan, namun ia bahkan lupa keadilan justru tak diperoleh anak istrinya.

“Ni, kita ini miskin, tak ada harta kecuali keberanian dan kejujuran. Kau lihat betapa masyarakat diperdaya orang-orang bermodal, akhir-akhir ini mereka menyebut sistem kapitalis. Mereka diam saja Ni, hanya beberapa orang  melapor dan melawan karena  tanahnya telah dirampas.”

Bornok menarik nafas panjang seolah merasakan sesuatu yang  lebih berat daripada beban keluarganya sendiri. Diseruputnya kopi hitam tanpa gula. Memang tidak ada gula, karena masih banyak yang lebih penting daripada sekedar membeli gula. Dari bibir cangkir plastik berwarna pink yang sudah memudar ditelan usia kopi lambat laun habis menemani endusan nafasnya. Kemudian lanjutnya “Ni, jangan kamu pikir aku tak memikirkanmu, semua ini untukmu, untuk keturunan kita bahkan tujuh keturunan setelahnya. Mereka akan mewarisi keberanian, kejujuran dan mereka akan punya prinsip dan harga diri. Jauh lebih penting daripada sekoper kertas dengan gambar-gambar pahlawan yang telah mereka khianati. Mereka takkan pernah bisa dibeli, karena kita sudah mewariskannya.

”Diteguknya kopi terakhir, matanya berbinar penuh kesungguhan. Barani akhirnya luluh, dari sudut bangunan persegi terbuat dari bilik bambu ia berdiri menggendong anaknya yang terlelap karena capai menangis, menghampiri suaminya yang duduk diatas lantai tanah. Dipegangnya pundak lelaki itu “ Demi harga diri anak-anak dan seluruh keturunan kita kelak. Usir mereka yang hendak membeli peradaban kita!”

Bornok bangkit dan memeluk istri beserta anaknya. Sementara anaknya yang lain masih tertidur pulas dibuai rintik hujan sedari tadi iramanya tak berubah “Kali ini aku berjanji akan pulang  melihat anak kita lahir serta menemanimu menahan sakit.”

Kemudian Bornok pergi menenteng tas lusuh dan map usang berjalan diantar tatapan cinta sang istri sampai hilang dibalik pepohonan yang sebagian telah habis ditebang.

Barani meneggakkan badan memperbaiki posisi duduk kemudian menyeka bercak air dari balik kacamatanya. Ia memandang cucunya satu persatu, tatapan kasih sayang bercampur haru. Mereka memperhatikan neneknya dengan takzim. Barani menahan sesak di dada, dan menyelesaikan kenangannya bersama sang suami, "sejak saat itu, kakek kalian tidak pernah kembali."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun