“Saya masih ingat betul raut wajahnya ketika ia berjanji akan pulang.” Ujar wanita itu seraya menggeser kursi terbuat dari besi yang tampak mulai karatan, membenarkan posisi duduk dan meraih gelas berisi teh mawar panas dengan asapnya yang mengepul. Matanya jauh memandang tajam menembus cakrawala memunculkan semburat jingga mengintip dari celah pepohonan.
“Kau mau pergi lagi? Sadarkah, kalau kau hanya menyemai benih saja datang ke rumah ini?”
Dilemparnya panci yang dipegangnya, ia hendak memindahkan nasi dari periuk sebelum suaminya minta ijin pergi. Dadanya naik turun menahan emosi yang akan berloncatan keluar, dielusnya perut yang sudah membuncit seakan meminta kekuatan dari jabang bayi. Usia kehamilannya kini masuk bulan keenam.
“Jangan berkata begitu Ni.”
Dihampirinya wanita bernama Barani itu. Hendak mengeluarkan rayuan pulau kelapa. Sebelum akhirnya centongan yang terbuat dari batang kayu dan ujungnya diberi batok kelapa yang biasa digunakan untuk menanank nasi melayang dari tangannya. Untung Bornok cepat menghindar rupanya masih bersisa kemampuannya saat mengikuti pelatihan semasa bergabung bersama Heiho, organisasi semi militer bentukan Jepang. Tapi naas malah mengenai anaknya. Seketika anak itu menangis, dengan cekatan didorong kasih ibu yang tak berkesudahan, Barani langsung memeluk anaknya.
“Lihat yang kau lakukan Ni”
“Apa urusanmu, kau pergi saja, aku yang akan urus anak-anak. Kau pergi saja mati bersama perjuanganmu.”
“Jaga bicaramu!”
Perjuangan selalu meninggalkan sisi pahit, di samping manis buahnya. Memang Bornok selalu memberikan perhatiannya kepada masyarakat. Padahal siapalah dia bahkan tak berguna menurut istri dan keluarganya. Tak pernah bersekolah hanya bisa baca tulis dan sedikit bahasa Jepang, bahasa ibu yang amat dicintainya batak toba dan bahasa indonesia sebagai bahasa nasional dan amat dijunjung tinggi.
Namanya sudah termasyur dikalangan masyarakat Samosir, jika mereka merasa perlu menuntut keadilan pastilah mendatangi Bornok, dan dia selalu bersedia menjadi tameng bagi mereka yang memerlukannya. Ke sana ke mari dengan tas lusuh dan map usang ditangan. Hal ini membuatnya tidak pulang berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bisa sampai berbulan-bulan. Telah banyak orang yang dibantunya memperoleh keadilan, namun ia bahkan lupa keadilan justru tak diperoleh anak istrinya.
“Ni, kita ini miskin, tak ada harta kecuali keberanian dan kejujuran. Kau lihat betapa masyarakat diperdaya orang-orang bermodal, akhir-akhir ini mereka menyebut sistem kapitalis. Mereka diam saja Ni, hanya beberapa orang melapor dan melawan karena tanahnya telah dirampas.”