Bapak Boonaz B, yang sering kali dijuluki sebagai pria pemarah, tersentuh oleh puisi yang ia temukan secara kebetulan. Ia memutuskan untuk mempraktikkan penguburan benci yang disebutkan dalam puisi tersebut, untuk menjaga harmoni keluarganya. Ia meminta seluruh anggota keluarga berkumpul di halaman rumah.
"Mari kita uburkan benci kita," kata Bapak Boonaz B dengan serius.
"Bagaimana caranya, Papa?" tanya Boonaz N dengan rasa ingin tahu.
"Kita harus menguburkannya dalam-dalam, supaya tidak bisa bangkit lagi," jawab Bapak Boonaz B sambil menggali lubang di halaman.
Mereka mulai melemparkan benda-benda ke dalam lubang itu, mewakili benci yang ingin mereka kuburkan. Boonaz C melemparkan mainan robot kesayangannya, Boonaz I menyumbangkan buku catatannya yang pernah dia benci, sementara Boonaz E menguburkan surat-surat penagihan yang selalu membuatnya benci.
"Seberapa dalamnya penguburan benci ini, Papa?" tanya Boonaz I sambil memandangi lubang yang semakin dalam.
Bapak Boonaz B tersenyum. "Sedalam timbunan cinta kita, Nak."
Mereka semua tertawa riang. Namun, sesaat kemudian, mereka mendengar suara aneh dari dalam lubang. Mereka saling berpandangan dengan rasa penasaran.
"Apa yang terjadi di sana?" tanya Boonaz C sambil melihat ke dalam lubang.
Tanpa disangka, tiba-tiba seekor kelinci melompat keluar dari dalam lubang. Kelinci itu terjatuh tepat di depan mereka, membuat semua orang kaget.
"Kelinci itu keluar dari lubang yang kita kuburkan!" seru Boonaz N dengan heran.
"Mungkin bencinya terlalu kuat sehingga berubah menjadi kelinci!" celetuk Boonaz I.